Membaca Kembali Ideologi Pan-Islamisme

Di tengah kecamuk Perang Dunia I yang berlangsung di kawasan Eropa dan Timur Tengah, Menteri Luar Negeri Belanda, Jonkheer J. Loudon, menerima kawat dari Duta Besar Inggris untuk Belanda, Sir Alan Johnstone. Kawat tersebut berisi peringatan tentang adanya selebaran-selebaran bernuansa “fanatik”, yang mengajak umat Islam untuk mengangkat senjata melawan orang-orang kafir yang menjajah mereka.

Hal ini sebetulnya tidak mengagetkan, mengingat pada masa-masa awal Perang Dunia I, Inggris beserta sekutu-sekutunya telah memprediksi bahwa pemerintah Turki Utsmani—yang kala itu bersekutu dengan Jerman, akan menggunakan isu agama untuk membangkitkan perlawanan umat Islam di daerah-daerah jajahan. Untuk keperluan tersebut, pemerintah Turki Utsmani sampai harus membentuk Panitia Nasional Khilafah, yang bertugas untuk mempropagandakan kewajiban kaum Muslim untuk memerangi kaum kafir di mana pun mereka berada. Perang Dunia I menjadi titik puncak bagi gerakan pan-islamisme di seluruh dunia.

Menurut definisi klasik, pan-islamisme diartikan sebagai sebuah penyatuan seluruh dunia Islam di bawah satu kekuasaan politik dan agama, yang dikepalai seorang khalifah. Definisi ini hampir tidak memiliki perbedaan dengan definisi kata khilafah, yang menghendaki satu kepemimpinan tunggal.

Jamaluddin al-Afghani (1838-1897), figur utama dalam ideologi pan-islamisme, courtesy of Suara Muhammadiyah

Namun, menurut definisi yang dipahami secara umum pada awal abad ke-20, pan-islamisme adalah ideologi yang sekadar berusaha untuk menyatukan seluruh umat Islam dalam satu ikatan kesetiakawanan (ukhuwah Islamiyah). Ideologi pan-islamisme hanya menghendaki penyatuan umat Islam dalam satu kepemimpinan agama/spiritual semata, tanpa kepemimpinan politik.

Walaupun begitu, ideologi ini tetap dianggap berbahaya oleh negara-negara imperialis Barat. Mereka memandang ikatan spiritual antarmuslim berpotensi memicu pemberontakan, yang pada akhirnya akan membahayakan dominasi negara-negara tersebut atas daerah jajahan mereka.

Kemunculan ideologi ini tidak dapat dilepaskan dari sosok Jamaluddin al-Afghani. Ia adalah seorang ulama yang aktif mempropagandakan pembaruan dan persatuan Islam. Bersama dengan Syaikh Muhammad Abduh, ia mempengaruhi para pemimpin Islam di dunia untuk mengambil kewajiban menyelamatkan agama Islam dari serangan masif kolonialis Barat. Seruan ini dipandang sebagai kelanjutan dari perang salib, atau perang sabil dalam istilah umat Islam.

Syaikh Muhammad Abduh (1849-1905), salah satu figur penting dalam pengembangan ideologi pan-islamisme, courtesy of Darus.id

Ideologi pan-islamisme dilatarbelakangi oleh kemunduran umat Islam di semua lini kehidupan pada abad ke-18 dan ke-19. Kala itu, umat Islam jatuh ke dalam cengkeraman kolonialisme dan imperialisme Barat. Hampir seluruh negeri kaum Muslim menjadi daerah jajahan negara-negara Barat.

Baca Juga  Ganasnya Pemberitaan Media Sosial Indonesia terhadap Isu Pengungsi Rohingya

Di samping itu, terjadinya perpecahan internal dalam umat Islam sendiri, yang diakibatkan perbedaan mazhab dan pemahaman, semakin menambah keterpurukan mereka. Ditambah dengan terhambatnya perkembangan intelektual umat Muslim, akibat keyakinan bahwa pintu ijtihad telah tertutup, menyebabkan mereka tampil sebagai menjadi umat yang pasif dan menolak segala bentuk perubahan dan kemajuan.

Berbagai kemunduran tersebut, menurut Jamaluddin al-Afghani, harus segera diperbaiki. Umat Islam harus menyiapkan suatu landasan ideologis, yang dapat membangkitkan dan menyatukan kembali umat Islam seperti masa-masa sebelumnya. Ideologi tersebut harus bertujuan untuk menghapuskan penjajahan Barat, menghilangkan sifat kesukuan dan golongan (etnosentrisme), membangkitkan solidaritas antarumat Islam, dan membangun sistem pemerintahan khilafah untuk memajukan peradaban Islam.

