Blambangan, Tanah “Frontier” Terakhir di Jawa

Berbicara mengenai Blambangan, hal pertama yang terlintas dalam pikiran adalah wilayah ini merupakan wilayah “pemberontak” dan “pengkhianat”. Pada abad ke-17, ketika Sultan Agung berkuasa, Blambangan merupakan satu-satunya wilayah di Jawa yang belum ditaklukan Mataram, dan menjadi wilayah yang masih menganut agama Hindu di Jawa. Ekspansi Sultan Agung, selain ingin menyatukan Jawa di bawah kekuasaan Mataram, juga ingin mengislamkan Jawa, mengikuti cita-cita Sultan Agung yang ingin menjadi raja seluruh Jawa.

Berdasarkan temuan De Graaf dan Pigeaud (1974) serta Adrian Vickers (1987), Blambangan masih menjadi sebuah kerajaan Hindu pada abad ke-17. Hal ini disebabkan oleh adanya peralihan kekuasaan dari penguasa lokal ke penguasa berketurunan Bali setelah runtuhnya Majapahit pada awal abad ke-16. Posisinya yang jauh dari kawasan berbasis Islam membuat Blambangan menjadi daerah yang terlindungi dari pengaruh Islam.

De Graaf dan Pigeaud, dalam artikel berjudul The Reign of Sultan Agung, mengatakan bahwa Mataram telah menyerang Blambangan pada 1630-an. Dalam penyerangan itu, Blambangan mendapatkan bantuan pasukan dari kerajaan Gelgel. Mataram berhasil menguasai Blambangan setelah merebut Pasuruan dan Surabaya pada 1625.

Situs Kawitan di Taman Nasional Alas Purwo, Banyuwangi, salah satu peninggalan kerajaan Blambangan yang masih tersisa, courtesy of Geopark Ijen

Ini membuat Blambangan meminta bantuan VOC. VOC menyarankan agar Blambangan dan Gelgel menyerang daerah vasal Mataram di Jawa Timur. Karena alasan tidak adanya armada, saran tersebut ditolak.

Gejolak perebutan kekuasaan di Blambangan terus terjadi hingga abad ke-18. Pada 1768, Wong Agung Wilis melakukan pemberontakan terhadap VOC karena ia tidak menginginkan adanya campur tangan VOC dalam politik Blambangan. Pemberontakan ini membuat VOC mulai melakukan serangan ke Blambangan. perlawanan Wong Agung Wilis berhasil dipadamkan, dan para pemberontak kemudian dapat ditangkap.

Mengutip disertasi Sri Margana, setelah pemberontakan Wong Agung Wilis berhasil dipadamkan, VOC menempatkan seorang bupati beragama Islam di Blambangan. Hal ini membuat pemimpin lokal Blambangan murka. Mereka tidak menginginkan adanya intervensi dari etnis dan agama lain.

Sketsa wajah Wong Agung Wilis, courtesy of Wikipedia

Resistensi yang terjadi juga terbentuk karena Blambangan menginginkan kemerdekaan untuk dirinya sendiri. Terlebih, sebelum kedatangan VOC, Blambangan menjadi “jajahan” beberapa kerajaan di Bali. Resistensi tersebut menimbulkan sebuah perlawanan besar pada 1771 hingga 1774.

Baca Juga  Pertobatan Ekologis, Sebuah Seruan untuk Kembali Menyayangi Alam

Perang yang dikenal dengan nama “Puputan Bayu” tersebut, merupakan puncak gejolak di wilayah Blambangan, antara pasukan Blambangan dengan VOC. Perang tersebut dimenangkan oleh VOC. Karena Puputan Bayu, terjadi depopulasi besar-besaran di Blambangan. Penduduk Blambangan, yang semula berjumlah sekitar 60.000 jiwa, turun menjadi 5.000 jiwa setelah perang berakhir.

Monumen untuk mengenang perang Puputan Bayu di Rowo Bayu, Banyuwangi, courtesy of Wikipedia

Berkat kemenangan VOC dalam Puputan Bayu, pengaruh Islam semakin menguat di Blambangan. Ini dapat dilihat ketika VOC menunjuk beberapa bangsawan Mataram menjadi Bupati Blambangan. Kondisi ini, menurut Sri Margana, menjadi awal proses Islamisasi di Blambangan, dengan berpendapat bahwa VOC yang mengislamkan Blambangan.

Gejolak perebutan kekuasaan antara kekuatan Hindu dan Islam membuat Sri Margana berpendapat bahwa Blambangan adalah sebuah “frontier”. Wilayah yang diperebutkan Blambangan, Mataram, dan Bali, tetapi VOC yang berdiri sebagai pemenangnya.

Referensi
[1] De Graaf, H.J. dan Theodore G. Th. Pigeaud. 1974. “Geschiedenis van Java’s Oosthoek in de 16de Eeuw; Het Oosten van de Oosthoek: Blambangan”, dalam De Eerste Muslimmen Vorstendommen op Java. Leiden: Brill. [Verhandelingen 69]
[2] De Graaf, H.J. dan Theodore G. Th. Pigeaud. 1976. “The Reign of Sultan Agung of Mataram 1613-1645, and His Predecessor Panembahan Seda-Ing-Krapyak, dalam Islamic State in Java 1500-1700. Leiden: Brill. [Verhandelingen 70]
[3] Sri Margana. 2007 “Java’s Last Frontier: Struggle for Hegemony of Blambangan, c. 1763-1813”. Disertasi. Faculty of Humanities, Leiden University. Leiden.
[4] Vickers, Adrian. 1987. “Hinduism and Islam in Indonesia: Bali and the Pasisir World”. dalam Indonesia. Vol. 44.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *