Manusia adalah makhluk sosial, pandang sebagian besar masyarakat di dunia saat ini. Siapa pun tidak menolak anggapan tersebut. Mereka percaya, bahwa manusia adalah makhluk yang membutuhkan manusia lainnya demi kelangsungan hidup.
Tentu akan aneh, jika ada yang justru berpandangan bahwa manusia adalah makhluk antisosial. Pandangan tersebut, selain dipandang tidak menggambarkan realita masyarakat, juga dianggap menyesatkan. Namun, pandangan liar tersebut akan masuk akal, terlebih jika melihat bahwa ia diungkapkan oleh Thomas Hobbes (1588-1679), seorang filsuf Inggris.
Thomas Hobbes menjadi nama yang cukup penting dalam arus pemikiran filsafat Barat. Ia dikenal sebagai pelopor aliran materialisme dalam filsafat. Magnum opus yang menempatkan namanya dalam jajaran filsuf penting Barat adalah Leviathan, sebuah karya yang ditujukan sebagai pembelaan terhadap absolutisme.
Seperti Niccolo Machiavelli, Hobbes memfokuskan pemikirannya pada filsafat politik. Meski begitu, pada era filsafat sekarang ini, pemikiran politiknya dianggap sebagai legitimasi atas berbagai praktik politik yang bobrok.
Kendati banyak orang mengkritik pemikirannya tentang politik, Hobbes justru berbicara apa adanya. Ia tidak berteori tentang utopia fantastik, tetapi berbicara mengenai realita yang memang terjadi dalam dunia politik. Hanya saja, mayoritas orang bersikap hipokrit, cenderung tidak mau memberikan persetujuan atas pandangannya tersebut.
Sikap hipokrit tersebut juga ditujukan kepada pandangan Hobbes mengenai manusia yang dianggap sebagai makhluk antisosial, makhluk yang mementingkan dirinya sendiri meski harus mengorbankan sesamanya. Meski dewasa ini pandangannya akan dianggap aneh, Hobbes berbicara mengenai realita kehidupan manusia, bahwa pada dasarnya, manusia adalah insan yang buas, dan bersifat egois.
Manusia adalah Serigala Bagi Manusia Lainnya
Dalam sejarah filsafat barat, terdapat tiga filsuf yang memiliki teori mengenai kondisi alamiah yaitu John Locke, Jean-Jacques Rousseau, dan Thomas Hobbes. Teori kondisi alamiah adalah teori yang menggambarkan kehidupan manusia sebelum munculnya tatanan sosial. Dalam kondisi alamiah, manusia tidak mengenal hak dan kewajiban, maupun aturan hidup yang pasti.
Diantara ketiganya, Hobbes merupakan filsuf yang memiliki pandangan berbeda dari kedua filsuf lainnya. Jika Locke dan Rousseau menggambarkan kondisi alamiah manusia sebagai keadaan utopia, Hobbes menggambarkannya sebagai keadaan distopia.
Dalam kondisi alamiah versi Hobbes, manusia digambarkan sebagai musuh bagi manusia lainnya. Hobbes, sebagaimana dijelaskan oleh Hans Fink dalam buku Filsafat Sosial: Dari Feodalisme hingga Pasar Bebas, berpandangan bahwa pada kondisi alamiah, manusia akan melakukan apa saja, sejauh dapat berguna untuk kepentingan dirinya sendiri. Jika perlu, mereka akan melakukan tindakan yang merugikan dan menyakiti orang lain.
Menurut Hobbes, manusia boleh membunuh dan merampas hak orang lain tanpa ada hukum yang dapat mencegahnya. Kondisi alamiah yang dikemukakan Hobbes, dapat dibayangkan sebagai kondisi persaingan bebas dan peperangan antar individu. Ini sejalan dengan frasa latin dari Plautus dalam karya berjudul Asinaria, yang dipopulerkan oleh Hobbes, yaitu homo homini lupus, berarti “manusia adalah serigala bagi manusia lainnya.”
Manusia, bagi Hobbes, laksana binatang buas seperti serigala, yang dapat menerkam sesamanya sendiri sebagai mangsa. Kemampuan mempertahankan diri adalah hal yang penting bagi manusia dalam kondisi alamiah, karena tidak ada seorang pun yang dapat melindunginya selain dirinya sendiri. Ini mengingatkan kita kepada prinsip hukum rimba, yakni memangsa atau dimangsa.
Teori Kontrak Sosial
Persaingan bebas, dalam kondisi alamiah, telah membuat populasi manusia terancam punah. Menghadapi kenyataan ini, manusia mulai berpikir untuk mengadakan kontrak sosial. Kontrak sosial merupakan suatu perjanjian damai antarindividu yang bertujuan untuk memastikan bahwa manusia akan menghormati sesamanya dan menyerahkan haknya untuk menyakiti orang lain.
Menurut Hobbes, perjanjian damai semacam ini sangat rapuh dan rentan. Manusia memiliki potensi besar untuk melanggar perjanjian damai yang telah mereka buat. Keberadaan lembaga sosial, seperti negara yang memiliki kekuasaan memaksa, sangat penting untuk memastikan setiap orang tidak melanggar perjanjian damai yang telah disepakati.
Mengutip Bertrand Russell dalam buku Sejarah Filsafat Barat: Kaitannya dengan Kondisi Sosio-Politik dari Zaman Kuno hingga Sekarang, kontrak sosial yang dikemukakan oleh Hobbes berbeda dengan Locke dan Rousseau. Jika kedua filsuf belakangan berpendapat bahwa kontrak sosial terjadi antara sesama warga negara, Hobbes justru berpendapat bahwa kontrak sosial terjadi antara warga negara dan penguasa.
Dalam pemikiran Hobbes, seorang penguasa mendapatkan kedaulatan penuh. Ia tidak terikat dengan aturan yang ia buat. Seorang penguasa hendaknya memiliki kekuasaan yang absolut dan kedaulatan penuh atas rakyatnya.
Dari pernyataan tersebut, terlihat bahwa Hobbes mendukung pemerintahan yang terpusat pada kekuasaan tunggal. Ini, di kemudian hari, menjadi antitesis bagi konsep Trias Politica yang digaungkan oleh Locke dan Monstesquieu.
Meskipun pandangan Thomas Hobbes menggambarkan kebobrokan manusia, pada dasarnya, pandangannya masih memiliki nilai kebenaran. Meski mayoritas manusia modern beranggapan bahwa manusia adalah makhluk sosial, watak antisosial dalam diri manusia, seperti yang dikemukakan Hobbes, masih lazim ditemui dalam diri manusia, hingga saat ini.
*Tulisan ini pernah diterbitkan di Netral News (NNC) dengan judul yang sama pada 21 Maret 2024.