Ketika Buku Lebih Sering Dibajak Ketimbang Dibaca

Buku masih menjadi dunia yang asing bagi masyarakat Indonesia. Minat serta ketertarikan masyarakat kita terhadapnya masih rendah. Ini menjadi salah satu masalah krusial di negeri ini, terutama dalam menumbuhkan budaya literasi masyarakat.

Meski menurut data yang diterbitkan Perpustakaan Nasional pada 2022 menyatakan bahwa minat membaca masyarakat Indonesia tumbuh 7,4%, permasalahan mengenai buku masih terjadi di Indonesia. Salah satu masalah yang penting untuk kita pahami adalah pembajakan buku.

eorang pengunjung melihat berbagai koleksi buku dan novel Islami yang di pajang di rak Toko Buku Gramedia, courtesy of syaifulanshor.wordpress.com

Menurut survei Ikatan Penerbit Indonesia (IKAPI), sebanyak 70 persen penerbit di Indonesia menemukan kenyataan bahwa buku terbitan mereka telah dibajak dan dijual secara bebas di lokapasar. Fakta ini menegaskan bahwa pembajakan buku merupakan masalah krusial di Indonesia.

Contoh lain, yang dekat dengan saya, adalah ketika Prima Cahyadi, editor-in-chief Historical Meaning, mendapati bahwa buku Anak Semua Bangsa yang ia pesan adalah buku bajakan. Buku tersebut, yang ditulis “ORI” oleh sang penjual dan dijual dengan harga asli, ternyata buku hasil fotokopi, terutama setelah ia membandingkan sampul buku yang terlalu mengkilap dan bagian akhir yang tidak dicetak dalam warna.

Meski banyak penulis dan penerbit telah mengeluhkan perihal pembajakan yang dialami mereka, masalah tersebut masih belum menjadi perhatian serius pemerintah. Pemerintah masih menganggap enteng masalah pembajakan buku, seolah-olah itu bukan hal yang penting untuk ditangani.

Mengapa Buku Bajakan Digandrungi?

Pembajakan buku, pada dasarnya, tidak hanya merugikan penulis dan penerbit. Ia juga merugikan sang pembeli. Banyak pembeli yang tertipu, mengeluarkan uang lebih banyak (atau mendekati harga asli buku tersebut), dan mendapati kenyataan bahwa buku yang mereka terima merupakan bajakan.

Dari segi kualitas, buku bajakan berkualitas buruk. Ia biasanya dicetak kertas buram (meski banyak buku bajakan sekarang ini dicetak dengan menggunakan bookpaper yang lebih ringan), dengan pengeleman yang mudah lepas, dan serta tulisan yang tidak terbaca.

Seorang pria sedang duduk di depan sebuah toko buku, courtesy of Kompas.id

Mengapa ia masih digandrungi, meski berkualitas jauh di bawah buku asli? Menurut hemat saya, terdapat tiga alasan yang mendasari ini.

Baca Juga  Sultan Hamid II, Menanti Gelar Pahlawan Nasional yang Tak Kunjung Disematkan

Pertama, banyak orang mengalami kesulitan untuk membedakan antara buku asli dan buku bajakan.  Meski buku bajakan sedikit mudah dikenali, seperti dijual dengan harga lebih murah lokapasar, bukan berarti pembeli akan mudah mengenalinya. Terkadang, banyak buku bajakan dijual layaknya buku asli, bahkan dijual dengan label Repro Super.

Kedua, banyak orang yang tak mengetahui bahwa mengedarkan dan membeli buku bajakan merupakan perbuatan melanggar hukum. Dalam pikiran mereka, nilai penting sebuah buku adalah apa yang termuat di dalamnya, terlepas buku tersebut merupakan buku asli atau bajakan. Mereka tidak mengetahui bahwa membeli buku bajakan adalah pengabaian terhadap peraturan mengenai hak cipta, yang berujung merugikan penulis dan penerbit.

Ilustrasi toko buku independen, courtesy of Jawa Pos

Ketiga, terkait dengan alasan pertama, adalah harga buku bajakan lebih murah. Membeli buku bajakan dapat menyelamatkan isi dompet mereka. Setidak-tidaknya, mereka mendapatkan apa yang mereka perlukan, yakni sebuah buku, dengan mengeluarkan uang lebih sedikit dari yang seharusnya. Toh, menurut mereka, buku, baik asli maupun bajakan, sama saja.

Kondisi ini sering terjadi dalam kehidupan para mahasiswa. Banyak dari mereka masuk dalam lingkaran pembajakan buku, karena harga buku yang jauh lebih murah. Mengutip artikel yang diterbitkan koran The Jakarta Post pada 22 September 2014 (yang disalin kembali oleh ACPD Indonesia), mahasiswa membeli buku bajakan karena uang dapat dihemat untuk keperluan lain.

UU Hak Cipta Hanya Sebatas Formalitas

Berbicara mengenai pembajakan buku, kita sering melihat pada halaman awal sebuah buku, sebuah kalimat yang berbunyi “Hak Cipta Dilindungi Undang-Undang”, yang disusul dengan kutipan Pasal 113 ayat (3) dan (4) Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2014 tentang Hak Cipta. Pengutipan pasal tersebut ditujukan untuk mengingatkan pembaca buku akan nilai penting hak cipta.

Baca Juga  Menertibkan Para Pendengung Politik

Namun, maraknya pembajakan buku membuat Pasal 113 dalam UU No. 28/2014 terkesan tidak berfungsi. Ia masih gagal melindungi penulis dan penerbit dari serangan para pembajak buku. Mengapa demikian?

Ilustrasi hak cipta, courtesy of Tech in Asia Indonesia

Mengutip Diah Ayu Utama dan Erinda Lamonto dalam artikel Perlindungan Hak Cipta dari Tindakan Pembajakan Buku yang Marak Terjadi, dikatakan bahwa UU No. 28/2014 termasuk delik aduan. Ini berarti, seorang pembajak buku tidak akan diproses hukum jika tidak ada pihak terkait yang mengadukan pembajakan yang ia lakukan kepada aparat penegak hukum. Aparat tidak dapat merazia para pembajak buku tapa adanya laporan dari mereka yang merasa dirugikan terhadap aktivitas mereka.

Ini merupakan hal rumit. Melihat ia masuk sebagai delik aduan, membuat para penulis dan penerbit enggan melaporkan praktik pembajakan buku yang terjadi kepada aparat. Seperti yang dilakukan Tere Liye beberapa tahun yang lalu, mereka memilih untuk mengeluh di media sosial alih-alih melapor. Mereka mengetahui, bahwa laporan mereka akan masuk ke telinga orang tuli.

Diperlukan Subsidi Buku oleh Pemerintah

Dapat dikatakan, selama harga buku asli masih tak dapat dijangkau kalangan menengah, masyarakat akan memilih untuk membeli buku bajakan. Para pembajak buku akan tetap eksis selama demand terhadap buku bajakan masih tinggi, terutama dari mereka yang kesulitan menjangkau buku asli dengan harga yang lebih mahal.

Sebenarnya, pemerintah dapat memberlakukan subsidi buku untuk menekan harga buku. Selain membuat buku dapat dijangkau lebih banyak orang, ia dapat diarahkan untuk menekan gerak para pembajak buku.

Seperti pemberitaan yang diterbitkan Kompas.com, subsidi buku pernah dibicarakan angota dewan di Senayan. Ferdiansyah, seorang anggota DPR dari Partai Golkar, pada 2011 mengatakan bahwa kebijakan subsidi buku harus menjadi prioritas. Ketika pemerintah dapat membuat harga kertas, yang penting dalam industri perbukan, menjadi terjagkau, biaya cetak buku akan turun, membuat buku dapat terjangkau oleh masyarakat.

Ilustrasi percetakan buku agama, courtesy of Antara News Jatim

Pada 2015, pemerintah pernah berwacana untuk melakukan subsidi buku. Mengutip pemberitaan Kontan.co.id, Wakil Presiden saat itu, Jusuf Kalla, mengatakan  bahwa pemerintah akan mempertimbangkan untuk memberikan subsidi buku dalam rangka mendukung peningkatan budaya membaca dan menulis buku.

Baca Juga  Kebangkitan Orde Baru? Wong Kita Masih dalam Zaman Orba, Kok!

Disayangkan, hingga kini, wacana tersebut tak kunjung terealisasi. Meski sudah banyak pihak, terutama para pegiat literasi, yang mendorong pemerintah untuk melakukan subsidi buku, pemerintah masih belum tergerak untuk melakukannya. Janji pemerintah pada 2016, bisa dikatakan, masih menjadi janji manis semata.

Pada akhirnya, pembajakan buku disebabkan oleh dua faktor, yakni mahalnya harga buku asli serta ketiadaan kemampuan masyarakat untuk membedakan buku asli dan buku bajakan. Selama harga buku masih mahal, dan pemerintah enggan untuk melakukan subsidi buku, pembajakan buku akan tumbuh subur. Sudah saatnya pemerintah bergerak lebih aktif menekan kegiatan yang dapat membunuh industri perbukuan di negeri ini.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *