Melihat Kembali Polemik Kamus Sejarah Nasional

Berbicara mengenai buku, salah satu topik yang terlintas di kepala adalah buku-buku kontroversial. Setidak-tidaknya, terdapat beberapa buku yang terbit di Indonesia, negara kita tercinta, yang menjadi kontroversi. Melansir artikel Indozone.id, buku seperti The Chocolate War (Robert Cormier), Demokrasi Kita (Mohammad Hatta), dan Buku Putih Perjuangan Mahasiswa 1978 pernah dilarang beredar.

Namun, tahukan Anda, bahwa beberapa tahun yang lalu, terdapat sebuah buku terbitan pemerintah yang memantik kontroversi di negara ini? Buku tersebut, tak lain dan tak bukan, adalah Kamus Sejarah Indonesia Jilid I yang disusun Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemdikbud). Polemik yang dihasilkan buku tersebut, sampai-sampai membuat masyarakat Indonesia, terutama yang melek dengan sejarah, dapat melihat bagaimana abuse negara dalam penulisan historiografi nasional.

Polemik mengenai Kamus Sejarah Nasional, yang menjadi perbincangan hangat pada April 2021, bermula tatkala Ketua Umum NU Circle, R. Gatot Prio Utomo, menyampaikan protes keras terhadap Kemdikbud, karena menghilangkan nama tokoh pendiri Nahdlatul Ulama (NU) sekaligus pahlawan nasional, KH. Hasyim Asy’ari dari Kamus Sejarah Indonesia Jilid I.

Ia mengkritisi Kemdikbud, mengapa nama Hasyim Asy’ari tidak ada dalam entri buku tersebut, ketika fotonya dimuat dalam sampul buku. Lebih jauh, ia mengatakan bahwa para pejabat Kemdikbud lebih mengenal tokoh-tokoh penjajah Belanda dan Jepang dibandingkan tokoh pejuang pendiri NU tersebut.

Pernyataan Gatot mendapat respon dari pihak lain. Salah satunya, dinyatakan oleh Ketua Fraksi PKS sekaligus Anggota Komisi I DPR RI, Jazuli Juwaini. Menurutnya, polemik yang terjadi tersebut merupakan bentuk keteledoran serta ketidakpahaman tim penyusun kamus, dan ia meminta buku, termasuk yang masih berupa draft, untuk segera ditarik dari peredaran.

KH. Hasyim Asy’ari (1871-1947), tokoh pendiri Nahdlatul Ulama (NU) yang tidak dimuat dalam Kamus Sejarah Nasional, courtesy of detikcom

Menanggapi polemik tersebut, Hilmar Farid, Direktur Jenderal Kebudayaan, memberikan klarifikasi. Ia menegaskan bahwa dokumen dari kamus tersebut merupakan softcopy yang masih perlu disempurnakan. Naskah tersebut, ungkapnya, disusun pada tahun 2017 lalu, yang berarti bahwa ia diterbitkan sebelum Nadiem menjabat sebagai menteri pendidikan.

Baca Juga  Fenomena Penganggur di Indonesia yang Terus Meroket

Meskipun Kemdikbud, secara tersendiri, telah menerbitkan klarifikasi, buku Kamus Sejarah Nasional masih dapat diunduh dan dibeli secara bebas, serta ISBN buku telah tersedia. Ini menjadi pertanyaan baru, yang perlu diklarifikasi kembali oleh Kemdikbud sembari menarik buku tersebut dari publik.

Setelah saya melakukan pembacaan atas buku Kamus Sejarah Nasional, ia masih berbentuk softcopy alias masih berupa naskah. Masih terdapat beberapa kesalahan ketik. Bahkan, penempatan daftar pustaka masih belum diatur sedemikian rupa, sehingga tampil berantakan. Dapat dikatakan, naskah buku tersebut disusun secara tergesa-gesa.

