Judul Buku | The Use and Abuse of History; or How the Past is Taught to Children |
Penulis | Marc Ferro |
Penerbit | Routledge |
Kota Terbit | London & New York |
Tahun Terbit | 2003 [1981 dalam bahasa Prancis, 1984 dalam bahasa Inggris] |
Terjemahan | Norman Stone & Andrew Brown |
Halaman | xviii + 390 halaman |
Meski sering diabaikan dalam kajian historiografi, buku ajar sejarah untuk siswa sekolah dasar dan menengah dapat menjadi jawaban untuk melihat cara negara menulis sejarah. Melalui buku ini, sejarah sebuah negara (atau entitas lain) diringkas, disederhanakan, dan disusun sesuai dengan kebutuhan. Terkadang, negara melakukan “manipulasi” terhadap fakta maupun kisah agar sesuai dengan motivasi mereka
Hal ini yang membuat Marc Ferro, sejarawan Prancis yang aktif mengkaji sejarah sinema dan Uni Soviet, mengupas berbagai buku ajar sejarah siswa di berbagai belahan dunia. Melalui kajian mendalam berbagai buku ajar di benua Afrika, Amerika, Eropa, Asia, hingga Australia, Ferro menemukan bahwa negara melakukan abuse (“memanipulasi”) sejarah mereka. Mereka mengabaikan berbagai aspek yang dirasa merugikan jika diketahui oleh masyarakat (dalam hal ini anak-anak), dan menonjolkan potongan kisah yang dirasa baik untuk diceritakan.
Terdapat beberapa poin yang ditekankan oleh Ferro dalam buku ini. Pertama, negara melakukan abuse terhadap sejarah yang mereka kisahkan kepada peserta didik sebagai bagian untuk meningkatkan patriotisme siswa. Di Tiongkok, sebagai contoh, buku sejarah ditulis untuk menumbuhkan semangat patriotisme yang terkait dengan nilai-nilai Marxisme, terutama mengenai gerak sejarah gerakan proletar yang menggulingkan kelompok borjuis-feodal. Pemberontakan Chen Sheng dan Wu Guang, atau dikenal sebagai pemberontakan Dazexiang, ditulis dengan warna Marxis, membuatnya sebagai pemberontakan kaum petani melawan tirani kaisar Dinasti Qin.
Lain Tiongkok, lain pula di Jepang. Menurut Ferro, buku ajar sejarah Jepang sebelum Perang Dunia II menekankan pentingnya semangat patriotisme terhadap kaisar. Kaisar, yang dianggap sebagai titisan dewa di kahyangan dan merupakan sosok paling layak dalam memimpin Jepang, dipandang sebagai pusat seluruh gerak sejarah, menitikberatkan sejarah yang memiliki nilai-nilai kebaikan sang kaisar. Kondisi ini membuat sejarah Jepang pra-Perang Dunia II penuh dengan hubungan antara kaisar dengan subjeknya, dan hanya mengisahkan mereka-mereka yang memiliki “nilai baik” dalam hubungan tersebut.
Kondisi berubah setelah Perang Dunia II berakhir pada 1945. Masuknya pengaruh barat melalui intervensi Amerika Serikat membuat buku ajar sejarah Jepang mengalami perdebatan panjang. Beberapa kalangan menginginkan buku ajar sejarah kembali mengisahkan nilai-nilai baik antara kaisar dan subjeknya. Sebagian kalangan lainnya menginginkan buku ajar yang menitikberatkan nilai-nilai militerisme dan kedekatan dengan kekuatan barat (dengan memposisikan Jepang sebagai “negara yang diberkahi para dewa”). Buku ajar sejarah, pada akhirnya, menjadi diskusi tak berkesudahan di Jepang.
Kedua, selain sebagai sarana untuk menumbuhkan patriotisme, abuse terhadap buku ajar sejarah oleh negara juga dilakukan untuk menumbuhkan perasaan kebangsaan peserta didik. Buku sejarah di India, sebagai contoh, menekankan persatuan antara berbagai agama (terutama Islam dan Hindu) dalam buku ajar sejarah. Meskipun membawa ide yang baik, buku ajar sejarah, pada akhirnya, berfokus pada peradaban Hindu yang perkasa, dan mengabaikan berbagai konflik agama yang masih terjadi di negara tersebut hingga kini. Jika Islam disebut dalam buku ajar sejarah, ia tak lebih sebagai penambah kemahakuasaan peradaban Hindu di India.
Kondisi serupa juga terjadi dalam penyusunan buku ajar sejarah di Amerika Serikat. Seiring dengan masuknya imigran ke Amerika Serikat pada awal abad ke-20, buku ajar sejarah, yang semula hanya “buku sejarah ras kulit putih” (White history) dan menekankan melting-pot identitas bangsa Amerika, setiap kelompok etnis menginginkan buku sejarah mereka sendiri-sendiri. Mereka menginginkan identitas etnis mereka tetap terlihat dalam buku ajar sejarah, yang mengawali kemunculan istilah salad-bowl. Diawali oleh kelompok kulit hitam (Blacks), kemudian keturunan Irlandia (Irish), dan disusul kelompok masyarakat asli (Native American), membuat perumusan buku sejarah untuk seluruh kelompok masyarakat di Amerika Serikat menjadi keniscayaan.
Terakhir, abuse terhadap buku ajar sejarah sering mengabaikan berbagai narasi kelompok masyarakat yang terpinggirkan. Hal tersebut nampak dalam historiografi kelompok Aborigin di Australia. Melalui apa yang disebut Ferro sebagai buried history (sejarah yang terkubur), kelompok Aborigin mencoba menyusun sejarah masyarakat mereka. Kisah mereka memiliki pola yang sederhana; dimulai dari penggabungan unsur sejarah dan mitologi, menjadi kehidupan yang tentram, dan diakhiri penderitaan seiring dengan penetrasi kelompol kulit putih.
Lalu, bagaimana dengan kondisi buku ajar sejarah di Indonesia? Mengingat tidak adanya kajian menyeluruh mengenai ini, dan Ferro tak menyinggung mengenai historiografi di Asia Tenggara, penyusunan buku ajar sejarah di Indonesia mirip dengan kondisi di Black Africa. Setelah terpapar sejarah negara yang menjajah (dalam hal ini Belanda) selama berabad-abad, Indonesia merdeka ditugaskan untuk menulis sejarah mereka sendiri, atau dalam bahasa Ferro, melakukan “dekolonisasi sejarah”.
Sejarah Indonesia, alih-alih bebas mengeksplorasi orang Indonesia sebagai penggerak, tokoh utama, hanya bersifat mengubah “pahlawan” dan “penjahat”. Sosok negara penjajah, Belanda bagi Indonesia, menjadi sosok serba-jahat. Sementara Indonesia, yang semula hanya menjadi karakter pelengkap, kini berubah menjadi sosok serba-baik. Sejarah Indonesia, pada akhirnya, hanya memutarbalikkan tokoh semata. Mungkin, jika mengutip analisis Ferro mengenai India dan Jepang, sejarah Indonesia adalah “sejarah tanpa identitas” (history without identity), terutama identitas mengenai kebangsaan, dan “sejarah sebagai ideologi” (history as ideology), dalam hal ini ideologi Pancasila.
Bagaimana Ferro mengakhiri buku ini? Ferro menyajikan dua fakta kepada pembaca. Pertama, bahwa penulisan universal history, yang menitikberatkan Eropa sebagai pusat peradaban, adalah sebuah keniscayaan. Setiap negara, masyarakat, komunitas, hingga kelompok, memilih sejarah mereka sendiri, baik sebagai anti-history maupun buried-history, dengan pusat sejarah yang khas. Kondisi ini menyebabkan fakta kedua, yakni guru sejarah diharapkan untuk menampilkan dinamika dan keberagaman sejarah kepada peserta didik. Mengakhiri buku ini, Ferro mengungkapkan bahwa tugas guru sejarah dalam menyajikan “pengetahuan sejarah” (historical knowledge) tidak lagi melalui akumulasi fakta, tetapi melalui “penguasaan metodologi dan komprehensi yang lebih baik” (hlm. 363).
Sebagai buku historiografi mengenai buku sejarah, The Use and Abuse of History dapat menjadi bacaan wajib setiap guru sejarah yang berjibaku dengan buku teks, serta bagi mahasiswa sejarah, terutama mahasiswa pendidikan sejarah, untuk menyelami abuse negara terhadap buku sejarah serta menghadapi rintangan tersebut.
Meski begitu, buku ini memiliki satu kelemahan utama, yakni tidak adanya penjelasan terhadap berbagai peristiwa masa silam dalam buku ajar sejarah yang dianalisis. Ini dapat membuat pembaca terjebak dalam kebingungan menghadapi fakta demi fakta yang asing dalam benak mereka. Untuk menyiasati ini, sesi konsultasi dengan internet maupun referensi terkait dapat membantu pembaca memahami sejarah negara luar yang asing dalam pengetahuan pembaca Indonesia.