Teungku Daud Beureueh, Aceh, dan Republik

Pada 28 Februari 1954, sekitar 64 penduduk desa Pulot, Aceh Besar, menjadi sasaran pembunuhan massal pasukan TNI, yang tengah menggelar operasi penumpasan DI/TII Aceh. Dua hari sebelumnya, 25 orang petani dari kawasan Lhok Nga di Aceh Besar merasakan terlebih dahulu keganasan militer Republik.

Demikian data yang diungkap harian Peristiwa bertanggal 3 Maret 1954, atau sepekan pasca-tragedi tersebut. Menurut penuturan Ahmad Chatib, wartawan senior surat kabar tersebut, korban tak hanya meliputi pemberontak bersenjata. Wanita dan anak-anak harus menanggung ikut menanggung derita.

Bagi rakyat wilayah yang dijuluki Serambi Mekah ini, tragedi tersebut membuka luka lama, ketika kakek dan nenek mereka menghadapi para kaphe (kafir) Belanda. Bau mesiu, bisingnya desing peluru, dan bunyi gemeretak patahan tombak dan rencong, seakan enggan untuk meninggalkan keseharian rakyat.

Desa Beureueh, yang terletak di daerah Sigli, keadaannya tak berbeda jauh dengan daerah-daerah lain di seluruh Aceh pada 1898. Pertempuran meletus di mana-mana. Para kaphe Belanda masih jadi buruan utama. Hikayat Perang Sabil terus dikumandagkan rakyat Aceh. Tokoh-tokoh besar Aceh, seperti Teungku Cik Di Tiro, Panglima Polem, dan Cut Nya’ Dhien, masih angkat senjata melawan kaphe Belanda.

Di tengah kemelut peperangan, seorang Muhammad Daud dilahirkan. Mengikuti tradisi kaum ulama Aceh, Muhammad Daud menambahkan daerah tempat lahirnya ke dalam nama, disamping gelar Teungku yang ikut melekat. Jadilah, pada 1898, Teungku Muhammad Dauh Beureueh, lahir di Beureueh, Aceh, saat Perang Aceh memasuki ronde keempat.

Daud Beureueh (1899-1987), seorang tokoh penting dalam lintasan sejarah Aceh, courtesy of situs resmi SMP Negeri 3 Jabung

Teungku Daud Beureueh tak pernah mengenyam pendidikan Belanda atau Jepang semasa hidupnya. Menurut seorang pakar sejarah, kenyataan itu menempatkan sang ulama di jejeran manusia langka di zaman itu. Pada puncak kariernya, Daud Beureueh menempati posisi sebagai Gubernur Militer Aceh, yang membawahi Aceh Besar, Tanah Karo, dan Langkat, semasa Revolusi Indonesia melawan kembali pengaruh Belanda.

Teungku Daud Beureueh tumbuh menjadi orang yang sangat kuat dan berpengaruh di seluruh Aceh. Ini semua berkat karakter sekaligus sepak terjangnya dalam kancah pergerakan.

Baca Juga  Rocky Gerung, Jalan Ninja Seorang Pengkritik

Pada usia 33 tahun, ia mendirikan Madrasah Sa’adah Abadiah, sebuah sekolah Islam bercorak modern yang terinspirasi dari usaha reformasi Islam di berbagai negeri Islam lain. Tak berhenti sampai disana, pada tahun 1939, ia beserta kawan-kawannya membentuk Persatuan Ulama Seluruh Aceh (PUSA), sebagai wadah para teungku bermusyawarah-mufakat mengenai banyak persoalan. Organisasi ini, dapat dikatakan, mirip dengan Muhammadiyah, yakni kembali pada Alquran dan Hadis. Organisasi ini kelak mengambil peran penting dalam gejolak DI/TII di Aceh pada dekade 1950-an.

Setelah Jepang menyerah pada sekutu, dan proklamasi kemerdekaan menyebar luas ke seluruh daerah, Daud Beureueh, beserta rakyat Aceh, menyatakan diri berdiri di belakang Presiden Sukarno. Kembalinya sekutu yang ditumpangi Belanda ke Indonesia, menyebabkan satu per satu daerah-daerah Republik kembali berjatuhan ke tangan Belanda.

Tercatat, hanya tersisa dua daerah saja untuk Republik, yakni Yogyakarta dan Aceh. Eksisnya Yogyakarta sebagai wilayah bagi Republik dapat dimengerti, sebab seluruh unsur kekuatan Republik terpusat di sana. Namun, ketahanan Aceh untuk tidak jatuh kembali ke tangan Belanda—meski berada di ujung utara Sumatera, adalah sesuatu yang unik. Barangkali, serdadu Koningin Wilhelmina masih enggan untuk kembali menjamah para fanatik agama dari bumi Serambi Mekah.

Pembukaan Normal Islam Persatuan Ulama Seluruh Aceh (PUSA), 1939, courtesy of Facebook/@pusa.atjeh

Berkat kemandirian dan kekuatannya itu, Aceh disebut sebagai daerah modal oleh Soekarno. Modal, dalam arti sesungguhnya, yakni modal bagi kelangsungan hidup Republik. Pada 15 Juni 1948, sebuah pesawat Dakota sewaan yang ditumpangi Soekarno beserta jajarannya, mendarat di lapangan terbang Aceh Besar. Sang Presiden dan jajarannya mengagendakan untuk memberi suntikan moral kepada rakyat Aceh untuk terus berjuang.

Sebetulnya, Soekarno tak perlu lagi repot-repot datang ke Aceh untuk menjaga spirit juang rakyat Aceh. Toh, dua bulan setelah Proklamasi dibacakan, rakyat Aceh, diwakili Teungku Daud Beureueh beserta Teungku Ahmad Hasballah Indrapuri dan Teungku Hasan Krueng Kalee, menandatangani kesetiaan kepada Republik melalui Ma’loemat Oelama Seloeroeh Atjeh. Barangkali, apa yang dilakukan Soekarno hanya untuk melihat langsung bagaimana kondisi rakyat di ujung Sumatera itu yang berada dalam kondisi paling sulit.

Baca Juga  Pemilu Sistem Proposional Terbuka dan Perbaikan Demokrasi di Indonesia pada Era Reformasi

Pada suatu kesempatan di tahun 1948, Daud Beureueh, setelah diminta Bung Karno untuk mempertahankan kemerdekaan hingga “tetes darah terakhir”, mengajukan sebuah syarat, yakni permintaan untuk keleluasaan bagi Aceh menerapkan syariat Islam dalam lingkungan Republik Indonesia. Syarat tersebut disanggupi, Soekarno mengiyakan. Berbekal janji tersebut, Teungku Daud beserta rakyatnya kembali meneruskan perjuangan.

Seiring berjalannya waktu, dan situasi dalam negeri yang kian kondusif pasca-KMB, janji yang diberikan Soekarno mulai dipertanyakan. Status daerah otonomi yang didapatkan Aceh semasa Pemerintah Darurat Republik Indonesia, dihapuskan pada 23 Januari 1951. Aceh dilebur ke dalam Provinsi Sumatera Utara.

Ditambah situasi ekonomi, politik, dan pendidikan yang serba kekurangan, menambah jengah Teungku Daud dan kalangan rakyat Aceh. Janji penerapan syariat Islam tak kunjung diberikan. Jakarta, saat itu, masih sibuk dengan urusan gonta-ganti kabinet dan korupsi.

Aroma pemberontakan Serambi Mekkah menyeruak tajam. Teungku Daud Beureueh segera mengambil ancang-ancang. Pemicu tambahan pemberontakan muncul, yakni pidato Soekarno pada 1953 di Amuntai, Kalimantan Barat, yang menyatakan bahwa penerapan syariat Islam hanya akan menimbulkan separatisme di daerah-daerah non-Muslim. Ini menimbulkan kesan bahwa Bung Besar mulai mengingkari janjinya.

Komunikasi segera dilakukan dengan anak buah Kartosoewirjo di Jawa Barat. Resmi, pada 21 September 1953, Teungku Daud Beureueh memaklumkan perang kepada Jakarta, sekaligus menyatakan diri sebagai bagian NII Kartosoewirjo. Perang kembali berkecamuk di Serambi Mekah. Rakyat Aceh siap memasuki kembali hari-hari penuh kekerasan.

Soekarno, presiden pertama Indonesia. Ia berjanji akan memberlakukan syariat Islam di tanah Aceh, janji yang tidak pernah ia tepati, courtesy of Jawa Pos

Pada permulaan 1960-an, ketika pemberontakan Teungku Daud hampir berlangsung selama 10 tahun, Jakarta mulai bersikap. Jakarta mengangkat Kolonel Mohammad Jasin sebagai Komandan Daerah Militer Aceh, menggantikan Sjamaun Gaharu.

Berbeda dengan para pendahulunya, Jasin tahu watak seorang Daud Beureueh. Sebagai mantan Gubernur Militer sekaligus ulama karismatik di seluruh Aceh, merupakan sikap yang bodo menghadapi pasukan Daud Beureueh dengan gaya militer yang menekan.

Jasin berani berbeda. Ia mengambil langkah persuasif. Surat-menyurat dilakukan dengan bahasa yang amat halus dan sopan, meluluhkan meluluhkan hati sang Teungku. Pada 9 Mei 1962, Teungku Daud beserta ribuan pengikut setianya turun gunung, setelah bertahun-tahun bergerilya.

Baca Juga  Perang Chechnya, Mimpi Kemerdekaan yang Terkubur Kembali

Tentu, Teungku Daud bukanlah sosok yang mudah dipengaruhi begitu saja. Ia mau berhenti asal tujuannya berjuang dipenuhi. Syarat tersebut adalah otonomi bagi Aceh, dan syariat Islam segera diberlakukan

Dari dua permintaan Teungku Daud, hanya satu yang dipenuhi. Janji penerapan syariat Islam kembali diingkari. Janji tersebut baru terealisasi pada tahun 2002, melalui Undang-Undang Nanggroe Aceh Darussalam, atau 16 tahun setelah Daud Beureueh wafat pada tahun 1986.

Pada masa selanjutnya, kejatuhan Soekarno digantikan oleh rezim Orde Baru tak banyak membawa perubahan bagi tanah Aceh. Provinsi itu masih jadi daerah tertinggal dan dieksploitasi oleh para pemodal swasta.

Pada 1976, Aceh kembali bergolak. Gerakan Aceh Merdeka (GAM) diserukan oleh Hasan Tiro, mengemban misi untuk membawa Aceh kembali ke zaman keemasan. Gerakan itu kurang mendapat respon khalayak ramai, sebabnya empu-nya Aceh kala itu, Daud Beureueh, acuh dengan GAM. Alasannya hanya satu, yakni dasar dari perjuangan GAM bukanlah membumikan syariat Islam. Ide “zaman keemasan” yang diusung sangat multitafsir.

Mengerti akan ketokohan seorang Teungku Daud, rezim Orde Baru menugaskan Sjafrie Sjamsuddin. Bersama timnya, Sjafrie “menjemput” Teungku di Aceh, untuk kemudian dilarikan ke Jakarta. Langkah “melarikan” Daud Beureueh dilakukan agar GAM tidak mengeksploitasi kharisma sang teungku, yang sewaktu-waktu bisa berubah pikiran dan mendukung GAM.

Sejak 1978 hingga 1982, Teungku Daud pindah ke Jakarta dalam pengawasan pemerintah Orde Baru. Ia baru dipulangkan kembali ke Aceh saat kharismanya merosot tajam, selain karena usianya yang kian uzur. Pada 1986, Teungku Daut menutup usia. Ia dikebumikan di bawah pohon mangga di pekarangan Masjid Baitul A’la Lil Mujahidin, Beuruenen, sesuai permintaannya sebelum wafat.

Referensi

[1] Ibrahim Alfian. (1987). Perang di Jalan Allah 1873-1912. Jakarta: Pustaka Sinar Harapan.
[2] Tempo. (2013). Daud Beureueh Pejuang Kemerdekaan yang Berontak. Jakarta: Kepustakaan Populer Gramedia..

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *