Judul buku | Historical Thinking and Other Unnatural Acts: Charting the Future of Teaching the Past |
Penulis | Sam Wineburg |
Penerbit | Temple University Press |
Kota terbit | Philadelphia |
Tahun terbit | 2001 |
Halaman | 280 halaman |
“Nilai 33 dari 100 dalam pertanyaan mengenai berbagai fakta paling sederhana dalam sejarah Amerika Serikat bukanlah rekor yang dapat dibanggakan setiap sekolah menengah di negara ini.” Kutipan ini, yang diambil dari kajian J. Carleton Bell dan David McCollum pada 1917, menjadi penegas bahwa pemahaman siswa sekolah menengah di Amerika Sejarah akan sejarah mulai mengalami penurunan. Kondisi tersebut dirasakan hingga 1990-an, melalui op-ed Sean Wilentz dalam harian The New York Times, bahwa siswa di Amerika Serikat tak dapat melihat sejarah sebagai sebuah proses.
Permasalahan tersebut mengantarkan pembaca ke dalam isi buku ini. Buku yang berisi kumpulan artikel yang pernah ditulis Sam Wineburg, baik sendiri maupun bersama peneliti lain, mengundang rasa penasaran pembaca mengenai bagaimana pengajaran sejarah di Amerika Serikat.
Menurut Wineburg, pengajaran sejarah di Amerika Serikat menjelang pergantian millennium penuh dengan tantangan, baik bagi guru maupun siswa. Bagi siswa, mereka masih melihat sejarah hanya sebagai pemahaman akan rangkaian fakta. Sejarah, bagi mereka, bukan hal yang penuh dinamika dan emosi. Ia tak lebih dari kumpulan fakta demi fakta yang terkait satu sama lain, yang harus mereka ketahui untuk bisa mendapatkan nilai yang baik.
Selain melihat sejarah hanya sebagai kumpulan fakta, mereka juga kesulitan untuk menggambarkan peristiwa masa silam lepas dari bias gender. Dalam bab Picturing the Past, sejarah masih digambarkan sebagai milik laki-laki dalam imaji anak-anak. Mereka masih kesulitan untuk membayangkan peran perempuan maupun kelompok minoritas memiliki andil dalam perjalanan sejarah. Bagi mereka, sejarah Amerika Serikat adalah sejarah milik pria kulit putih.
Beda siswa, beda pula permasalahan yang dihadapi guru. Dalam bab Reading Abraham Lincoln, guru sejarah masih sulit untuk melakukan apa yang Wineburg sebut sebagai “berpikir kontekstual”. Dengan menguji dua orang guru sejarah, masing-masing dengan nama samaran Ted dan Ellen, cara pandang mereka terhadap berbagai bacaan mengenai Abraham Lincoln, presiden Amerika Serikat ke-16, kontras.
Ted kesulitan melihat konteks pidato Lincoln, lawan politiknya, surat pribadi Lincoln kepada Mary Speed, hingga berbagai fragmen mengenai masalah perbudakan yang diungkapkan tokoh setelah Lincoln. Baginya, Lincoln tak lebih dari sosok pendukung supremasi kulit putih, ketika ia membaca pidato Lincoln yang menyatakan bahwa ras kulit hitam akan sulit berbaur dengan masyarakat kulit putih.
Di sisi yang berbeda, Ellen, melakukan pembacaan berbagai sumber mengenai Lincoln dengan lebih teliti. Baginya, pidato Lincoln yang mengungkapkan supremasi kulit putih adalah usaha Lincoln untuk merebut suara politik kelompok abolisi, yang menginginkan penghapusan perbudakan, dan kelompok konservatif, yang ingin mempertahankan supremasi ras kulit putih. Ia berhasil melihat dinamika pemikiran seorang Abraham Lincoln yang penuh dengan ketidakpastian, di tengah Perang Sipil Amerika dan suara pembebasan kaum budak.
Kondisi Ted dan Ellen dialami juga oleh pengajar sejarah di Indonesia. Sebagian besar guru sejarah, baik yang sudah mengajar puluhan tahun maupun yang baru diangkat menjadi guru, kesulitan untuk melakukan pembacaan kontekstual. Mereka masih terpaku dengan buku ajar (textbook), yang menurut Wineburg “menghapuskan segala opini dan ketidakpastian akan sejarah”. Kondisi seperti ini, pada akhirnya, membuat pengajaran sejarah di Indonesia hanya berfokus pada pemahaman akan fakta, berbuah pandangan bahwa sejarah adalah ilmu yang membosankan dan tidak menarik.
Lalu, bagaimana solusi yang ditawarkan Wineburg. Wineburg tidak menawarkan solusi tertutup atas permasalahan guru dan murid dalam pengajaran sejarah. Baginya, solusi terbaik untuk mewujudkan pengajaran sejarah yang lebih menekankan proses alih-alih fakta berada di tangan guru dan pemerintah.
Sebagai seorang tenaga pendidik, seorang guru diharapkan untuk terus mengembangkan berbagai metode serta cara pembelajaran dalam kelasnya. Mereka dapat memperkenalkan siswa dengan sumber primer, mengajak mereka untuk mengaitkan masa silam yang jauh dengan realita masa kini, maupun, dalam kasus era digital seperti sekarang, menggunakan berbagai media populer. Secara singkat, guru diharapkan untuk belajar lebih luas dari pemahaman sebuah buku teks.
Bagi pemerintah, solusi yang dapat mereka lakukan adalah menyiapkan buku teks sejarah yang lebih berbobot. Tidak lagi mengajak siswa untuk menghayati jasa-jasa para pahlawan atau menanamkan patriotisme dan nasionalisme, siswa juga perlu dilatih untuk berpikir lebih kritis, luas, objektif, dan empati terhadap sejarah. Seperti yang pernah ditekankan Kuntowijoyo, sejarah untuk sekolah menengah setidak-tidaknya wajib mengajak siswa untuk melatih kemampuan kritis, dan meminjam istilah Mestika Zed, berpikir historis.
Buku Historical Thinking and Other Unnatural Acts menjadi bacaan wajib bagi siapapun, terutama bagi guru sejarah, yang ingin memperkenalkan sejarah kepada masyarakat awam. Gaya penyampaian dalam buku ini juga ringan dan sederhana, mengingat pengalaman Wineburg sebagai guru sejarah. Benar-benar sebuah buku yang mampu membuka pemahaman pembacanya akan realita pengajaran sejarah, baik di Amerika Serikat maupun di Indonesia.