Judul Buku | Kasta |
Penulis | Witri Prasetyo Aji |
Penerbit | Bhuana Sastra |
Kota Terbit | Jakarta |
Tahun Terbit | 2017 |
Halaman | 224 halaman |
Sebagai sebuah aspek yang dianggap telah “usang” dalam mentalitas masyarakat Bali, kasta masih menjadi topik yang menarik untuk disajikan dalam bentuk fiksi. Beberapa tahun yang lalu, kita dapat melihat beberapa karya Oka Rusmini diterbitkan kembali seiring tumbuhnya permintaan akan bacaan mengenai Bali, dan juga beberapa tahun yang lalu, saya menyaksikan sendiri mahasiswa dari UNHI mencari novel berseri Tresnane Lebur Ajur Satonden Kembang karangan Jelantik Santha untuk bahan skripsi. Novel berseri tersebut memiliku unsur kasta yang kental.
Novel “Kasta” karangan Witri Prasetyo Aji menyajikan konflik batin Ida Ayu Made Maharani (Rani), seorang wanita berkasta brahmana yang secara tidak sengaja menemukan cinta di pantai Sanur, dalam bentuk pertemuannya dengan I Wayan Widyana (Widya), seorang tukang tato. Novel ini juga menyajikan kisah I Made Widyasari (Sari), seorang wanita yang menghabiskan kehidupan malamnya dengan menjadi wanita jalang di wilayah Legian, dan pertemuan secara tidak sengaja dengan Ida Bagus Putu Mahendra (Hendra), yang tidak lain adalah pemimpin tempat ia bekerja. Ikatan dan lilitan pertemuan antara empat tokoh ini berujung pada perjodohan antara Rani dengan Hendra, Sari yang dihamili oleh Hendra, hingga Widya dan Hendra yang terlibat baku hantam untuk meminta pertanggungjawaban Hendra atas Sari, adiknya.
Kasta tidak banyak ditampilkan dalam novel ini, disayangkan. Ia lebih banyak disinggung dalam bagian yang saya sebut sebagai “eksotisme Bali”. Ia tidak tampil sebagai sebuah konflik telanjang, tidak seperti penyajian menikah dengan keris seperti dalam bagian akhir novel-cum-otobiografi “Lentera Batukaru” (yang akan kami review dalam bagian berikutnya). Kasta disajikan sebagai dasar tokoh yang terlibat dalam konflik, bukan sebagai dasar konflik itu sendiri. Konflik yang disajikan sebatas pernikahan antarkasta yang telah dianggap tabu, cinta yang terhalang kasta, dan mungkin bagi mereka yang memegang mitos peraturan 1951, telah dilenyapkan oleh pemerintah Bali dan tidak selalu terkait dengan konflik.
Mengenai penyajian latar tempat, novel ini juga mengikuti model-model “eksotisme Bali”. Tidak ada tempat yang tidak sebagai tempat wisata dan populer yang tidak disebutkan. Sanur, Legian, Kuta, Tanah Lot, Ubud, tempat-tempat yang dipenuhi dengan wisatawan yang berpakaian serba mini, klub malam, dan Bali yang dingin dan bernuansa eksotis. Tidak seperti dalam Lentera Batukaru, yang menyajikan sebuah desa miskin di lereng gunung Batukaru sebagai latar dalam kisah yang disajikan.
Bagi penggemar novel populer (pop) dan mereka yang mendambakan Bali yang eksotis, novel ini dapat dibaca dengan mudah. Mungkin akan sedikit membosankan pada bagian awal, karena penulis menyajikan dua kisah berbeda yang baru dikaitkan dalam satu benang yang sama pada bagian tengah menuju akhir. Bagi mereka yang mendalami mengenai sastra mengenai Bali, dan juga mengenai kasta, novel ini dapat dijadikan bacaan tambahan untuk memperdalam perspektif masyarakat, baik masyarakat Bali maupun luar Bali, mengenai Bali dan kasta.
One thought on “Eksotisme Bali dalam “Kasta””