Sejak beberapa tahun terakhir, konstruksi sejarah Indonesia yang menempatkan Indonesia dijajah selama 350 tahun mulai ditelajangi. Melalui berbagai artikel, beberapa pihak mengatakan bahwa konstruksi tersebut hanyalah sebuah mitos menyesatkan. Beberapa pemberitaan, seperti yang diterbitkan Kumparan, Minews, dan Kompas.com, secara kompak menyatakan bahwa Indonesia tidak dijajah selama 350 tahun.
Mengutip Joss Wibisono, dalam artikel yang ia terbitkan di Historia.id, mengatakan bahwa “tak ada sejengkal pun” wilayah di Indonesia yang mengalami kolonialisme selama 350 tahun. Pernyataan senada juga diungkapkan Ilil Absiroh, Isjoni, dan Bunari, yang menyatakan bahwa Indonesia hanya dijajah selama 30 tahun. Bahkan, Batara Hutagalung, seakan menggemakan kembali ide G. J. Resink, dengan berani bahwa Indonesia tidak pernah dijajah Belanda dalam bukunya, Indonesia Tidak Pernah Dijajah, karena sebagai negara, ia baru berdiri pada 17 Agustus 1945.
Melihat konstruksi mengenai late colonial state, atau pax neerlandica, di wilayah luar Jawa, konstruksi “350 tahun dijajah” dapat dibantah dengan mudah. Dengan melihat Aceh, Bali, dan beberapa wilayah lain, yang baru berhasil terintegrasi secara penuh dalam administrasi kolonial pada awal abad ke-20, kita dapat melihat bahwa pengalaman kolonialisme di tiap daerah tidak sama.
Setelah kita mengetahui bahwa konstruksi “350 tahun dijajah” hanyalah sebuah mitos, apakah ini berarti kita masih memerlukan pemahaman tersebut dalam historiografi kita? Jika kita masih memerlukannya, mengapa demikian?
Melalui pencarian sederhana, konstruksi “350 tahun dijajah” masih diperlukan dalam penulisan sejarah Indonesia. Konstruksi ini dapat menempatkan prinsip senasib sepenanggungan kepada seluruh masyarakat Indonesia, mengajak mereka membayangkan bahwa mereka memiliki kisah sejarah yang sama, yakni sama-sama menderita karena penjajahan. Seperti yang ditulis Sutaryo dalam artikel Dinamika Pancasila sebagai Ideologi Pemersatu Bangsa, seluruh bangsa Indonesia “menjadi miskin” karena telah diperas oleh kolonialisme dan imperialisme Belanda selama 350 tahun.
Setelah kita menemukan bahwa mitos tersebut masih relevan, pertanyaan selanjutnya adalah, mengapa kita masih membutuhkannya?
Untuk menjawab pertanyaan di atas, artikel Siti Puji Yunianti menadik untuk kita simak. Dalam artikel berjudul Memperkuat Pendidikan Karakter Nasional Melalui Pembelajaran IPS (Studi Kasus Peserta Didik Kelas IV SD Al Irsyad Al Islamiyyah 02 Purwokerto), ia mengatakan bahwa pengalaman 350 tahun dijajah telah menciptakan sebuah titik puncak bagi bangsa Indonesia. Titik puncak tersebut menghasilkan proklamasi kemerdekaan pada 17 Agustus 1945, menyatakan Indonesia sebagai bangsa yang merdeka. Konstruksi “350 tahun dijajah”, dapat dikatakan, berfungsi sebagai jalan untuk memperkuat pendidikan karakter bangsa dan pengajaran nasionalisme.
Sebagai sebuah “komunitas terbayang”, meminjam istilah Benedict Anderson, identitas suatu bangsa memiliki satu dasar yang fundamental, yakni adanya perasaan yang sama dalam sebuah bingkai narasi masa lalu. Untuk kasus Indonesia, selain mengandalkan persamaan rasa ketika berjaa di bawah kekuasaan Sriwijaya dan Majapahit, persamaan rasa juga dinyatakan ketika dalam pengaruh kolonialisme Belanda. Melalui konstruksi “350 tahun dijajah”, semua perbedaan waktu dan pengalaman di daerah dapat diseragamkan menjadi satu kisah yang sama, memungkinkan warga dari berbagai wilayah untuk merasakan penderitaan yang sama dalam pengaruh kolonialisme.
Pada akhirnya, meski ia merupakan sebuah mitos, konstruksi “350 tahun dijajah” bukanlah sesuatu yang harus kita tolak. Sebagai peletak dasar ide kebangsaan Indonesia, dan juga iikut membangun historiografi Indonesia, konstruksi tersebut masih memiliki esensi yang penting. Tanpanya, imaji akan bangsa Indonesia dan sejarahnya bisa runtuh begitu saja, yang akan menciptakan pertentangan yang tidak dapat diselesaikan.
Kita tidak akan bisa menghindarkan diri dari mitos, mengutip Roland Barthes dalam buku Mythologies. Meski begitu, kita bisa menghayati esensi mitos tersebut, dan perannya dalam membangun persepsi kita mengenai dunia.