Benarkah Setan Dibelenggu Selama Bulan Ramadan?

Bulan suci Ramadan telah tiba. Bulan suci bagi umat Muslim menjadi penanda untuk melaksanakan ibadah puasa selama satu bulan penuh. Berpuasa tidak hanya berarti menahan diri dari rasa lapar dan dahaga, tetapi juga dari berbagai hal yang dapat menimbulkan kemaksiatan.

Umat Muslim, terutama di Indonesia, meyakini bahwa setan dibelenggu selama bulan Ramadan. Terbeleggunya setan membuat mereka tidak akan bisa menggoda umat Muslim yang sedang berpuasa.

Namun, sebagian lainnya justru mempertanyakan dan meragukan pandangan tersebut. Mereka berpendapat bahwa jika setan memang dibelenggu sepanjang bulan Ramadan, mengapa banyak orang masih berbuat maksiat? Meski terkesan remeh, pertanyaan terseut perlu dijawab, agar tidak menimbulkan kesalahpahaman dan keraguan bagi seorang Muslim terhadap ajaran agamanya.

Ilustrasi setan. Umat Muslim percaya bahwa seluruh setan akan dibelenggu selama bulan Ramadan, ketika seluruh Muslim berpuasa, courtesy of Detik.com

Menguraikan masalah tersebut, dapat dikatakan bahwa memahami Alquran maupun hadis tidak cukup hanya dipahami secara tekstual. Kita perlu memahaminya secara kontekstual, dalam arti menyandarkan makna dari perkataan Nabi atau firman Tuhan kepada para ahli tafsir yang diakui keilmuannya.

Pertama-tama, apa maksud dari hadis Nabi Muhammad, yang menyatakan bahwa setan dibelenggu saat bulan Ramadan? Mungkinkah terdapat suatu makna lain di balik, makna yang tidak semua orang ketahui?

Untuk menjawabnya, hadis Nabi Muhammad yang memuat pernyataan terbelenggunya setan di bulan Ramadan perlu dijabarkan lebih dahulu. Sebagaimana dalam hadis yang diriwayatkan Abu Hurairah, Nabi Muhammad bersabda:

“Apabila bulan Ramadan datang, maka pintu-pintu surga akan dibukakan, dan pintu-pintu neraka akan ditutup, serta setan-setan akan dibelenggu.” (H.R Muslim)

Dalam pandangan orang awam, hadis di atas akan terkesan mudah dipahami, cukup dimaknai secara tesktual. Namun, hadis tersebut sebetulnya bermakna cukup luas, dan tidak sesederhana yang terlihat. Bahkan, satu hadis ini dapat memunculkan perbedaan pendapat di kalangan ahli tafsir.

Baca Juga  Pemogokan VSTP 1923 dan Hilangnya Narasi Gerakan Kiri di Indonesia

Dilansir dari sebuah artikel dalam situs  detikcom, pendapat beberapa ulama dan ahli tafsir terhadap hadis tersebut diuraikan sedikit banyak. Salah satu ulama yang menerangkan makna hadis tersebut adalah Al-Hulaimi. Ia berpendapat bahwa setan hanya dibelenggu pada saat malam hari, bukan pada siang hari.

Al-Hulaimi juga memiliki pendapat lain terkait hadis tersebut. Ia berpendapat bahwa dibelenggunya setan juga memiliki arti bahwa setan tidak dapat leluasa menggoda manusia pada bulan Ramadan, tidak seperti pada bulan-bulan biasa. Hal ini disebabkan manusia menyibukkan diri dengan berbagai macam ibadah di bulan suci tersebut, sehingga sulit bagi setan untuk mengganggu dan menggodanya.

Ilustrasi Imam Al-Qurthubi (1214-1273), ulama Islam yang menyatakan bahwa manusia akan tetap melakukan maksiat meski seluruh setan telah dibelenggu, courtesy of Khazanah Populer

Pendapat lain datang dari Imam Al-Qurthubi. Ia mengatakan bahwa golongan setan yang dibelenggu hanya sebagian, bukan keseluruhan. Ia juga berpendapat jika seandainya seluruh setan dibelenggu, tidak berarti bahwa manusia tidak akan bermaksiat. Maksiat dapat terjadi bukan hanya karena godaan setan, tetapi juga karena beberapa faktor, seperti nafsu dan kebiasaan buruk yang berasal dari manusia sendiri.

Sementara itu, akademisi Universitas Muhammadiyah Jakarta (UMJ), Adi Mansah, turut berpendapat mengenai hadis Nabi Muhammad tersebut. Sebagaimana dikutip dari situs resmi Universitas Muhammadiyah Jakarta, kalimat setan yang dibelenggu memiliki dua arti.

Pertama, setan benar-benar diikat atau dibelenggu secara harfiah, sehingga tidak dapat bergerak. Kedua, terbelenggunya setan hanya mengacu pada sifat setan yang selalu menjerumuskan manusia. Dapat dikatakan, kata “terbelenggu” mengandung arti yang bersifat harfiah dan majasi.

Terlepas dari perbedaan pandangan para ulama dan ahli tafsir dalam melihat makna dari hadis tersebut, dapat diambil kesimpulan bahwa ada atau tidak adanya setan pada bulan Ramadan tidak akan membuat kemaksiatan sirna di muka bumi. Semuanya kembali pada manusia itu sendiri. Jika keimanannya kuat, godaan setan pun tidak akan mempengaruhinya. Sebaliknya, jika iman mereka lemah, tanpa godaan setan pun, manusia bisa terjerumus ke dalam lumpur dosa.

Baca Juga  Apakah Perjalanan Waktu dapat Memastikan Kebenaran Sejarah?

Oleh karena itu, kita sebagai manusia hendaknya berhenti menyalahkan setan atas dosa-dosa yang kita perbuat. Setan hanya menggoda, pilihan untuk melakukan sesuatu tetap berada pada kita sebagai manusia. Sudah semestinya, kita bermuhasabah diri, dan menyadari bahwa apa pun tindakan yang dilakukan adalah pertanggungjawaban pribadi.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *