Gde Aryantha Soethama dan Generasi Indonesia yang Tanpa Sastra
Sastra memberikan pelita bagi manusia untuk menjalani kehidupan ini. Disayangkan, generasi masa kini abai terhadap esensi sastra.
Sejarah lokal perlu mendapatkan tempat terhormatnya kembali, dengan tetap mempertahankan lokalitas mereka, tak tercampur corak sejarah nasional
Apakah Indonesia sudah menjadi bangsa yang besar? Secara luas, kita memang besar. Namun, secara kualitas, masih kalah jauh
Melalui pertobatan ekologis, umat manusia diajak untuk kembali menyayangi alam semesta, yang selama ini telah dicerai-berai oleh kerakusan dan ketamakan
Konsep akhir dari sejarah telah diperdebatkan sejak pemikiran Hegel hingga Fukuyama dan Derrida. Melalui tiga pemikir tersebut, konsep tersebut diulas sesuai dengan jiwa zaman kehidupan para pemikir
Pada mulanya, urusan seksualitas adalah pembicaraan publik di Jawa. Lambat laun, masyarakat Jawa mengubah pandangan tersebut menjadi privat, dibatasi ruang-ruang pribadi yang khusus
Ketika Copernius selamat dari hukuman Gereja, Galileo justru berakhir menjadi tahanan rumah, dan karyanya mengenai teori heliosentris dicekal oleh Gereja. Sebuah kondisi yang sangat kontras
Bagi seorang Immanuel Kant, insan yang tercerahkan adalah mereka-mereka yang memiliki kemampuan untuk menggunakan akalnya sendiri. Sudahkah kita berbuat demikian?
Penganggur menjadi salah satu masalah krusial di Indonesia. Hingga 2024 ini, angkanya terus meroket, mengancam stabilitas ekonomi negara ini. Mengapa fenomena ini terus berlangsung?
Indonesia masih belum betul-betul merdeka. Budaya ndoroisme masih mengikat mentalitas manusia Indonesia, membuatnya menjadi berperilaku bak bangsawan kerajaan
Manusia menginginkan kebebasan. Proses pencarian kebebasan bagi seorang manusia dapat kita tengok melalui novel “The House of Light”