Masyarakat Pedesaan Jawa dalam Dinamika Mobilisasi dan Kontrol Pemerintah Jepang

Judul BukuMobilisasi dan Kontrol: Studi tentang Perubahan Sosial di Pedesaan Jawa 1942-1945
PenulisAiko Kurasawa
PenerbitGrasindo
Kota TerbitJakarta
Tahun Terbit1993
Halamanxxxv + 562 halaman
PenerjemahHermawan Sulistyo

Dalam rubrik Ulasan HM pada 24 Januari 2024, masa pendudukan Jepang diselidiki lebih dalam melalui buku The Crescent and The Rising Sun karya Harry J. Benda. Buku tersebut menjawab satu aspek dalam masyarakat Indonesia pada masa Jepang, yakni agama Islam. Seperti yang saya ungkapkan dalam tulisan sebelumnya, buku tersebut berhasil menyajikan periode Jepang dengan spot-on.

Namun, ada satu aspek, yang lebih mendasar, yang perlu kita dalami ketika berbicara mengenai pendudukan Jepang. Hal tersebut, tidak lain dan tidak bukan, adalah kehidupan masyarakat Indonesia, terutama yang tinggal di pedesaan. Mereka, sebagai masyarakat yang paling terdampak oleh kebijakan politik dan militer Jepang, memiliki dinamika menarik yang perlu dijelaskan lebih lanjut.

Hal tersebut, oleh Aiko Kurasawa, diselidiki lebih dalam dan detail melalui buku Mobilisasi dan Kontrol: Studi tentang Perubahan Sosial di Pedesaan Jawa 1942-1945 (selanjutnya disebut sebagai Mobilisasi dan Kontrol). Buku ini, dengan pendekatan, data-data, serta sumber baru, mencoba untuk menyajikan dinamika masyarakat pedesaan Jawa pada masa pendudukan Jepang.

Menurut Kurasawa, terdapat dua kata kunci dalam memahami pengaruh Jepang terhadap pedesaan Jawa. Kedua kata kunci tersebut adalah mobilisasi dan kontrol.

Kata kunci pertama, mobilisasi, menjadi penting bagi pemerintah militer Jepang. Mereka, yang berharap bantuan sebanyak mungkin dari masyarakat Jawa, berusaha memobilisasi mereka untuk membantu kepentingan perang Jepang. Hal tersebut terlihat dengan adanya penetrasi dalam kehidupan masyarakat pedesaan Jawa, yang sebagian besar petani.

Baca Juga  Melihat Revolusi Indonesia dari Kacamata Seorang Anti-Republik

Mereka, yang semula menanam padi dengan kualitas bagus untuk kepentingan sendiri dan pasar, sekarang diarahkan untuk berproduksi untuk tujuan mensukseskan usaha Jepang memenangkan Perang Asia Timur Raya. Tanaman padi yang semula berkualitas bagus, kini dialihkan dengan padi yang berkualitas lebih rendah, tetapi dapat dipanen lebih banyak. Masyarakat Jawa, pada mulanya, enggan menerima perubahan ini. Meski begitu, adanya kontrol ketat negara melalui para pangreh praja (terutama kepala desa), memaksa mereka untuk beralih.

Selain menanam padi berkualitas rendah, masyarakat petani Jawa juga didorong untuk membudidayakan tanaman-tanaman yang berguna untuk kepentingan perang. Tanaman kapas, rami, dan jarak, yang semula diabaikan pada masa Belanda, kini menjadi tanaman utama para petani. Di sisi lain, tanaman komoditas ekspor, seperti teh, kopi, dan tebu, kini digantikan dengan padi atau tanaman perang.

Mobilisasi tidak hanya diarahkan dalam kedua hal itu saja. Jepang, untuk mendorong produksi pertanian, mulai memperkenalkan tenaga pertanian kepada para petani. Mereka, yang sebagian besar mendapatkan pendidikan kilat Jepang di Jakarta, dikirim ke daerah-daerah untuk mendorong produksi para petani. Ini menjadi awal hubungan yang lebih intensif antara petani dengan pemerintah, suatu hal yang masih diwarisi hingga kini.

Selain mobilisasi pertanian, masyarakat pedesaan Jawa juga dikerahkan sebagai romusha atau tentara ekonomi. Pada mulanya, perekrutan romusha dilakukan secara sukarela, dan dengan bayaran per hari yang mencukupi untuk hidup. Namun, seiring dengan sulitnya kondisi Jepang dalam perang, romusha berubah menjadi pemaksaan, tipu muslihat, dan kekejaman.

Terakhir, mobilisasi juga dilakukan dengan melakukan serah wajib padi. Pada mulanya, kebijakan tersebut berjalan lancar, meski beberapa petani mengeluhkan aturan serah wajib yang dirasa memberatkan kehidupan mereka. Seiring berjalannya waktu, kebijakan tersebut berubah menjadi eksploitasi berlebihan, berbuah penderitaan kepada para petani.

Baca Juga  Penciptaan Kekuatan Politik Islam Indonesia

Setelah adanya mobilisasi secara besar-besaran untuk kepentingan perang Jepang, mereka juga melakukan kata kunci yang kedua. Kontrol, kata kunci tersebut, menandakan adanya kontrol ketat yang dilakukan pemerintah Jepang terhadap segala aspek kehidupan masyarakat Jawa. Jepang menjaga agar moral masyarakat tetap mendukung mereka, anti-Barat, dan sebisa mungkin suka rela tetap membantu usaha-usaha Jepang.

Untuk mewujudkan kontrol tersebut, pemerintah Jepang mengandalkan tenaga-tenaga lokal di pedesaan. Mereka, yakni para tenaga terdidik, tonarigumi, pangreh praja, dan kiai, digerakan untuk mengontrol moral para petani. Tidak jarang, kontrol yang mereka lakukan dieksekusi dengan kekerasan dan kekejaman, sehingga memantik perlawanan di daerah.

Ketika masyarakat pedesaan harus melawan Jepang, mereka tidak menyerang Jepang secara langsung. Mereka mengarahkan serangan mereka kepada para pangreh praja, yang mereka lihat sebagai kolaborator Jepang. Pemberontakan petani, seperti di Sukamanah, Sindang, dan Bugis, terjadi karena kekecewaan masyarakat terhadap kebijakan Jepang, yang digerakan melalui pangreh praja, yang memeras mereka habis-habisan.

Membaca buku Mobilisasi dan Kontrol, jika dibaca dengan kritis, dapat membangkitkan imajinasi pembaca mengenai kehidupan petani ketika sebuah perang berkecamuk. Mereka tidak hanya menderita; mereka juga mengalami dinamika dengan “kota” (baca: pemerintah), menyesuaikan kehidupan mereka selama perang.

Masyarakat pedesaan tidak serta merta selalu menderita dan disiksa oleh penguasa Jepang, seperti kisah dalam historiografi kita. Mereka adalah agen hidup, yang mendorong perubahan laju sejarah Indonesia, tidak hanya selama masa pendudukan, tetapi juga pada masa-masa berikutnya.

Terdapat dua catatan yang perlu digarisbawahi ketika membaca buku Mobilisasi dan Kontrol. Pertama, buku ini menyajikan analisis data mentah yang mendalam. Bagi pembaca yang memahami analisis data, buku ini mungkin menjadi pengalaman menyenangkan. Tetapi, bagi mereka yang tidak suka melihat kumpulan angka-angka, buku ini akan tampil membosankan.

Baca Juga  Membayangkan Diri Hidup Seperti Winston Smith

Kedua, buku Mobilisasi dan Kontrol tampil dengan paragraf yang sangat panjang dan tebal, khas buku-buku lama. Bagi pembaca dewasa ini, yang lebih banyak membaca buku dengan ukuran paragraf yang pendek, buku ini akan dipandang sebagai buku yang kuno dan tidak menarik. Namun, bagi mereka yang bisa menyesuaikan diri, atau mereka yang sudah terbiasa dengan buku-buku lama, buku ini menjadi buku yang dapat dipahami dengan cepat dan mudah.

Terlepas dari kedua kekurangan tersebut, buku Mobilisasi dan Kontrol berhasil menyajikan kondisi masyarakat pedesaan Jawa selama pendudukan Jepang. Kurasawa sukses menampilkan para petani di pedesaan sebagai agen perubahan, tidak melulu sebagai agen yang dibentuk oleh perubahan.

Buku ini, terutama bagi mereka yang memahami sejarah, perlu dihayati lebih kritis; mereka perlu melihat masyarakat kebanyakan tidak hanya menjadi massa yang digerakan sejarah, tetapi juga sebagai massa yang menggerakan sejarah.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *