Dari BKR ke TNI yang Profesional: Riwayat Singkat Militer Indonesia

Tentara Nasional Indonesia

Sejak dikumandangkannya proklamasi kemerdekaan Indonesia, bangsa Indonesia selalu dibayangi ancaman kembalinya kolonialisme Eropa. Kekhawatiran itu terbukti dengan masuknya tentara Belanda yang diboncengi oleh pasukan Sekutu, yang berdalih akan melucuti bala tentara Jepang dan mengambil alih bekas tawanan perang Jepang.

Proklamasi 17 Agustus 1945, secara tidak langsung, turut membentuk Tentara Nasional Indonesia (TNI). Meskipun, pembentukannya tidak terjadi bersamaan dengan proklamasi, tetapi hal tersebut dilaksanakan secara bertahap.

Baru pada 5 Oktober 1945, atau beberapa minggu setelah Proklamasi, Pemerintah mengeluarkan maklumat tentang pembentukan Tentara Keamanan Rakyat (TKR). Urip Sumoharjo dipilih pemerintah untuk menerima tugas penting perihal pembentukan TKR. Ketika pembentukan TKR diumumkan, ia diberi kepercayaan untuk menjabat sebagai Kepala Staf Umum, yang bertugas menyusun organisasi TKR dan membentuk Markas Tinggi TKR (MTTKR)

Urip Sumoharjo (1893-1948), Kepala Staf Umum TKR yang Pertama, courtesy of Antara

Pada tanggal 1 November 1945, pemerintah mengeluarkan maklumat yang menyebutkan bahwa mempertahankan keamanan dan kemerdekaan bukan monopoli tentara saja. Dari maklumat tersebut, partai politik ikut membentuk barisan bersenjata.

Berbagai persoalan terus muncul pada saat pembentukan tentara nasional. Pemerintah perlu memberikan perhatian serius, agar upaya pencapaian keamanan dan ketertiban masyarakat dapat terwujud, serta mempertahankan kemerdekaan yang telah diproklamasikan pada 17 Agustus 1945. Untuk itulah, Urip Sumoharjo, sebagai Kepala Staf Umum Angkatan Perang, diberi kepercayaan oleh pemerintah untuk menyusun sebuah tentara nasional yang profesional sehingga tidak ada lagi dualisme kekuatan bersenjata di Indonesia.

Pembentukan Badan Keamanan Rakyat (BKR)

Setelah kemerdekaan Indonesia diproklamasikan pada 17 Agustus 1945, Pemerintah segera mengambil langkah untuk membentuk satuan militer. Selang beberapa hari, Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI) membentuk suatu badan penolong keluarga korban perang, pada 22 Agustus 1945. Badan tersebut dikenal sebagai Badan Keamanan Rakyat (BKR). Pembentukan BKR dilakukan bersamaan dengan pembentukan Komite Nasional Indonesia (KNI) dan Partai Nasional Indonesia (PNI), sebagai bagian dari Badan Penolong Keluarga Korban Perang (BPKKP).

Dalam pidato pembentukannya pada 23 Agustus 1945, Sukarno mengajak para mantan anggota Pembela Tanah Air (PETA), Heiho, dan pemuda-pemuda kelaskaran untuk bergabung dengan BKR serta bersiap diri untuk dipanggil menjadi prajurit tentara Indonesia. Bisa dikatakan, BKR merupakan wadah bagi mantan anggota PETA dan Heiho untuk berkumpul kembali.

Ilustrasi BKR, yang dibentuk untuk melakukan pemeliharaan keamanan bersama rakyat dan jawatan negara, courtesy of Radar Surabaya

Pada dasarnya, BKR bukan satuan ketentaraan. Namun demikian, sebagai sebuah badan, BKR telah melakukan tugas-tugas militer.

BKR merupakan hasil kompromi antara dua pihak yang memiliki perbedaan pandangan dalam strategi perjuangan. Otto Iskandar Dinata, sebagai Kepala BPKKP, serta beberapa orang yang masih ingin menjalin hubungan baik dengan Jepang, menghendaki pembentukan BKR untuk menjaga ketertiban umum dari perampokan, pembunuhan, dan anarki sporadis. Bagi mereka, fungsi BKR ialah untuk memperkuat polisi dalam memelihara hukum dan ketertiban, serta memelihara wibawa pemerintah. Di sisi lain, bekas perwira KNIL dan PETA segera menghendaki pembentukan tentara nasional saat itu juga.

Baca Juga  IQ Zoo, Ketika Hewan Dapat Melakukan Tugas Manusia

Dalam hal ini, BKR menjadi penting, karena secara kelembagaan, ia merupakan bentukan legal dari Pemerintah Indonesia di tengah kekosongan satuan keprajuritan pada masa awal kemerdekaan. Meski sebagian besar anggotanya merupakan bekas tentara PETA, dan dalih pendirian BKR ditujukan untuk menolong keluarga korban perang, terdapat suatu rintisan dan upaya yang terorganisir untuk membentuk satuan ketentaraan di baliknya.

Transformasi BKR menuju TKR dan TNI

Atas desakan pemuda akan pentingnya tentara kebangsaan dalam suatu negara, Tentara Keamanan Rakyat (TKR) didirikan. Mereka melihat keamanan rakyat akan terancam dengan kedatangan tentara Sekutu dan tindakan provokasi pasukan Jepang yang masih ada di Indonesia. Atas dasar itulah, Pemerintah akhirnya memutuskan pembentukan TKR melalui maklumat yang dikeluarkan pada 5 Oktober 1945.

TKR merupakan angkatan perang pertama yang didirikan oleh Pemerintah Indonesia. Perubahan nama dari BKR dan penyesuaian susunan militer menjadi langkah krusial untuk meyakinkan dunia internasional bahwa TKR adalah kekuatan militer yang sah dan diakui, serta mampu melindungi kedaulatan dan keamanan nasional Indonesia. Kekuatan inilah yang diharapkan mampu menjaga kedaulatan dan keamanan nasional Indonesia dari ancaman-ancaman eksternal.

Proses pembentukan TKR dimulai dari dipanggilnya Urip Sumoharjo, mantan perwira KNIL, oleh wakil Presiden Mohammad Hata. Dalam pemanggilan tersebut, Urip Sumoharjo diangkat sebagai Kepala Staf Umum. Ia ditugaskan untuk menyusun organisasi ketentaraan.

Pada 9 Oktober 1945, Komite Nasional Indonesia Pusat (KNIP) menyerukan mobilisasi TKR, yaitu bagi seluruh pemuda Indonesia, baik yang sudah atau belum pernah memperoleh latihan militer, untuk mendaftarkan diri sebagai anggota TKR. Markas tertinggi TKR, pada awalnya, ditetapkan di Purwokerto, Jawa Tengah. Tetapi, setelah menerima berbagai saran dan pertimbangan strategi dari Urip, markas tertinggi dipindahkan ke Yogyakarta.

Urip Sumoharjo diangkat sebagai Kepala Staf Umum TKR dengan pangkat letnan jenderal, dan ditugaskan untuk membentuk tentara Indonesia. Selain Urip memiliki kecakapan militer yang baik, alasan pemilihan didasari oleh kritik yang ia lontarkan, yakni aneh negara zonder tentara.

Antusiasme tentara terlihat tatkala Urip membentuk divisi TKR. Pada awalnya, Urip Sumoharjo hanya akan membentuk empat divisi saja, yakni tiga di Jawa dan satu di Sumatra. Namun, hal tersebut urung terjadi karena tingginya antusiasme pemuda yang mendaftar sebagai anggota TKR.

Baca Juga  Etika Deontologis: Memahami Pemikiran Moral Immanuel Kant

Kuota pendaftaran pun diperbanyak. Di Sumatra, anggota TKR banyak berasal dari Barisan Pemuda Republik Indonesia (BPRI) dan Pemuda Indonesia (PI), sedangkan di Jawa banyak diisi oleh anggota PETA dan Heiho yang bergabung dalam BKR.

Para panglima komandemen ditetapkan oleh Urip Sumoharjo dan Muhamad Sulyoadikusumo. Mereka antara lain: 1) Komandemen I Jawa Barat dipimpin oleh Jenderal Mayor Didi Kartasasmita; 2) Komandemen II Jawa Tengah dipimpin oleh Jenderal Mayor Suratman; 3) Komandemen III Jawa Timur dipimpin oleh Jenderal Mayor Muhamad; serta Komandemen Sumatra dipimpin oleh Jenderal Mayor Suharjo Harjowardoyo.

Bersamaan dengan pembentukan divisi-divisi dan komandemen di daerah-daerah, pasukan Sekutu telah mengadakan pelucutan senjata di beberapa daerah yang didudukinya. Oleh karena itu, para perwira TKR mendesak pemerintah untuk sesegera mungkin mengisi jabatan Panglima Tentara dan Menteri Keamanan.

Pada mulanya, pemerintah tidak menanggapi desakan para perwira TKR tersebut. Tetapi, karena Urip Sumoharjo sudah diberi mandat untuk membentuk tentara nasional, maka Urip, atas seizin pemerintah pusat, berinisiatif memanggil semua panglima divisi dan resimen TKR dalam sebuah rapat besar. Rapat tersebut dilakukan pada 12 November 1945 di Yogyakarta.

Pelantikan Sudirman sebagai pimpinan Tentara Keamanan Rakyat (TKR) pada 18 Desember 1945, courtesy of Harian Sejarah (hariansejarah.id)

Dalam rapat tersebut, Sudirman akhirnya terpilih. Ia dilantik pada 18 Desember 1945, sebagai Panglima Besar TKR dengan pangkat Jenderal. Sementara, Urip Sumoharjo dilantik kembali sebagai Kepala Staf dengan pangkat Letnan Jenderal.

Pada akhir tahun 1945, timbul konsep keselamatan untuk mengubah konsep keamanan yang selama ini ada. Konsep tersebut dipilih karena tentara akan lebih memperluas dan memperdalam tugas ketentaraannya. Pemerintah mengabulkan, dan menerbitkan surat penetapan pada 8 Januari 1946. Sejak saat itu, nama tentara secara resmi disebut sebagai Tentara Keselamatan Rakyat. Begitu pula nama Kementerian Keamanan, ikut berubah menjadi Kementerian Pertahanan.

Tidak sampai satu bulan, nama satuan militer Indonesia kembali berubah. Tepat pada 26 Januari 1946, Pemerintah mengeluarkan maklumat pergantian nama Tentara Keselamatan Rakyat menjadi Tentara Republik Indonesia (TRI). Alasan perubahan ini adalah untuk membentuk kesatuan tentara yang lebih sempurna, dengan melihat beberapa contoh dari negara lain.

Baca Juga  Piramida Agung Giza, Misteri dan Keajaiban Dunia

Pada 7 Juni 1947, perubahan nama kembali terjadi. Presiden Sukarno menetapkan bahwa sejak 3 Juni 1947, nama kesatuan tentara berubah dari Tentara Republik Indonesia menjadi Tentara Nasional Indonesia (TNI). Perubahan ini didasari oleh masih banyaknya kekurangan-kekurangan, seperti adanya pemisahan antara TRI dengan badan-badan perjuangan lainnya. Ini dianggap sering menimbulkan kesalahpahaman, dan tidak menguntungkan perjuangan.

Tentara Nasional Indonesia Masa Kini

Terkait dengan upaya membangun profesionalisme TNI, terdapat tiga hal utama yang perlu diperhatikan. Ketiga hal tersebut adalah keberadaan lembaga teritorial berupa Komando Teritorial (Koter), bisnis TNI, dan hubungan antara TNI dengan Departemen Pertahanan (Dephan).

Tentara, terutama Angkatan Darat, bukanlah kasta khusus yang terpisah dari masyarakat. Mereka harus berada dalam hubungan yang segar dan konstan dengan pemikiran dan perasaan warga sipil setempat. Para perwira militer pun menekankan pentingnya tentara untuk berada dekat dengan masyarakat. Atas dasar ini, lembaga teritorial dibentuk.

Tentara Nasional Indonesia (TNI) sedang berbaris, courtesy of Tirto.ID

Sebagai fenomena sosiologis, TNI merupakan bagian yang tak terpisahkan dari realitas kehidupan masyarakat dan bangsa. Sebagai kekuatan utama pertahanan nasional, TNI sedang berada di tengah-tengah pusaran perubahan. Mereka dihadapkan pada tantangan untuk menemukan identitas dirinya sebagai tentara profesional.

Keinginan masyarakat untuk menata TNI agar melepaskan peran-peran nonpertahanan dan me-refungsional-isasi struktur teritorialnya tertanam kuat. Mereka ingin TNI untuk mencabut haknya untuk berbisnis, melarangnya terlibat dalam politik praktis, serta mendorong agar mereka mengakui dan tunduk pada supremasi sipil. Ini merupakan upaya rasional-konstitusional, untuk menempatkan TNI pada posisi sosial yang tepat.

Untuk memahami fenomena TNI di era Reformasi, dan mungkin juga ke depan, tampaknya dibutuhkan sebuah perspektif baru yang lebih komprehensif. Perspektif tersebut tidak saja mengacu pada teori-teori sosial Barat, tetapi juga berbasis pada kenyataan empiris dalam konteks keindonesiaan.

Tesis bahwa militer profesional patriot, dengan segala kekurangan dan kelebihannya, merupakan salah satu perspektif baru yang saya tawarkan dalam tulisan ini. Militer profesional patriot merupakan militer yang selain hadir dalam karakteristik profesional (the old professionalism), juga memiliki komitmen kuat untuk mengambil peran secara tulus dalam tugas-tugas nonpertahanan, demi kemanusiaan, solidaritas sosial, kebaikan nasional, dan kehormatan bangsa (the new professionalism) berdasarkan keputusan pemerintah sipil.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *