“Minimal sekali seumur hidup BEM UI ngerasain KKN di [P]apua pegunungan,” tulis sebuah video TikTok beberapa hari yang lalu. Dalam video tersebut, yang diunggah oleh @.fh3_, ia meminta anggota BEM UI, yang dianggap “sipaling nasionalisme”, untuk merasakan sensasi berhadapan langsung dengan Kelompok Kriminal Bersenjata (KKB) di Papua.
Polemik BEM UI vs TNI yang terjadi hari ini bermula ketika BEM UI menerbitkan postingan di Instagram, mengungkapkan bahwa telah terjadi kekerasan terhadap masyarakat sipil di Papua. “TNI Aniaya Sipil, Hentikan Pelanggaran HAM di Papua,” tulis akun resmi BEM UI @bemui_official pada 26 Maret 2024. Menurut postingan tersebut, kekerasan yang dilakukan aparat kerap terjadi, dan terus meningkat dalam tiga tahun terakhir.
Merespon postingan BEM UI, Pangdam Cenderawasih, Mayjen Izak Pangemanan, menyampaikan permintaan maaf atas terjadinya peristiwa kekerasan TNI terhadap masyarakat sipil di Papua. Dalam pernyataan resminya, yang ditayangkan kanal YouTube KompasTV Lampung, ia mengakui adanya peristiwa tersebut, yang berujung mencoreng upaya penanganan KKB di Papua.
Jika memang Pangdam Cendrawasih telah mengakui adanya peristiwa tersebut dan menyampaikan permintaan maaf, mengapa ia kembali riuh? Saya menduga, respon yang muncul dalam media sosial TikTok, ditambah dengan tantangan yang digemakan Bobon Santoso, mengabaikan respon Pangdam Cenderawasih. Mereka beranggapan bahwa BEM UI tidak mengetahui apa-apa soal Papua, dipandang hanya bisa berbicara dari belakang meja saja. Padahal, jika mereka melihat sedikit lebih jauh, mereka seharusnya akan diam dan merenung.
Apa yang terjadi antara BEM UI vs TNI menunjukkan sebuah fakta, bahwa masyarakat Indonesia masih belum mampu melihat sebuah fenomena secara menyeluruh. Mereka hanya terpaku pada emosi mereka sendiri, alih-alih mengandalkan rasio, menelaah sebuah fenomena hingga menemukan benang merahnya.
Pandangan BEM UI, bahwa terjadi kekerasan terhadap masyarakat sipil di Papua, benar adanya. Jika memang apa yang terjadi hari ini tidak diakui, atau malah diabaikan, apa yang terjadi pada masa silam mungkin bisa menjadi penyegar ingatan. Melansir siaran pers Koalisi Masyarakat Sipil Untuk Reformasi Sektor Keamanan, yang diterbitkan Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia, terjadi dua aksi kekerasan pada akhir Agustus 2022.
Kedua peristiwa tersebut adalah pembunuhan dan mutilasi terhadap empat warga sipil yang dilakukan enam prajurit TNI pada 22 Agustus 2022, dan kekerasan terhadap empat warga sipil di Mappi, Papua. Bahkan, dalam kasus kekerasan di Mappu, Papua, 10 prajurit TNI menolak memberikan keterangan kepada Komnas HAM.
Kekerasan yang terjadi di Papua, seperti yang diungkapkan BEM UI, bukanlah sebuah dusta. Ia juga bukan upaya untuk mendukung aksi KKB di wilayah tersebut. Ia membawa pesan, tidak hanya bagi anggota TNI yang bertugas di Papua, tetapi juga kepada masyarakat, untuk memikirkan upaya alternatif untuk menyelesaikan isu Papua.
Jika saja masyarakat Indonesia tidak langsung terbakar melihat konten TikTok mengenai pernyataan BEM UI, mungkin Bobon Santoso tidak akan menerbitkan tantangan kepada BEM UI di internet. Namun, disayangkan, hal tersebut tidak terjadi. Dengan berbekal semangat nasionalisme yang tinggi, serta perasaan bahwa Papua selamanya menjadi milik Indonesia, mereka merespon pernyataan sikap BEM UI dengan penuh kebencian.
Terlebih, dengan framing yang diciptakan media arustama dan pemerintah bahwa KKB merupakan “penjahat” atau “teroris” yang harus dibasmi, membuat masyarakat kita dengan gampang menuduh BEM UI mendukung para kriminal. Padahal, jika ditilik lebih jauh, KKB, yang dulunya dikenal sebagai “kelompok separatis”, hanya sebuah fenomena kecil dari sebuah isu Papua. Ia tidak hanya dapat dilihat sebagai kelompok sipil bersenjata yang memperjuangkan kemerdekaan, tetapi juga sebagai salah satu wujud kekecewaan masyarakat Papua, yang sejak menjadi bagian Indonesia hingga kini, masih belum mendapatkan pengakuan sebagai warga negara Indonesia.
Kita tentu masih ingat, krisis Papua yang terjadi pada 2019 silam. Krisis tersebut, yang bermula dari pernyataan aparat yang menyebut orang Papua sebagai “monyet”, menunjukan bahwa masyarakat Papua masih belum menjadi bagian dalam melting pot Indonesia. Mereka tidak hanya terpinggirkan secara ekonomi, tetapi juga secara sosial dan kultural.
Melalui postingan BEM UI, dan juga dari polemik BEM UI vs TNI, masyarakat Indonesia seharusnya belajar, bahwa memahami isu Papua tidak dapat hanya melalui komentar “Indonesia love Papua” di internet. Tentu saja, hal tersebut dapat terwujud, jika mereka mengedepankan rasio dalam melihat polemik tersebut.
Pada akhirnya, isu Papua merupakan hal yang pelik. Pernyataan BEM UI, jika kita maknai lebih jauh, seharusnya dapat mendorong kita melihat isu Papua dengan lebih kritis dan historis. Tentu saja, hal tersebut baru dapat terwujud, jika kita mengesampingkan emosi, dan mengandalkan rasio dalam menelaahnya.
*Edisi awal tulisan ini telah diterbitkan di NNC Hype dengan judul Polemik BEM UI vs TNI: Ketika Emosi Mengalahkan Rasio pada 5 April 2024.