Tradisi Penukaran Uang saat Lebaran, Wujud Rasa Syukur dan Kebahagiaan kepada Sesama

Menjelang Idulfitri, masyarakat muslim di Indonesia berbondong-bondong menukarkan uang mereka dengan uang pecahan baru, baik dilakukan di bank, melalui para penjual uang di pinggir jalan, atau, di era internet seperti sekarang ini, melalui marketplace. Meski kelompok masyarakat yang lebih religius melihat tradisi menukarkan uang ke uang dengan nominal lebih kecil ini sebagai riba (rente) dan melarangnya, hal tersebut tidak mempengaruhi perasaan antusias masyarakat.

Praktek penukaran uang, sejak kapan tradisi ini berasal, tidak dapat ditelusuri secara pasti. Catatan paling awal, atau setidak-tidaknya catatan yang dapat saya jangkau,  mengatakan bahwa tradisi menukarkan uang saat Idulfitri dimulai pada 1983.

Dalam artikel berjudul Uang receh untuk Lebaran (Kompas, 10 Juli 1983), dikisahkan pengalaman Raharja dari Tebet. Untuk menyambut anak dan mantu pada Lebaran, Raharja menukar uang receh untuk dibagikan kepada cucu-cucunya. Uang yang ditukarkan tersebut merupakan uang yang sengaja ditabung untuk mereka.

Seorang warga yang memegang uang pecahan baru dari Stasiun Penukaran Uang Bank Indonesia, courtesy of Solopos

Beberapa puluh tahun berselang, harian yang sama mengisahkan pengalaman Ibna, seorang warga Padang, Sumatera Barat, yang menukarkan uang pecahan kecil untuk para keponakannya. Pengalaman Ibna serupa dengan Maya. Warga Palembang tersebut menukarkan uang pecahan Rp100.000 dengan pecahan Rp2.000, agar keponakannya “senang kalau dapat uang jajan” (Kompas Sumbangsel, 27 Agustus 2010).

Benang merah apa yang dapat ditarik dari dua kisah di atas? Kegembiraan, yakni kegiatan membagikan uang kecil kepada sanak saudara merupakan cara umat muslim di Indonesia untuk mengucap syukur atas berkah yang diberikan Allah. Seperti yang diungkapkan A Mustofa Bisri dalam artikel Syukuran Idul Fitri, tradisi menukar uang menyambut Idulfitri adalah sebuah curahan rasa syukur seseorang yang mampu memberikan kebahagiaan kepada sesama.

Juga, dalam cara pandang kebudayaan, tradisi penukaran uang saat Idulfitri merupakan sebuah “kearifan lokal”, mengutip istilah Mohamad Guntur Romli (Kompas, 27 Agustus 2011) yang perlu diberdayakan secara konsisten. Membagikan uang kepada anak-anak, keponakan, maupun cucu dan cicit merupakan ekspresi suguhan makan.

Jasa penukaran uang baru di pinggir jalan menjelang Lebaran, courtesy of DuniaFintech

Uang yang mereka dapatkan akan mereka kumpulkan, untuk kemudian dibelikan makanan yang mereka inginkan (atau dalam kasus di Indonesia beberapa tahun belakangan, digunakan untuk top-up video gim). Konsumsi ini, pada akhirnya, akan bermuara kepada kebahagiaan, rasa syukur dan terima kasih terhadap segala berkah kehidupan selama Ramadan.

Baca Juga  Seni Kepemimpinan Ala Khalifah Abu Bakar

Bisa dikatakan, tradisi penukaran uang menjelang Idulfitri di Indonesia, terlepas dari permasalahan akan riba, memiliki makna ungkapan kebahagiaan, kebersamaan, dan rasa syukur seorang muslim bersama keluarga besarnya. Sebuah tradisi yang perlu diberdayakan lebih lanjut, dan dikuliti lebih dalam lagi, sehingga esensi dari ajaran ini dapat dikenal masyarakat luas.

Referensi:
[1] A Mustofa Bisri .“Syukuran Idul Fitri”. Kompas, 12 Oktober 2007
[2] Anonim. “Uang receh untuk Lebaran”. Kompas, 10 Juli 1983.
[3] Anonim. “Idul Fitri: Uang Kecil untuk Keponakan”. Kompas Sumbagsel, 27 Agustus 2010.
[4] Mohamad Guntur Romli. “Idul Fitri dan “Kearifan Lokal. Kompas, 27 Agustus 2011.

*Ucapan terima kasih kepada Alvin Benrick Nugroho yang telah membantu mengumpulkan beberapa data di PIK Kompas, Yogyakarta

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *