Judul Buku | Historiografi di Indonesia: Dari Magis-Religius Hingga Strukturis |
Penulis | Agus Mulyana dan Darmiasti |
Penerbit | Refika Aditama |
Kota Terbit | Bandung |
Tahun Terbit | 2009 |
Halaman | x + 150 halaman |
Buku ini merupakan buku yang membahas mengenai perkembangan historiografi di Indonesia. Pemaparan yang dihadirkan dalam buku ini terdiri dari berbagai tulisan makalah yang pernah ditulis oleh Agus Mulyana dan Darmiasti. Adapaun isi dari buku ini terdapat 10 bab, yaitu:
- Perkembangan Historiografi di Indonesia;
- Tradisi Lisan dan Awal Kesadaran Sejarah Masyarakat Indonesia;
- Historiografi Tradisional di Indonesia;
- Sanusi Pane dan Anwar Sanusi: Neerlandosentrisme dalam Buku Teks Pelajaran Sejarah;
- Soeroto, Soendhoro, dan Z. H. Idris:Indonesiasentrisme dalam Penulisan Buku Pelajaran Sejarah;
- Ideologisme dan Saintifisme:Model Penulisan Buku Teks Pelajaran Sejarah SMU Tahun 1980-an;
- Ideologisme:Model Historiografi Pendidikan Sejarah Perjuangan Bangsa;
- Sartono Kartodirdjo dan Pemberontakan Petani Banten:Suatu Tinjauan Historiografi;
- Robert Bridson Cribb dan Sejarah Sosial:Suatu Tinjauan Historiografi;
- Clifford Geertz dan Negara Teater:Model Pendekatan Strukturis dalam Metodologi Sejarah.
Perkembangan Historiografi di Indonesia (Bab 1)
Dalam bab pertama, Mulyana dan Darmiasti membahas mengenai seberapa jauh perkembangan historiografi di Indonesia. Mereka membagi historiografi kedalam dua bagian besar, yaitu historiografi tradisional dan historiografi modern.
Perbedaan utama antara historiografi tradisional dengan historiografi modern terletak pada konteks penggunaan fakta. Apabila historiografi tradisional tidak terlalu mementingkan fakta, historiografi modern sangat mementingkan fakta.
Historiografi tradisional dapat ditemui di berbagai sumber-sumber kuno era kerajaan, seperti di dalam babad, lontar, prasasti, dan candi. Dapat disimpulkan, jenis historiografi ini sudah ada jauh sebelum para penjajah Barat datang ke Nusantara.
Perkembangan penting menuju historiografi modern adalah dikenalnya historiografi neerlandosentrisme, historiografi yang khusus ditulis oleh orang Belanda dan dari perspektif orang Belanda itu sendiri. Salah satu tokoh penting dari historiografi jenis ini adalah F. W. Stapel, dengan karyanya yang berjudul Geschiedenis van Nederlandsch Indie.
Belakangan, historiografi neerlandosentrisme mendapat banyak kritikan. Alasannya, historiografi ini tidak menampilkan peranan dari bangsa Indonesia, sehingga bangsa Indonesia, dalam perspektif neerlandosentris, bersifat pasif. Hal tersebut, yang kemudian, melahirkan pendekatan baru, yaitu historiografi indonesiasentrisme.
Indonesiasentrisme lahir sebagai upaya dekolonisasi sejarah Indonesia, serta melucuti sisa-sisa peninggalan kolonialisme. Indonesiasentrisme mengusung semangat nasionalisme dan patriotisme dengan menggambarkan bangsa Indonesia memegang peranan aktif, tidak lagi pasif seperti yang digambarkan didalam neerlandosentris.
Seiring dengan perkembangan ilmu pengetahuan, pendekatan dalam historiografi semakin berkembang pesat. Salah satu metode pendekatan yang muncul yakni melalui pendekatan strukturis, dipelopori oleh Christopher Lloyd, yang menekankan pada kolaborasi antara pendekatan struktural dan individual.
Tradisi Lisan Sebagai Bagian Historiografi Tradisional (Bab 2 dan 3)
Pada awal perkembangannya, sejarah sebatas diceritakan dari mulut ke mulut, dari generasi ke generasi, sebagai cara untuk selalu melestarikan berbagai kejadian yang telah terjadi di masa lampau. Penuturan kembali melalui tradisi lisan bertujuan untuk memastikan cerita mengenai berbagai peristiwa di masa lalu tetap dijadikan pedoman di masyarakat, dan agar generasi berikutnya memiliki rasa kepemilikan dan kecintaan terhadap peristiwa di masa lampau.
Tradisi lisan termasuk kedalam kategori historiografi tradisional, karena beberapa karakteristik yang sama, seperti:
- Pembahasannya dipengaruhi oleh ciri kebudayaan masyarakat pendukungnya, seperti naskah-naskah kuno di Jawa Barat banyak menggunakan bahasa Sunda;
- Cenderung mengabaikan fakta;
- Masih banyaknya unsur-unsur supranatural, seperti kesaktian;
- Adanya kepercayaan magis yang berpengaruh terhadap jalannya suatu peristiwa, seperti seorang manusia yang dapat berubah menjadi hewan;
- Kekuatan magis seperti sihir melekat pada tiap tokoh sejarah, yang tentu saja tidak dapat dicerna oleh pemikiran yang rasional;
- Silsilah suatu tokoh selalu berkaitan dengan tokoh yang sebelumnya dianggap sangat sakral.
Corak Neerlandosentrisme dalam Buku Sejarah Karya Sanusi Pane dan Anwar Sanusi (Bab 4)
Bagian berikutnya membahas perkembangan dari historiografi neerlandosentrisme melalui sosok Sanusi Pane dan Anwar Sanusi. Meski buku teks mereka diterbitkan pada 1950-an, mereka masih terperangkap paradigma neerlandosentris. Alasannya, buku-buku tersebut masih menggunakan rujukan serta pendekatan Geschiedenis van Nederlandsch Indie F. W. Stapel.
Dalam buku yang ditulis oleh Sanusi Pane, berjudul Sejarah Indonesia yang terbit dalam dua jilid, upaya ke arah pendekatan indonesiasentris telah dilakukan. Ini dapat dibuktikan dengan pilihan kata Indonesia untuk judul buku tersebut. Namun, dalam buku tersebut, masih banyak sekali uraian yang menunjukan pendekatan neerlandosentrisme.
Berbeda dengan buku karya Sanusi Pane, buku Anwar Sanusi sudah melakukan pembabakan periode sejarah Indonesia, hingga kondisi politik Indonesia sepanjang tahun 1950-an. Meski terdapat beberapa perbedaan, unsur neerlandosentrisme masih nampak, seperti halnya dalam buku Sanusi Pane.
Indonesiasentrisme dalam Buku Pelajaran Sejarah hingga Implementasi PSPB (Bab 5-7)
Keinginan untuk menaruh bangsa Indonesia sebagai subjek sejarah mulai dibahas secara serius. Keinginan ini dirintis melalui diselenggarakannya Seminar Sejarah Nasional I pada tahun 1957 di Yogyakarta. Seminar tersebut menjadi titik awal bagaimana narasi sejarah Indonesia hendak disampaikan dan lepas dari pengaruh neerlandosentrisme.
Dalam buku ini, tiga jilid buku karya Soeroto Indonesia Ditengah-tengah Dunia Dari Abad Ke Abad” (1965), buku karya Soendhoro yang berjudul Sejarah Indonesia S.M.A (1973), dan buku yang disusun Z. H. Idris yang berjudul Sejarah Untuk SMA Semester Pertama (1984) dianalisis. Ketiga buku tersebit dipertemukan dengan buku tiga jilid Sejarah Nasional Indonesia untuk SMA, yang bersumber dari enam jilid buku babon Sejarah Nasional Indonesia (1975) yang disusun Nugroho Notosusanto.
Analisis yang disampaikan oleh para penulis tersebut memiliki banyak persamaan. Alasannya, terdapat tujuan yang sama dalam penyusunan buku-buku tersebut. Dasar tersebut adalah nasionalisme serta penguatan karakter bangsa. Tidak mengherankan, buku sejarah yang dihasilkan menurut saya, hanya sekadar membalik neerlandosentrisme saja.
Ketika Orde Baru muncul, narasi sejarah masih terpusat oleh peran negara dalam mengatur bagaimana sejarah harus dibicarakan. Pada masa ini, berhasil dilaksanakannya Seminar Sejarah Nasional Indonesia II pada tahun 1970. Hasil dari seminar tersebut mencapai kesepakatan untuk membuat penulisan sejarah nasional, yang menghasilkan enam jilid Sejarah Nasional Indonesia.
Dalam sebuah analisis yang dilakukan oleh Mulyana dan Darmiasti terhadap buku Sejarah Nasional untuk SMU (1975), membuktikan bahwa unsur-unsur ideologis masih sangat kental. Pendekatan ideologis, tentunya dalam konteks pendidikan, masih dapat diterapkan. Hanya saja, hal ini jangan sampai menghilangkan daya kritis siswa. Pendekatan ideologis dengan saintifis harus saling beriringan dan melengkapi.
Juga, dengan dimulainya mata pelajaran Pendidikan Sejarah Perjuangan Bangsa (PSPB), yang bertujuan untuk mempertebal semangat kebangsaan dan cinta tanah air, meningkatkan pendidikan Pancasila, dan meneruskan serta mengembangkan jiwa, semangat, dan nilai-nilai-nilai 1945, meningkatkan pendekatan ideologis dalam historiografi indonesiasentrisme. Meski kedudukan PSPB sendiri sifatnya berdiri sendiri, hal tersebut tidak dapat dihindari.
Historiografi Melalui Pendekatan Multidimensional Sebagai Upaya Menjelaskan Peristiwa Sejarah Lebih Mendalam (Bab 8-10)
Historiografi multidimensional merupakan metode penulisan sejarah yang menggunakan bantuan dari ilmu-ilmu sosial sebagai ilmu bantu, sehingga, dalam analisisnya, dapat memberikan perspektif yang lebih luas. Sejarawan besar Indonesia, Sartono Kartodirdjo, merupakan tokoh yang melakukan pendekatan multidimensional, yang diwujudkan melalui disertasinya, The Peasant’s Revolt in Banten in 1888.
Pendekatan multidimensional yang dilakukan Sartono dipengaruhi oleh mazhab Analles di Prancis, yang memiliki karakteristik mengurangi unsur politik, serta menekankan aspek analisis, struktur, dan kecenderungan (longe duree).
Tokoh lain yang menggunakan pendekatan multidimensional adalah Robert Brdison Cribb. Melalui pembahasan atas struktur sosial Jakarta pada masa awal Revolusi, Cribb menekankan nilai penting kelompok perampok (jawara), atau dalam teori E. J. Hobsbawm, dikenal sebagai bandit sosial.
Terakhir, antropolog Amerika Serikat, Clifford Geertz, menjadi pelopor sejarah multidimensional. Melalui riset atas Bali, yang ia tuangkan melalui buku Negara: The Theatre State in Nineteenth-Century Bali, Geertz melakukan pendekatan yang sifatnya strukturis. Kajian Geertz terhadap masyarakat Bali berhasil menjelaskan struktur sosial yang bersifat emergence, yang nampak ketika kegiatan keagamaan dilaksanakan.
Penutup
Studi yang khusus membahas mengenai perkembangan historiografi di Indonesia masih relatif minim. Adanya buku ini, setidak-tidaknya, dapat mengajak pembaca untuk melihat kembali dinamika dan proses perkembangan historiografi di Indonesia. Meski, masih terdapat kekurangan dari buku ini, seperti kesalahan dalam penulisan nama, dan pembahasan yang kadang berulang, buku Historiografi di Indonesia tetap saya tawarkan kepada masyarakat, terutama mereka yang mendalami sejarah, sebagai pijakan awal untuk memahami historiografi Indonesia.
*Tulisan ini pernah diterbitkan dalam grup Facebook Kelompok Diskusi Bikini Bottom pada 28 Mei 2021. Diterbitkan kembali dengan penyuntingan seperlunya.