Three Body Problem, sebuah serial Netflix yang diadaptasi dari novel karya Cixin Liu, menyita perhatian masyarakat. Dalam salah satu adegan, digambarkan Jin (Jess Hong) dan Jack Rooney (John Bradley-West), bermain peran dengan Sophon, sebuah supercomputer kiriman bangsa Trisolaran dari sistem tata surya Alpha Centauri. Dalam bermain peran terssebt, Jin berperan sebagai Nicolaus Copernicus, dan Jack berperan sebagai Francis Bacon. Merka berusaha menjelaskan konsep Trisurya kepada seorang pemimpin yang mengambil peran sebagai Paus Gregorius.
Gagasan Trisurya yang dijelaskan oleh Jim, dengan sangat meyakinkan, ditolak mentah-mentah oleh sang pemimpin. Mereka akhirnya dihukum mati dengan cara dibakar.
Memang, adegan tersebut nampaknya biasa saja bagi para penonton awam. Namun, bari mereka yang mengikuti atau memahami sejarah Eropa, terutama pada periode Pertengahan hingga awal Renaisans, adegan tersebut menyiratkan persekusi terhadap para ilmuwan yang dianggap melawan Tuhan.
Pada masa Pertengahan, Eropa percaya akan adanya teori geosentris, yang menempatkan bumi sebagai pusat alam semesta. Selama ratusan tahun, teori tersebut terus dipercaya masyarakat Eropa. Hingga, pada suatu titik, seorang Nicolaus Copernicus, dan kemudian Galileo Galilei, mencetuskan pandangan mereka mengenai Matahari sebagai pusat alam semesta.
Pandangan mereka ditentang oleh Gereja. Mereka dianggap bidah, berpendapat tidak sesuai dengan Alkitab. Namun, nasib kedua tokoh ini berbeda dalam menghadapi pertentangan aka heliosentrik. Bagaimana kisahnya?
Copernius yang Selamat dari Persekusi
Tokoh pertama, Nicolaus Copernicus, lahir pada tanggal 19 Februari 1473 di Toruń, Polandia, sebuah daerah semiotonom dibawah Kerajaan Prussia. Mikolaj Kopernik, nama kecilnya, diganti menjadi Copernius ketika menempuh pendidikan.
Namun, minat Copernicus dalam pendidikan bukanlah hukum gereja, melainkan astronomi dan astrofisika. Setelah lulus sebagai doktor hukum kanonik dari Universitas Ferrara pada 1502, menurut Owen Gingerich dalam buku Copernicus: A Very Short Introduction, Copernicus akhirnya kemudian bekerja di kampung halamannya sebagai kanon, ahli hukum gereja.
Selama menjadi kanon, Copernicus melakukan pengamatan astronomi dan pergantian musim. Pada 1530, ia menulis buku berjudul De revolutionibus orbium coelestium, yang memuat kesimpulan bahwa Bumi mengelilingi Matahari, dikenal sebaga teori seliosentris.
Selama proses penerbitan buku tersebut, pandangan Copernius menimbulkan polemik di kalangan agamawan Katolik (Klerus). Mereka beraanggapan bahwa heliosentris bertentangan dengan teori geosentris, yang lebih sesuai dengan isi Alkitab. Meski bertentangan, Copernicus selamat dari hukuman mati, karena ia termasuk dalam golongan Klerus.
Galileo yang Berakhir Dipersekusi
Nasib Copernicus di atas berkebalikan dengan Galileo Galilei, ilmuwan astronomi kelahiran 15 Februari 1564. Sebagai seorang awam yang berminat dengan ilmu astronomi, ia menciptakan teropong untuk mengamati benda-benda langit. Pengamatan tersebut mendorongnya untuk menerbitkan buku Sidereus Nuncius (Starry Messenger) pada 1610, yang mendukung teori heliosentris Copernicus.
Buku Galileo membuatnya harus menjadi tahanan rumah sejak 1610. Ia dianggap menentang ajaran agama Kristen, yang mengacu pada teori geosentris. Meski begitu, pada 1632, Galileo Galilei bebas dari hukuman setelah buku pembelaan atas teori heliosentris berjudul Dialogue Concerning the Two Chief World Systems (Dialogo sopra i due massimi sistemi del mondo) terbit untuk umum.
Dalam buku tersebut, termuat dialog antara Galileo Galilei dengan Paus Urban VIII, patronnya dalam melakukan penelitian. Buku tersebut pula mengantarkan dirinya bebas dari hukuman penahanan. Namun, buku yang membebaskannya tersebut masuk ke dalam Daftar Buku Terlarang hingga 1835.
Perbedaan Nasib
Menurut Nicholas P. Leveillee dalam artikel berjudul Copernicus, Galileo, and the Church: Science in a Religious World, perbedaan nasib perlakuan Nicolaus Copernicus dan Galileo Galilei karena Copernicus meninggal sesaat setelah buku De revolutionibus terbit, sehingga tidak mendapatkan persekusi dari Gereja Katolik. Selain itu, sebagai anggota Klerus, ia juga bebas dari hukuman mati.
Di sisi lain, Galileo Galilei masih hidup saat karya pamungkasnya terbit, membuatnya harus menghadapi persekusi Gereja. Jika dirinya meninggal lebih dulu, mungkin kisah yang terjadi akan sedikit berbeda.