Sampul buku Kamus Sejarah Indonesia Jilid I, courtesy of NU Online

Buku Kamus Sejarah Nasional, yang disusun oleh pemerintah Indonesia, terdiri atas dua jilid. Jilid pertama mendapat subjudul Nation Formation (1900-1950), dan jilid kedua bersubjudul Nation Building (1951-1998).

Tujuan penyusunan buku tersebut, mengutip kata pengantar, adalah untuk memudahkan guru, sebagai tenaga pengajar, serta masyarakat umum, dalam mencari istilah-istilah sulit dalam mempelajari sejarah Indonesia abad ke-20. Dalam hal ini, terlihat jelas bahwa dua kamus tersebut lebih bertendensi sebagai bahan ajar, menjadi pengantar serta pembantu dalam kegiatan belajar mengajar.

Selain itu, tujuan berikutnya dari buku Kamus Sejarah Nasional adalah sebagai pintu gerbang penyajian informasi awal sejarah Indonesia. Namun, dalam pengantar kedua buku tersebut, tidak dijelaskan dengan terang arah menuju pintu gerbang tersebut. Apakah ia berarti gerbang untuk mendorong pemahaman sejarah yang hanya mengagungkan nasionalisme, atau gerbang untuk mendorong semangat historis dan kritis dalam melihat sejarah Indonesia, tidak begitu jelas.

Diskursus mengenai nasionalisme dalam sejarah merupakan hal penting. Namun, tidak boleh dilupakan, harus ada pembatasan yang jelas, agar narasi sejarah yang disajikan tidak terjebak kedalam sejarah yang bersifat politis, ideologis serta manipulatif.  Sejarah, sebagai disiplin ilmu, harus tetap menjunjung tinggi kaidah-kaidah ilmiah.

Baca Juga  Apakah Benar Borobudur Dibangun Nabi Sulaiman?

Meski perdebatan mengenai nasionalisme dalam historiografi Indonesia telah dimulai sejak Kongres Sejarah Nasional pada 1957, yakni antara Moh. Yamin dan Soedjatmoko, ia masih bergulir hingga kini. Dalam dua jilid Kamus Sejarah Nasional, kita dapat melihat kemenangan nasionalisme atas kajian kritis dalam historiografi Indonesia.

Sampul buku Historical Dictionary of Indonesia yang disusun Robert Cribb dan Audrey Kahin, courtesy of Amazon

Sebagai pembanding, buku Historical Dictionary of Indonesia, yang telah diterjemahkan dalam bahasa Indonesia dengan judul Kamus Sejarah Indonesia, dapat menjadi bahan menarik. Kamus sejarah Indonesia yang disusun Robert Cribb dan Audrey Kahin ini, memberikan jawaban yang lebih baik dan memuaskan masyarakat Indonesia dalam memahami sejarah bangsanya. Ia disusun tidak hanya sebagai bahan ajar dan sarana untuk menyebarkan nasionalisme, melainkan juga sebagai “bahan referensi yang mudah bagi siapa pun, sebagai bahan studi atau aktivitas profesional-penelitian.”

Melihat (kembali) polemik ini, saya menyarankan kepada pemerintah Indonesia untuk menjelaskan secara lebih terang “pintu gerbang” yang ingin dicapai oleh Kamus Sejarah Nasional. Hal tersebut dapat diwujudkan dengan bersikap lebih serius dalam merancang buku sejarah nasional, yang tentu saja lebih komprehensif dan tepat secara metode maupun metodologinya.

Dapat dikatkan, dua jilid Kamus Sejarah Nasional masih berada pada tingkat bahan ajar bagi para guru, hanya menjawab pertanyaan-pertanyaan yang bersifat trivia semata, serta menjadi penyebar doktrin nasionalisme bagi negara. Belum ada semangat untuk mendorong kesadaran untuk mengajak siswa, guru, dan masyarakat umum, untuk melihat kompleksitas peristiwa sejarah yang tidak hanya berdimensi hitam serta putih.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *