Istilah “Raja Jawa” menjadi perbincangan masyarakat sejak akhir Agustus lalu. Berawal dari terpilihnya Bahlil Lahadalia, Ketua Umum Partai Golkar periode 2024-2029, yang menyatakan untuk tidak main-main dengan “Raja Jawa” jika tak ingin celaka. Sebagaimana dikutip melalui pemberitaan CNBC Indonesia, melawan “Raja Jawa” adalah perkara yang “ngeri-ngeri sedap.”
Meski tidak mengungkapkan siapa sosok “Raja Jawa” yang ia maksud, publik menilai bahwa pernyataan tersebut ditujukkan kepada Presiden Joko Widodo (Jokowi). Terlepas dari “tidak perlu saya ungkapkan” yang dilontarkan Bahlil, masyarakat menganggap pernyataannya menegaskan bahwa rakyat tidak boleh bertindak melawan kehendak Jokowi.
Secara historis, istilah “Raja Jawa” merujuk kepada praktik politik Indonesia yang khas dengan budaya feodal para raja Jawa tradisional. Salah seorang peneliti Indonesia, Benedict Anderson, menerangkan dalam artikel The Idea of Power in Javanese Culture bahwa sumber kekuasaan setiap orang Jawa berasal dari spiritualitas. Berbeda dari konsep kekuasaan Barat, yang melihat kekuasaan sebagai hasil interaksi sosial, kekuasaan Jawa berasal dari sumber-sumber simbolis, eperti status sosial, jabatan, kekayaan, kepemilikan senjata, dan lainnya.
Pandangan tersebut, bagi Benedict Anderson, memengaruhi bagaimana para raja Jawa menjalani aktivitas politiknya. Menurutnya, fokus raja Jawa adalah mengumpulkan kekuasaan, kemudian mempertahankannya agar selalu terpusat dan tidak terpencar. Dengan mencontohkan Sukarno yang menyatukan tiga ideologi besar dalam Nasakom, langkah tersebut adalah manifestasi politik raja Jawa yang ingin memusatkan kekuasaan pada dirinya sendiri.
Selain itu, konsep wahyu juga penting dalam melihat kekuasaan raja Jawa. Konsep ini sering mengkultuskan kekuatan tertentu dalam diri pribadi raja. Pemimpin, yang dianggap sebagai pemimpin para kawula, menerima wahyu ilahi untuk menjadi penyelamat di masa krisis, menjadi harapan baru. Contoh nyata dalam sejarah Indonesia dari konsep ini adalah kehadiran Ken Arok, Panembahan Senapati, Sukarno, dan Suharto.
Menurut Soemarsaid Moertono dalam buku Negara dan Kekuasaan di Jawa Abad XVI-XIX, raja Jawa pada masa Mataram Hindu merupakan titisan dewa di kahyangan. Namun, seiring dengan masuknya Islam, konsep ini terkikis. Raja Jawa tidak lagi menjadi titisan dewa. Kini, mereka hadir sebagai wakil Tuhan di dunia.
Sebagai wakil Tuhan di dunia, raja Jawa diharapkan untuk mewakili kebesaran-Nya dengan menjaga keseimbangan dan kestabilan bangsa. Raja diharapkan berperan aktif sebagai penyelamat dalam masa krisis demi menghindari protes rakyat maupun pemberontakan yang dapat mengikis kekuasaannya. Praktik wakil Tuhan ini tidak hanya dijalankan seorang raja, tetapi juga oleh para bawahannya di daerah.
Terakhir, raja Jawa gemar memamerkan keberhasilan atau simbol kekuasaannya. Anderson kembali mencontohkan Sukarno, yang sering mengadakan pertunjukan wayang di Istana. Dengan mengambil plot tertentu, ia menunjukkan kekuatan politiknya. Hal tersebut tidak hanya sebagai hiburan, tetapi seperti yang ditulis Kuntowijoyo dalam novel Mantra Pejinak Ular terkait periode berikutnya, juga bagian dari upaya melestarikan kepatuhan penontonnya kepada penguasa.
Jika kita mengaitkan ketiga hal di atas dengan kondisi Indonesia saat ini, adalah hal yang wajar jika masyarakat menafsirkan Joko Widodo sebagai Raja Jawa. Ia tengah mengumpulkan dan mencoba mewarisi kekuasaannya. Sejak awal periode kedua masa jabatannya, berbagai manuver politik telah dijalankan secara rapi dan terstruktur, dilakukan oleh para wakil dari pejabat teratas hingga rendahan.
Sebagai contoh, terpilihnya Gibran Rakabuming Raka, anak Presiden Jokowi, sebagai wakil presiden Indonesia yang baru, menegaskan terlibatnya kekuasaan Jokowi untuk mewariskan kekuasaannya. Melansir pemberitaan Bisnis.com, Jokowi dianggap sedang membangun dinasti politik, dan mengebiri proses demokrasi di negara ini.
Tidak hanya membangun sebuah dinasti, Jokowi juga berusaha menempatkan kekuasaan terpusat padanya. Pada 2019, misalkan, UU KPK direvisi. Meski memantik penolakan luas, kekuasaan Jokowi berhasil menempatkan pegawai KPK menjadi ASN. Menurut Koordinator Masyarakat Antikorupsi Indonesia (MAKI), Boyamin Saiman, sebagaimana dikutip melalui CNN Indonesia, hal tersebut menjadikan KPK “patuh terhadap kekuasaan seperti era Orde Baru.”
Dalih Jokowi, yakni menyetujui UU KPK, juga menempatkan Jokowi semakin dekat dengan Raja Jawa. Dalam konteks ini, ia berperan sebagai “wakil Tuhan” dan “penyelamat krisis”. Melalui kuasanya, ia menjaga kestabilan bangsa menurut versinya sendiri, berupaya menempatkan wakil-wakilnya di KPK, yang notabene merupakan lembaga independen
Terakhir, terkait kekuasaan yang dipertontonkan, Jokowi menampilkan hal tersebut melalui megaproyek Ibu Kota Nusantara (IKN). Pembangunan IKN terkesan buru-buru dan dipaksakan untuk rampung. Dalam benak Jokowi, suksesnya pembangunan IKN pada masa kepemimpinannya menegaskan pencapaian kepemimpinan yang patut diperingati. Layaknya sebuah pementasan wayang pada era Sukarno, Jokowi menampilkan IKN kepada publik sebagai sebuah pementasan kekuasaan.
Pada akhirnya, menilik kesamaan konsep Raja Jawa dengan kepemimpinan Presiden Joko Widodo, dapat kita katakan bahwa Jokowi meniru banyak konsep tersebut dengan baik. Mulai dari menjaga kekuasaan melalui pewarisan, pemusatan kekuasaan, menjadi penyelamat di tengah krisis, hingga menampilkan pementasan kekuasaan, Jokowi tampil sebagai seorang raja yang berkuasa di Indonesia. Mengatakan Jokowi sebagai seorang Raja Jawa bukanlah jargon politik yang kosong; Jokowi adalah sang Raja Jawa di tanah Indonesia.