Foto tiga perempuan Turki dalam Elbise-i Ottomaniyye. Pada abad ke-19, Kekhalifahan Turki Utsmani mengalami kemerosotan, courtesy of New Lines Magazine

Umtuk memuluskan tujuan tersebut, politik menjadi jalan yang paling efektif. Sejak saat itu, dakwah politik pan-islamisme meluas ke seluruh penjuru dunia Islam, mengajak umat Muslim untuk bangkit dari tidurnya yang lelap.

Kota Mekah memegang peranan vital dalam penyebaran pan-islamisme. Selain sebagai jantung dunia Islam, Mekah juga merupakan tempat ziarah wajib bagi umat Muslim melalui ibadah haji. Dari Mekah, ideologi pan-islamisme disebarluaskan kepada para jamaah haji yang datang dari berbagai negeri.

Setelah menjadi ideologi yang mapan, pan-islamisme diadopsi oleh pemerintah Turki Utsmani untuk meningkatkan prestise mereka sebagai pemimpin dunia Islam, dan untuk menghadapi dominasi musuh-musuhnya. Pada masa itu, Kesultanan Turki Utsmani sedang memasuki masa-masa kemundurannya, sehingga membutuhkan suatu kebijakan yang dapat membangkitkan wibawa mereka di mata internasional.

Salah satu sultan yang aktif menggunakan ideologi ini untuk menyatukan umat Islam adalah Sultan Abdul Hamid. Selama masa kekuasaannya yang berlangsung cukup lama, yakni sejak 1876 hingga 1909, ia berkomitmen membangkitkan kesadaran umat akan persatuan, dan mengambil langkah-langkah konkret untuk mewujudukan tujuan tersebut. Beberapa langkah yang ia wujudkan selama masa pemerintahannya adalah pembangunan jalur kereta api Hijaz, pembangunan Universitas Hamidiyah di Beijing, pembelaan terhadap muslim Aceh, pembukaan hubungan diplomatik dengan Kekaisaran Jepang, menggalakkan bahasa Arab di seluruh wilayah kesultanan, hingga penolakannya terhadap tawaran gerakan Zionis Internasional yang hendak membeli Palestina.

Sultan Abdul Hamid II (1842-1918), salah satu penguasa Kekhalifahan Turki Utsmani yang aktif mengembangkan pan-islamisme, courtesy of Arrahmah.id

Setelah Sultan Abdul Hamid turun tahta, ideologi pan-islamisme tetap digunakan oleh pemerintah Turki Utsmani sebagai kebijakan politik luar negerinya, terutama pada masa Perang Dunia I. Ideologi ini merupakan “nilai jual” Turki Utsmani kepada pemerintah Jerman untuk menjalin persekutuan. Jerman berharap ideologi pan-islamisme, dan kedudukan Sultan Utsmani sebagai khalifah, akan mampu membangkitkan perlawanan di daerah-daerah jajahan rival politik mereka.

Baca Juga  Abdurrahman ad-Dakhil, Sang Rajawali Quraisy

Seiring berjalannya waktu, ternyata ideologi pan-islamisme dan seruan jihad Sultan Utsmani kurang mendapatkan sambutan umat Muslim. Mereka, terutama yang hidup di negeri-negeri jajahan, tidak mengadakan pemberontakan atau perlawanan kepada para penjajah mereka.

Setelah kekuasaan berpindah ke tangan kaum nasionalis Turki, seiring runtuhnya kekhalifahan Turki Utsmani, yang kemudian diikuti oleh pembubaran lembaga kesultanan pada 1922, ideologi pan-islamisme perlahan-lahan meredup dan mulai ditinggalkan. Mustafa Kemal Attaturk, sebagai Presiden Turki yang pertama, memilih politik luar negeri yang lebih pasif, dan mengutamakan kepentingan nasional daripada urusan rakyat di negara lain.

Referensi

[1] Aqib Suminto. (1985). Politik Islam Hindia Belanda. Jakarta: LP3ES.
[2] Ibrahim Nasbi. (2019). “Jamaluddin Al-Afghani (Pan Islamisme dan Ide Lainnya)” dalam Diskursus Islam. Volume 7. Nomor 1.
[3] M.C Ricklefs. (1999). Sejarah Indonesia Modern. Terj: Dharmono Hardjowidjono. Yogyakarta: UGM Press.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *