Nama Rocky Gerung sudah tak asing di telinga masyarakat Indonesia. Pria kelahiran Manado pada tahun 1959 ini, selama kurang lebih 15 tahun, menjadi dosen filsafat di Universitas Indonesia.
Namun, publik tidak mengenalnya sebagai pengajar filsafat. Ia lebih dikenal publik sebagai “pengganggu” mereka yang sedang berkuasa. Namanya mulai populer ketika ia sering muncul sebagai kritikus politik di era pemerintahan Joko Widodo (Jokowi).
Saya sendiri baru mengetahui sosok Rocky Gerung, dari sebuah acara bernama Indonesia Lawyers Club (ILC) dalam sebuah stasiun televisi staswa. Rocky, saat itu, kerap diundang menjadi narasumber dalam acara yang digawangi Karni Ilyas tersebut.
Dalam salah satu tema ILC, Rocky pernah mengatakan bahwa pembuat hoaks terbaik adalah pemerintah. Ia menilai bahwa pemerintah memiliki peralatan yang lengkap untuk menghasilkan berita bohong, sehingga bisa menyebarkannya dengan sempurna.
Suara kritik Rocky Gerung terhadap pemerintah memang sangat frontal, tanpa tedeng aling-aling. Kritiknya yang pedas, dan kerap dibumbui dengan kata-kata kasar, menjadikannya sosok kontroversial.
Maka, tak heran jika Rocky Gerung memiliki banyak haters (pembenci), dan dianggap tukang onar. Di sisi lain, Rocky juga memiliki banyak followers (pengikut) yang mengelu-elukannya, menjulukinya sebagai “Presiden Akal Sehat”.
Mengapa Rocky Gerung membahayakan dirinya sendiri dengan mengkritik pemerintah? Apa motif di balik kritik sang Presiden Akal Sehat tersebut?
Sokrates-nya Indonesia
Jokowi sebetulnya bukanlah presiden pertama yang dikritik oleh Rocky Gerung. Hampir semua presiden pernah ia kritik, termasuk Soeharto, penguasa pada rezim Orde Baru. Dalam sebuah pidato kebudayaan di Taman Ismail Marzuki, berjudul Merawat Republik dengan Akal Sehat, Rocky juga menghajar habis-habisan kebijakan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY).
Rocky bukanlah kritikus politik yang muncul kemarin sore. Ia sudah konsisten dengan perannya sebagai oposisi pemerintah selama puluhan tahun, dari rezim ke rezim.
Melihat tindak-tanduk Rocky Gerung, saya teringat kepada Sokrates. Keduanya, baik Rocky maupun Sokrates, sama-sama vokal dalam mengkritisi pemerintah. Sokrates mati di tangan para pembencinya, dan untuk Rocky, ia menghadapi gelombang pembenci yang siap mencacinya.
Sokrates dihukum mati oleh pengadilan Athena, atas tuduhan menyesatkan dan meracuni pikiran generasi muda. Kematiannya yang dramatis dapat dibaca dalam salah satu karya muridnya, Plato, berjudul Phaedo (diterbitkan ke dalam bahasa Indonesia dengan judul Matinya Sokrates).
Melihat kesamaan ini, saya pun bertanya-tanya, mungkinkah Rocky Gerung adalah reinkarnasi dari Sokrates? Ya, itu pun tentunya kalau konsep reinkarnasi benar-benar ada.
Dari sini, saya melihat satu motif dibalik kritik Rocky Gerung terhadap pemerintah. Pada dasarnya, sama seperti Sokrates, Rocky ingin agar ruang bagi kebebasan berpendapat terbuka lebar. Dalam upaya membela kebebasan berpendapat, Rocky Gerung berani mengambil sebuah risiko. Sejatinya, Rocky menempatkan dirinya sebagai penyeimbang, agar demokrasi tetap berada pada tempatnya.
Dapat dikatakan, ada salahnya jika kita menyebut Rocky Gerung sebagai Sokrates versi Indonesia. Mungkin ada yang protes, “tapi, Sokrates gak pernah nyebut orang lain dungu!” atau “beda level lah Rocky disamain sama sesepuh-nya para filsuf!” Bagi saya, persamaan keduanya bukan terletak pada diksi yang digunakan, melainkan pada tindakannya, yang sedikit banyak, berani mengganggu kenyamanan mereka yang sedang duduk di kursi kekuasaan.
Aku Mengkritik, Maka Aku Ada
Rocky Gerung memang sering menyelipkan kata-kata kasar dalam setiap pernyataannya. Terlepas dari apapun diksi yang ia gunakan, kritiknya tetap substansial.
Menurut saya, pihak yang dikritik Rocky seharusnya berfokus pada subtansi dari kritikannya, bukan pada diksi yang ia gunakan. Namun, yang sering terjadi malah sebaliknya.
Orang-orang keburu ke-triggered dengan omongan Rocky, sehingga malah memiih jalan pintas. Alih-alih membantah pernyataan Rocky, mereka malah melaporkannya ke polisi, atau menyerang personalnya.
Pernyataan Rocky, yang kerap berbau sarkasme dan satire, juga memancing banyak orang untuk menelaah maksud dari ujarannya. Salah satunya adalah Achmad San, dalam buku berjudul Sihir Rocky Gerung; Analisis Wacana Kritis, Metafora, dan Propaganda. Ia menggunakan pendekatan analisis wacana kritis model Teun A. Van Dijk, untuk membedah setiap kata yang dilontarkan oleh Rocky Gerung.
Dalam buku tersebut, Achmad mengumpulkan beberapa kutipan Rocky Gerung dalam akun Instagram-nya sebagai bahan penelitian. Kutipan-kutipan tersebut dibedah satu per satu, baik makna maupun metaforanya.
Berdasarkan analisis Achmad San, saya akhirnya mengetahui satu motif lain di balik kritik sang pemikir demokrasi itu. Melalui kritiknya, Rocky tidak hanya ingin menjaga demokrasi, tetapi juga menjaga eksistensi dirinya di tengah masyarakat Indonesia.
Tak heran, kalau Rocky Gerung sering melontarkan pernyataan-pernyataan kontroversial. Tujuannya, agar pernyatannya tersebut menjadi perbincangan, entah itu di warung kopi, atau istana negara. Rocky Gerung sama sekali bersikap bodo amat atas reaksi orang-orang. Baginya, yang terpenting adalah dirinya selalu eksis dalam pikiran pemerintah ataupun masyarakat.
Jika Rene Descartes mengatakan “Aku berpikir, maka aku ada”, Rocky Gerung akan mengatakan “Aku mengkritik, maka aku ada”. Kritiknya yang menyebalkan adalah modal untuk memelihara popularitasnya.
No Rocky, No Party
Sekalipun sosok Rocky Gerung sangat kontroversial, kita harus mengapresiasi keberaniannya. Di Republik ini, sangat sedikit orang sepertinya, yang lantang menentang penguasa. Meski beberapa kali dilaporkan ke polisi dengan berbagai tuduhan, Rocky bisa dengan mudahnya lolos, seperti seekor tupai.
Kehadiran Rocky Gerung, tentunya, mengajak kita untuk membangun kesadaran dalam kehidupan bernegara. Ia sesungguhnya ingin kebebasan berpendapat benar-benar dihargai, supaya demokrasi yang sejati bisa eksis di negeri ini.
Kalau kita mau mencerna kata-kata Rocky dengan kepala dingin, maka kita akan melihat bahwa perkataannya ada benarnya. Paling tidak, ada sebagian masyarakat yang merasa bahwa, Rocky telah mewakili unek-unek yang tidak bisa mereka sampaikan pada pemerintah.
Setuju atau tidak, Rocky berkontribusi besar dalam meramaikan panggung politik Indonesia. Tanpa kehadirannya, kehidupan politik rasanya akan hambar dan tidak meriah.
Saya sendiri sering merasa terhibur ketika menonton perdebatan antara Rocky Gerung dengan lawan bicaranya. Rocky selalu sukses membuat politikus menjadi tampak seperti pelawak. Tak heran kalau kemudian ada slogan: No Rocky No Party.