Baru-baru ini, beredar sebuah video mengenai Gereja Katedral Jakarta yang tetap dibuka di tengah kondisi PPKM Darurat. Video tersebut viral setelah dibagikan oleh akun Twitter (sekarang dikenal sebagai X) @Oppomeneh5 pada 4 Juli lalu. Namun, video tersebut merupakan hoaks; pihak gereja telah meniadakan kegiatan ibadah tatap muka semenjak tanggal 26-27 Juni 2021.[1]
Sentimen terhadap keberadaan gereja di Indonesia bukanlah rahasia umum. Kita sering membaca atau menemukan pemberitaan mengenai konflik antara gereja dengan masyarakat sekitar, mulai dari penutupan tempat ibadah hingga penolakan terhadap pendirian sebuah tempat ibadah. Lebih parahnya lagi, konflik tersebut bereskalasi menjadi tindakan kekerasan dan teror.
Mengapa hal ini dapat terjadi? Apa latar belakang yang menyebabkan konflik mengenai keberadaan gereja di Indonesia? Dalam tulisan ini, saya akan memaparkan kedua pertanyaan tersebut secara ringkas.
Untuk melihat konflik ini, kita harus memutar waktu, mundur ke belakang, kembali ke periode paska-G 30 S. Saat itu, situasi di Indonesia sangat genting; terjadi tindakan kekerasan yang berujung pada apa yang kita sebut sebagai “pembantaian massal” terhadap mereka, baik sebagai seseorang yang dituduh menjadi anggota PKI, simpatisan, ataupun yang terafiliasi dengan PKI. Pembantaian ini banyak dilakukan oleh kelompok berbasis Islam, seperti NU dan Muhammadiyah.[2] Di sisi yang berbeda, kelompok Kristen menawarkan perlindungan terhadap para korban, sehingga banyak dari mereka berpindah agama ke Kristen atau Hindu. Fenomena pindah agama ini, seperti yang dicatat oleh Robert Hefner, memberi makna mengenai kebebasan dari tekanan sosial yang membawa penderitaan terhadap keluarganya.[3]
Hal tersebut menyebabkan jumlah penganut Kristen di Indonesia meningkat pesat. Peningkatan ini, seperti yang akan kita lihat, melahirkan konflik baru. Melihat pesatnya peningkatan penganut Kristen di Indonesia, kelompok Islam merasa khawatir. Mereka berasumsi bahwa kelompok Kristen mengambil kesempatan dari peristiwa tersebut untuk melakukan kristenisasi. Asumsi ini bahkan meruncing hingga menjadi konflik fisik,[4] sebuah konflik yang tidak pernah terjadi sepanjang periode 1945 hingga 1965, yang tercatat bahwa tidak ada konflik fisik antara dua agama tersebut. Jika kita melihat contoh ini sebagai konflik, ia hanya sebatas pada pertentangan pikiran dalam tulisan, seperti yang pernah dilakukan Atmodarminto yang menolak berdirinya negara Islam tahun 1957.[5]
Dalam mengatasi konflik tersebut, pemerintah, melalui Menteri Agama K.H. Muhammad Dachlan, mengadakan musyawarah lintas agama di Jakarta pada 30 November 1967. Namun, tak ada solusi yang didapatkan dari pertemuan tersebut. Sebelumnya, pada 10 Juli 1967, seorang anggota DPR dari kelompok Muhammadiyah, Lukmam Harun, mengajukan interpelasi di DPR mengenai persoalan konflik tersebut.[6] Tuntutan tersebut[7] menjadi dasar pembentukan SKB No. 1/1969 serta dua keputusan dari Kementerian Agama terkait persoalan ini. Aturan tersebut yaitu:
- Keputusan Bersama Menteri Agama dan Menteri Dalam Negeri No. 01/BER/MDN-MAG/1969 mengenai izin pendirian bangunan tempat ibadah. Kelompok Kristen merasa keberatan dengan aturan ini karena merintangi pendirian gereja;
- Keputusan Menteri Agama No. 70/1978 menjelaskan bahwa agama tak boleh disebarluaskan kepada orang yang telah menganut agama lain;
- Keputusan Menteri Agama No. 77/1978 tentang pembatasan penyebaran Kristen oleh organisasi Kristen yang mendapat bantuan dana dari luar negeri.
Jika kita cermati dari ketiga aturan tersebut, mereka justru membuat konflik yang ada kian meruncing. Bahkan, aturan tersebut bertentangan dengan Pasal 28E ayat (1) dam Pasal 29 ayat (2) UUD 1945 mengenai kebebasan beragama. Ketiga aturan tersebut membatasi hak-hak keagamaan, khususnya kelompok Kristen dalam menyebarkan agamanya serta permasalahan mengenai izin pendirian tempat ibadah. Terlebih lagi, selain sulitnya mendapat IMB, mereka masih mendapatkan teror dan penolakan oleh masyarakat sekitar.
Merujuk pada Keputusan Bersama Menteri Agama dan Menteri Dalam Negeri No. 8/2006 dan 9/2006 pasal 14 ayat (2) dalam huruf a dan b, regulasi mengenai pendirian tempat ibadah harus memenuhi prosedur administratif seperti:
- terdapat minimal 90 daftar nama dan KTP pengguna tempat ibadah serta;
- dukungan masyarakat sekitar tempat ibadah minimal 60 orang yang disahkan oleh lurah/kepala desa.
Ironis, pelaksanaan aturan tersebut seringkali mengalami hambatan di lapangan. Hal ini pernah terjadi dalam kasus pembangunan dan izin Gereja Santa Clara di Bekasi. Untuk mendapat Izin Mendirikan Bangunan (IMB), mereka harus menunggu selama 20 tahun. setelah IMB berhasil mereka dapatkan, mereka tetap mendapat penolakan dari kelompok yang menamakan diri mereka sebagai “Alumni Majelis Silaturahmi Umat Islam Bekasi”.[8] Contoh lain mengenai penolakan terhadap pembangunan rumah ibadah juga dialami oleh HKBP Filadelfia, Gereja Katolik St. Johannes Baptista, dan Paroki Santo Yohannes Maria Vianney, ketiganya terjadi di Jakarta.[9]
Konflik bercorak keagamaan yang dilanggengkan oleh aturan-aturan tersebut sempat mencapai titik puncak pada masa transisi dari Orde Baru[10] menuju Reformasi. Di Wamena, Papua, terjadi pembakaran masjid oleh kelompok Kristen suku Dani karena masjid yang dibangun pemerintah di tempat yang tidak terdapat populasi orang Islam.[11] Bercermin dari aturan-aturan diatas, pendirian masjid di wilayah tersebut tidak memenuhi persyaratan untuk mendirikan sebuah rumah ibadah.
Pertentangan dari dua agama ini sempat ramai kembali pada akhir 2016, ketika Basuki Tjahaja Purnama (Ahok) dianggap menistakan agama Islam oleh beberapa kelompok masyarakat Islam. Sentimen ini mendorong dikotomi antara kelompok Islam konservatif dengan Ahok yang direpresentasikan sebagai Cina-Kristen.[12] Masalah ini bukanlah urusan yang sepele, akan tetapi sudah menjadi permasalahan serius dan berlarut-larut selama puluhan tahun dalam konteks Indonesia kontemporer.
Sudah seharusnya pemerintah membuat kebijakan yang melindungi serta menjamin hak kebebasan beragama, termasuk salah satunya adalah kesempatan untuk mendirikan rumah ibadah, sehingga kepastian hukum menjadi landasan utama bagi semua golongan masyarakat. Terlebih lagi, mengenai permasalahan tempat ibadah, ia tidak hanya sekadar membuat kerangka kebijakan hukum yang mengatur izin pendirian, tetapi juga jaminan keamanan setelah berdirinya tempat ibadah tersebut. Implementasi di lapangan perlu diawasi secara lebih ketat supaya tidak terjadi penyelewengan.
Permasalahan agama di Indonesia masih menjadi masalah krusial, dan sebagai negara yang multikultural dan rentan terhadap konflik horizontal dan vertikal berlandaskan agama, maka diperlukan kesadaran untuk memikirkan solusi atas permasalahan ini.
*Tulisan ini pernah diterbitkan di halaman Facebook “Bikini Bottom Studieclub” pada 20 Juli 2021. Diterbitkan kembali dengan sedikit penyuntingan.