Estetika di Tengah Konflik: Musik Palestina dalam Dunia Tradisional dan Politik

Pemuda Palestina bermain musik

Sejak tarikh sejarah, istilah Palestina diterapkan untuk wilayah pesisir Mediterania timur, kira-kira sesuai dengan tanah yang sekarang membentuk Israel. Batas-batasnya tidak tepat, berfluktuasi selama berabad-abad. Tanah Palestina sendiri berada dibawah kekuasaan Ottoman (sejak 1517-1917), kemudian beralih di bawah mandat Inggris sejak 1920 hingga 1948, ketika negara Israel dibentuk.

Dalam buku Palestine: A Four Thousand Year History, Nur Masalha mengatakan bahwa sebagian besar warga Palestina, yakni sekitar 90%, adalah Muslim Sunni. Yang lain, sebagian besar menganut agama Kristen. Mereka dapat ditemukan di beberapa bagian wilayah Israel, Tepi Barat, Gaza, dan negara-negara lain seperti Yordania, Lebanon, Suriah, dan lainnya sebagai diaspora. Di bawah Perjanjian Oslo pada 1993, sebagian kecil tanah Palestina historis dikembalikan kepada pemerintahan Palestina.

Peta Palestina saat ini, terkurung dalam wilayah Israel, courtesy of Tirto.ID

Kini, berbicara tentang Palestina, yang terlintas pertama dalam benak hanya satu frasa: “konflik yang berkepanjang.” Di satu sisi, konflik tersebut menghasilkan kekerasan. Namun di sisi lain, konflik juga menghadirkan estetika.

Kekuatan estetika tersebut, menurut Yara El-Ghadban dan Kiven Strohm dalam artikel The Ghosts of Resistance: Dispatches from Palestinian Art and Music, tergambar dalam dua wujud kekuatan besar, yakni 1) musik tradisional, yang telah berumur ratusan tahun; dan 2) musik yang bermuatan politik, tentunya sebagai kritik terhadap zionisme).

Musik Tradisional Palestina sebagai Estetika Pertama

Dalam artikel Wasif Jawhariyyeh, Popular Music, and Early Modernity in Jerusalem, Salim Tamari mengatakan bahwa musik tradisional Palestina terkait dengan musik Arab Timur Tengah dalam bidang bahasa, bentuk, melodi, tarian, serta alat musik yang digunakan. Ia mirip dalam segi bentuk dengan seni musik Arab, dengan warisan tambahan pengaruh kekuasaan Ottoman seperti yang ditemukan di tempat lain di Timur Tengah.

Musik rakyat pedesaan Palestina memiliki kesamaan regional dengan gaya syair yang dinyanyikan di pantai Mediterania timur, termasuk Suriah dan Lebanon. Di daerah pedalaman Palestina, yakni wilayah selatan yang berbatasan dengan gurun Negev, didominasi oleh musik dan tarian suku-suku Badui yang nomaden, yang merupakan bagian dari budaya musik yang lebih luas di semenanjung Arab utara.

Seorang penggembala Palestina memainkan musik (c. 1910-1920), courtesy of Wikipedia

Menurut Salim, Kota Yerusalem membentuk tiga pertemuan bagi tiga dunia musik, yakni Mediterania, Semenanjung Aram, dan Dataran Tinggi Suriah. Sebagai pusat agama dan budaya, Yerusalem telah memainkan peran yang sangat signifikan dalam sejarah Palestina. Koeksistensi tiga agama monoteistik, yakni Yudaisme, Kristen, dan Islam, mengembangkan semangat kosmopolitain yang telah meninggalkan jejaknya pada praktik musik lokal.

Baca Juga  Politik Dinasti, Kultur Feodalisme dalam Sistem Demokrasi di Indonesia

Banyak fitur khusus yang membedakan musik Palestina dengan musik lain di daerah Arab. Fitur khusus tersebut antara lain intonasi dialek lokal, idiom, adat istiadat, dan aspek-aspek spesifik dari banyak festival keagamaan. Sebagai contoh, lagu anak-anak muslim (Hawwāya atau Maddāha) yang dinyainyikan selama bulan Ramadan saat mereka pergi dari pintu ke pintu memindah permen atau koin. Contoh lainnya adalah lagu tarian Kristen untuk pesta Maria Diangkat ke Surga (15 Maret), yang dilakukan oleh pria dengan formasi setengah lingkarna di depan Basilika Nazaret.

Kota Yerusalem. Tidak hanya menggambarkan pertemuan tiga agama, kota ini juga menjadi pertemuan dua kebudayaan musik yang membentuk musik Palestina, courtesy of Insight Tour

Para peziarah dan misionaris yang pernah singgah di Yerusalem memberikan informasi paling awal tentang kegiatan musik religius dan sekuler di Palestina. Sebuah catatan perjalanan oleh Egeria, seorang biarawati Spanyol pada abad ke-5 Masehi, Itinerium Egeriae, menggambarkan Mazmur dan nyanyian Kristen seperti yang ia amati di Yerusalem. Secara khusus, Egeria mencatat adanya pembagian paduan suara menjadi dua kelompok (antifon). Kini, pembagian ini, yang masih ditemukan di beberapa gereja Ortodoks tertentu, telah beralih ke penggunaan Islam secara lokal.

Selain itu, di Yerusalem, perayaan maulid (ritual merayakan kelahiran Nabi Muhammad saw.), berisi ayat-ayat yang dinyanyikan secara antifonal. Ini tidak biasa dalam budaya muslim, yang menggunakan gaya responsorial dalam perayaan maulid.

Teks-teks awal lainnya juga memberikan pernyataan tentang praktik musik oleh tokoh-tokoh agama utama. Dalam Panarion, Epifanius, uskup Gaza pada abad ke-4, membandingkan aulos (pipa buluh) dengan setan ular. Regula Burchardt Qureshi, dalam artikel Sufism and the Globalization of Sacred Music, mengatakan bahwa seorang cendekiawan muslim, Ibn Qaysarānī, menulis Kitāb al-Samā (Kitab mendengarkan [musik]) yang mengisahkan tentang diterimanya musik. Juga, naskah Masāyid al-Shaytān wa dhamm al-hawā (Tentang Perangkap Setan dan Kecaman Gairah) oleh Ibn Ghānim al-Maqdisī, ditulis di Yerusalem.

Perayaan Maulid Nabi Muhammad saw. di Masjid Al-Aqsa, courtesy of Middle East Monitor

Selain dari komunitas Islam, komunitas Kristen dan liturgi juga memiliki peran penting dalam kehidupan musik Yerusalem. Para biarawan Fransiskan dan Dominikan melatih para musisi lokal untuk menyediakan musik untuk pelayanan keagamaan, dan teknik-teknik musik Barat paling mudah untuk diadopsi oleh masyarakat Kristen Arab yang mempraktikkan ritus Latin. Di sisi lain, orang-orang Kristen dari gereja Ortodoks Yunani, menjadi yang paling baik dalam melestarikan adat istiadat yang berhubungan dengan sejarah lokal.

Baca Juga  Renungan Kierkegaard untuk Don Giovanni

Dalam buku Palestine, Masalha mengatakan bahwa tahun 1948 menjadi tahun yang signifikan dalam kesadaran diri masyarakat Palestina. Pada tahun tersebut, yakni pembentukan negara Israel, menyebabkan banyak orang Palestina meninggalkan tanah kelahiran mereka, berlindung di negara-negara tertangga, terutama Yordania.

Lebih lanjut, Masalha merinci bahwa perang dan eksodus yang dihasilkan menempa konsep baru bagi pemikiran budaya dan musik Palestina secara perlahan-lahan. Sejak saat itu, perasaan nasionalisme berkembang, terutama setelah perang antara 1967 dan 1973 antara Israel dan negara-negara Arab. Perasaan tersebut semakin menguat, ketika otoritas Israel menyebut orang-orang Palestina sebagai Arab, dan musik mereka dianggap musik Arab ketimbang musik Palestina.

Semangat tersebut, kemudian mendorong tumbuhnya estetika kedua dalam budaya musik Palestina, yakni musik bermuatan politik.

Musik Palestina dalam Pengaruh Politik

Dalam artikel Conflicts, Occupation, and Music-Making in Palestine, Chuen-Fung Wong mengatakan bahwa dorongan politik dalam musik Palestina yang terjadi baru-baru ini jatuh ke dalam tiga fase utama.

Fase pertama, terjadi setelah perang 1967, merupakan kehadiran ughniyya siyāsiyya (lagu politik). Dalam artikel Performative Politics: Folklore and Popular Resistance during the First Palestinian Intifada, David A. McDonald mengatakan bahwa semangat perlawanan dan perjuangan menjadi tema dalam ughniyya siyāsiyya.

Zeinah Shaath saat membawakan musik sebagai simbol protes terhadap penjajahan Israel atas tanah dan bangsa Palestina, courtesy of In These Times

Perkembangannya dipercepat oleh keprihatinan untuk mempelajari tradisi lokal Palestina, serta berbagai langkah untuk mengumpulkan seluruh literatur musik di negeri tersebut. Di sini, lirik asli kadang-kadang diganti dengan lirik lain yang lebih bersifat revolusioner, dan menyerukan kepada khalayak Palestina untuk bergabung dalam perjuangan.

Fase Kedua, muncul sejak Perang Lebanon pada 1975, adalah adanya perkembangan politik dalam musik. Mengutip Carin Berg dan Michael Schulz dalam artikel Hamas’s Musical Resistance Practices: Perceptions, Production, and Usage, musisi non-Palestina yang mendukung perjuangan bersenjata terlibat dalam gerakan ideologis ini. Mereka dilayani dengan baik oleh Mahmūd Darwīsh, penyair Palestina. Sebagian besar puisinya telah dikemas ke dalam bentuk musik selama beberapa dekade terakhir.

Baca Juga  Popular Art Centre, Penjaga Musik Rakyat Palestina

Contoh karya dalam fase kedua ini adalah Ahmad al-‘Arabī (1985) oleh Marcel Khalifé, dan Ahmad al-Za’tar (1980) oleh Ziyād Rahbānī, keduanya komposer Lebanon. Selain itu, ada pula Identité (1977), sebuah karya dodecaphonic untuk ensambel kamar oleh Ahmad Essayad, dan Sabra wa Chatila, yang menggambarkan pembantaian terhadap penduduk kamp-kamp Palestina di gerbang Beirut pada 1982 oleh Nāss al-Ghiwān. Baik Essayad dan Ghiwān adalah komposer Maroko.

Marcel Khalifé, komposer Lebanon yang menyampaikan dukungan kepada Palestina melalui musik-musik bermuatan politis, courtesy of Daily News Egypt

Menurut Joseph Massad dalam artikel Liberating Songs: Palestine Put to Music, bagi banyak orang, perayaan terhadap Palestina dalam nyanyian menjadi simbol emansipasi dan komitmen. Ia mencerminkan keadaan pikiran modernis, terutama karena gerakan tersebut jelas melampaui konteks murni Palestina, meluas ke dunia Arab, dan memengaruhi para intelektual Arab.

Fase ketiga, sebagai fase terakhir, berkembang setelah 1985. Menurut Stig-Magnus Thorsen dalam artikel Palestinian Music: Between Artistry and Political Resistance, mengatakan bahwa beberapa orang berpaling dari upaya bermotivasi politik untuk mewakili perjuangan dalam politik. Sebaliknya, mereka berkonsentrasi pada lagu-lagu tentang tanah dan kesuburan atau romansa dan mimpi-mimpinya. Tren dalam fase ketiga ini diwakili oleh kelompok populer, seperti Sabreen dan A’rās.

Sampai saat ini, penggunaan musik sebagai sarana berpolitik bangsa Palestina dan kritik terhadap zionisme masih tetap ada. Meski begitu, realitasnya tertutup oleh hiruk-pikuk perang dan genosida yang tak kunjung usai.

6 thoughts on “Estetika di Tengah Konflik: Musik Palestina dalam Dunia Tradisional dan Politik

    1. Estetika di tengah Konflik, wow keren nih,… Musik sebagai sejian estetik sekaligus kegunaanmusik dalam dunia politik.
      Pastinya tulisan ini sangat menarik khususnya dalam melihat sisi yang lain musik.mongho disrutup mumpung masih anget..
      Tulisan yang mencerdaskan insan musik.
      Suwun Prof Sunarto Filsuf🙏🙏

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *