Judul Buku | Lentera Batukaru |
Penulis | Putu Setia (Mpu Jaya Prema Ananda) |
Penerbit | Kepustakaan Populer Gramedia |
Kota Terbit | Jakarta |
Tahun Terbit | 2019 |
Halaman | 258 halaman |
“Kamu mencoblos PNI ya? Bangsat kamu, sudah saya ingatkan, coblos Golkar…” (hlm.124), begitulah salah satu gambaran realita yang dialami Putu Setia kecil ketika dihadapkan pada dilema “bulelengisasi” partai dan ormas-ormas PNI agar bersedia membubarkan diri dan membentuk sekretariat atau bergabung dengan Golongan Karya pada pemilu 1971. Keteguhan, atau mungkin lebih tepat sikap keras kepala, bahwa ia tidak ingin membubarkan ormas pemuda Marhaen di desanya di lereng Gunung Batukaru berujung kepada masalah besar. “Dasar tentara bangsat!”, begitulah Putu Setia mengungkapkan perasaan kesalnya terhadap tentara yang mengatur semena-mena mentalitas politik dan suara masyarakat Bali pada awal Orde Baru.
Buku ini, yang merupakan lanjutan dari otobiografi yang diterbitkan sebelumnya (Putu Setia, Wartawan Jadi Pendeta) yang dikemas dalam bentuk novel fiksi. Dalam novel ini, dikisahkan Putu Setia muda, yang hidup di sebuah desa miskin di lereng Gunung Batukaru, dengan latar belakang sejak 1960-an hingga 2007, ketika ia menjadi Bhawati.
Kisah-kisah dalam buku ini dikemas dengan cara yang ringan, menggelitik, dan penuh dengan unsur-unsur historis yang terjadi di Bali sejak 1960-an. Mulai dari konflik kesenian dan politik antara PNI dan PKI, berita mengenai kudeta 1965 dan pemberantasan orang-orang PKI hingga ke akar-akarnya, pemilu 1971, seperti yang diceritakan di awal, 1980-an yang diisi ketika Putu Setia bekerja sebagai wartawan dan merantau ke Jawa, kerusuhan 1999, hingga menjadi seorang sulinggih untuk umat Hindu-Bali pada 2008.
Selain menyelami kisah kehidupan Putu Setia, penulis juga mengajak untuk menyelami hidup seorang Mbok Ngarti, seorang janda yang terpaksa kehilangan suaminya karena dituduh aktif dalam BTI (meskipun kegiatan yang dilakukan suaminya hanya mendirikan bangunan untuk markas BTI dan ikut dalam satu kegiatan selama semalam suntuk). Kegiatan tersebut harus dibayar suami Mbok Ngarti dengan nyawa, dan terlantung-lantung menjadi makhluk jadi-jadian yang tak memiliki tempat tinggal terakhir. Sebagai seseorang yang “tidak bersih lingkungan”, hidup adalah pilihan yang luar biasa berat baginya.
Juga kita akan diajak menyelami kedua anak Mbok Ngarti, Ni Made Kerti yang menghabiskan waktu kecilnya dengan berjualan canang dan bersekolah, kemudian harus menikah dan masuk ke dalam kehidupan keluarga puri, serta Wayan Sunawa, yang memiliki dendam karena kehilangan ayahnya, dan berusaha membalaskan dendam tersebut dengan ikut aktif dalam kegiatan “mengikat banteng di pohon beringin” pada 1971 dan berusaha mencari tahu nasib ayahnya.
Menyambung resensi buku Kasta yang cenderung “eksotis”, buku ini hanya menyajikan konflik kasta pada satu bagian, ketika Ni Made Kerti harus dinikahkan dengan keris sebagai pengganti suaminya dan berubah nama menjadi Jero Sandat. Putu Setia, yang saat itu sudah menjadi cendekiawan, dan suami Kerti, memiliki visi yang sama, visi yang menolak adanya aturan kasta yang menciptakan diskriminasi. Pernikahan tersebut pada akhirnya berhasil dilangsungkan, meskipun pada bagian berikutnya, ketika suami Kerti ikut mengurusi jenazah mertuanya, ia mengalami kasepekang (dikucilkan) dari lingkungan puri.
Bagi para peneliti mengenai Bali yang membutuhkan realita historis pulau tersebut, buku ini dapat menjadi sumber pembanding pemberitaan yang terbit pada surat kabar sezaman. Saya rasa, tidak akan banyak perbedaan antara isi buku ini dan tulisan-tulisan dalam surat kabar tersebut. Ia berhasil memperkaya wawasan mengenai Bali, khususnya pada masa kontemporer, yang saat ini masih enggan disentuh oleh akademisi dan dikerjakan secara historis dan kultural.
One thought on “Bali dalam Memori Putu Setia”