Judul buku | Why Learn History (When It’s Already on Your Phone) |
Penulis | Sam Wineburg |
Penerbit | The University of Chicago Press |
Kota terbit | Chicago and London |
Tahun terbit | 2018 |
Halaman | 241 halaman |
Mengapa kita harus belajar sejarah, meski segalanya sudah bisa diketahui melalui pencarian Google? Pertanyaan sederhana ini terlihat mudah untuk dijawab, bukan? Bagi sebagian besar kalangan di Indonesia, terutama mereka para mahasiswa sejarah, tentu saja untuk mempelajari dinamika masa lalu. Tetapi, apakah itu sudah cukup?
Menurut Sam Wineburg, hal tersebut masih jauh dari cukup. Menurutnya, belajar sejarah hanya untuk mengetahui dinamika masa lalu masih belum cukup pada era digital seperti sekarang ini. Terlebih, dengan melihat bagaimana pengajaran sejarah di ruang ajar Amerika Serikat sejak abad ke-20 hingga awal abad ke-21, yang bisa dilihat dalam ulasan terdahulu, hal tersebut sulit untuk dicapai.
Mengapa? Dalam buku Why Learn History (When It’s Already on Your Phone), paradigma kesejarahan sekolah, dalam hal ini adalah guru dan siswa, di Amerika Serikat masih keliru. Pada tiga bab awal buku tersebut, Wineburg menghabiskan diri melihat kesalahan “kegilaan” pejabat dan publik Amerika terhadap kemampuan sejarah siswa, proyek The Teaching American History (TAH), dan buku A People’s History of United States karya Thomas Zinn.
Hal pertama, mengenai “kegilaan” para pejabat dan publik Amerika, Wineburg melihat bahwa selama pengujian ukuran dan kemampuan siswa masih mengandalkan soal-soal pilihan ganda, yang hanya menekankan pemahaman atas fakta sejarah semata, headline seperti “Kemampuan Sejarah Siswa di Amerika Serikat Sangat Buruk” atau “Memprihatinkan! Kemampuan Sejarah Siswa di Amerika Serikat hanya 30 dari 100!” akan terus muncul. Jika mereka menginginkan hasil yang berbeda, mereka perlu menggunakan metode pengujian khusus, yang benar-benar menekankan pemahaman siswa atas sejarah.
Berikutnya, mengenai proyek TAH, Wineburg menulis bagaimana proyek ambisius tersebut mencoba meningkatkan pemahaman sejarah siswa melalui pendanaan yang sangat besar. Meski melibatkan guru sejarah di berbagai negara bagian dan berlangsung selama hampir 10 tahun, proyek TAH tidak dapat menorehkan hasil yang pasti, bahwa ia berhasil meningkatkan kemampuan siswa dalam sejarah. Bahkan, Wineburg menuding bahwa proyek tersebut hanya praktek buang-buang uang semata.
Terakhir, mengenai A People’s History of United States, dalam bab Commiting Zinn, Wineburg memandang buku paling sejarah paling populer dalam masyarakat Amerika tersebut tidak lepas dari masalah. Tidak adanya catatan kaki untuk mengajak pembaca melakukan konfirmasi, ketiadaan sumber primer yang memadai, serta berbagai kesalahan lainnya yang diterangkan Wineburg, membuat A People’s History bukan merupakan buku acuan yang baik untuk mempelajari sejarah Amerika Serikat.
Ketiga kondisi di atas, pada akhirnya, membuat paradigma sejarah di ruang ajar Amerika Serikat penuh dengan masalah. Dalam bab 4 dan 5, masing-masing diberi judul Turning Bloom’s Taxonomy on Its Head (yang membahas taksonomi pendidikan Benjamin S. Bloom) dan What Did George Think? (yang membahas bagaimana religiusitas George Washington melalui arsip peringatan Thanksgiving) dalam judul besar Historical Thinking ≠ An Amazing Memory, masyarakat Amerika Serikat, terutama guru dan siswa, kesulitan untuk melihat sejarah sebagai sebuah proses. Kegagalan mereka melihat aspek kesejarahan sebuah sumber primer, menunjukkan bahwa sistem pendidikan di Amerika Serikat selama ini gagal untuk mengajak peserta didik untuk “berpikir menyejarah” (historical thinking).
Bagaimana mewujudkan masyarakat yang mampu melakukan historical thinking? Semua perlu dimulai dari ruang ajar, dari ruang kelas setiap sekolah dasar dan menengah. Dalam bab 6, Wineburg menceritakan pengalamannya mengerjakan proyek Promoting Argumentation Through History and Science (PATHS), bagaimana kemampuan berpikir siswa akan sejarah dapat digugah dengan mengajak mereka melihat sejarah melalui sumber primer.
Menurutnya, dengan mengajak mereka membaca berbagai jenis tulisan mengenai sebuah peristiwa sejarah (dalam kasus Wineburg, penangkapan Rosa Parks pada 1955), dan mendiskusikannya, mampu membuat suasana kelas menjadi lebih aktif, serta mengajak siswa menyelami bahwa sejarah bukanlah sebuah kisah yang pasti dan hanya kumpulan fakta semata, tetapi merupakan kisah yang dinamis dan tergantung sudut pandang dan jiwa zaman penulisnya.
Lalu, apa yang dapat diberikan sejarah di era digital ini? Menurut Wineburg, sejarah memberikan mereka kerangka untuk berpikir lebih kritis terhadap sumber dan internet. Keberadaan internet yang masif, dengan menyediakan sumber informasi yang sangat luas, perlu dibarengi dengan pembacaan kritis terhadapnya. Dan sejarah, sebagai ilmu yang menekankan pada pembacaan sumber, menawarkan kerangka untuk melakukan hal tersebut. Wineburg menegaskan bahwa kemampuan yang lemah dalam melakukan kritik terhadap informasi di internet menjadi tanda serius bahwa kemampuan sejarah masyarakat tersebut juga rendah.
Pesan Wineburg sangat sederhana: dalami sejarah dengan betul mulai dari sekolah. Jika sekolah masih terus melakukan cara-cara lama untuk mengajarkan sejarah (hanya menekankan pengumpulan fakta, menekankan buku teks, tidak menggugah siswa untuk membaca dan melakukan pemikiran kritis, serta berfokus pada pengujian pilihan ganda), sekolah hanya akan menghasilkan generasi yang lemah nalar. Mereka akan kesulitan melakukan kritik sumber atas apa yang mereka hadapi, dan bukan tidak mungkin, terjebak di dalamnya. Pada akhirnya, sekolah dan pendidikan hanya menghasilkan generasi baru yang tidak jauh berbeda dengan generasi sebelumnya.
Sebagai sebuah buku sejarah, Why Learn History menjadi buku yang mengubah pemahaman saya terhadap sejarah. Dan, ia membuat saya menyadari, bahwa tanpa sejarah, mungkin saya sudah terjebak dalam arus informasi internet yang begitu masif dan deras ini, terjebak dalam bias berbagai informasi yang beredar. Sejarah pula, dan saya sependapat dengan Wineburg, memberikan saya kerangka berpikir yang lebih kritis dalam melihat segala tulisan dan sumber di hadapan saya saat ini.
Buku Why Learn History dapat menjadi bacaan awal mengenai kiat-kita untuk mengajar sejarah di sekolah (dan menjadi rekomendasi untuk seluruh guru sejarah di Indonesia), serta menjadi bacaan wajib bagi siapapun yang ingin mengubah paradigma mereka terhadap sejarah. Sebuah buku wajib, yang diharapkan dapat tersedia dalam bahasa Indonesia, agar bisa menjangkau pembaca yang lebih luas dan memiliki kemampuan bahasa Inggris yang “pas-pasan”.