Akhir dari Sejarah: dari Hegel sampai Pascastruktruralisme

Mencoba membayangkan seperti apakah kiranya hidup sehari-hari dalam masyarakat seandainya tidak ada seorang yang tahu tentang sejarah. Imajinasi mati, sebab hanya memlalui pengetahuan tentang sejarah-dirinyalah suatu masyarakat dapat memiliki pengetahuan tentang dirinya sendiri. Sebab manusia tanpa memori dan pengetahuan-diri adalah manusia yang mengambang; demikian pula suatu masyarakat tanpa memori (atau lebih tepatnya tanpa kompetensi mengingat) dan pengetahuan-diri akan menjadi masyarakat yang mengambang.”
(Jacques Derrida, Specters of Marx)

Sejarah, sebagai sebuah perkembangan progresif penghasil perubahan sosial yang besar, kini telah berakhir, ungkap Alexandre Kojeve dalam buku Introduction to the Reading of Hegel. Pernyataan tersebu disebut sebagai “akhir dari sejarah” (end of history). Melanjutkan dari ide filosofis G.W.F. Hegel, “akhir sejarah” telah digunakan secara luas untuk menggambarkan jalannya pemikiran modern dan pascamodern.

Mengenai “akhir sejarah”, Shadia Drury dalam buku Alexandre Kojeve: The Roots of Postmodern Politics, mencatat bahwa ada dua hal yang terpisah dalam perkembangan gagasan tersebut. Kedua hal tersebut yakni fase teoritis, yang berpusat pada Kojeve dan sebagian besar terbatas pada filsafat spekulatif dan historiografi, dan fase mempopulerkan, yang didasarkan pada tesis Francis Fukuyama.

Bagaimana tesis Kojeve dan Fukuyama mengenai “akhir sejarah” tersebut?

Akhir Sejarah bagi Hegel

Dalam The End of History: An Essay on Modern Hegelianism, Barry Cooper mengungkapkan bahwa gagasan Hegel tentang sejarah sebagai drama telah berakhir dengan era Napoleon pada awal abad ke-19. Oleh Kojeve, gagasan Hegel tersebut dihidupkan kembali pada dekade 1930-an.

Melalui Introduction to the Reading of Hegel, Kojeve menganalisis dan memperdebatkan dengan cermat filsafat sejarah Hegel. Ia menyatakan bahwa sejarah, bagi seorang Hegel, merupakan suatu proses sistemik yang terdiri dari perjuangan manusia untuk mendapatkan pengakuan.

Hegel (1770-1831), filsuf Jerman yang berpendapat perihal akhir sejarah.

Umat manusia terbagi menjadi para penguasa dan para budak. Penguasa memiliki kontrol, tetapi tidak memiliki dorongan untuk berusaha menyempurkan takdir mereka. Di sisi lain, para budak, meski tidak berdaya, merupakan garda terdepan kemajuan. Mereka adalah para master, yang mengekspresikan diri mereka melalui pertempuran hidup.

Baca Juga  Etika Deontologis: Memahami Pemikiran Moral Immanuel Kant

Dalam mewujudkan materi, para budak terbatas hanya pada pekerjaan. Setelah para budak mengambil atribut perjuangan dari para tuan melalui Revolusi Prancis, mereka memberikan umat manusia sebuah forum untuk datang ke kesadaran. Pada akhirnya, perkembangan sejarah di era modern, bagi seorang Kojeve, telah berakhir.

Kojeve bermaksud bahwa teorinya tidak hanya menjadi sebuah filsafat, tetapi juga sebagai analisis terhadap dunia setelah 1945, dengan melihat meningkatnya keseragaman yang berasal dari ilmu pengetahuan dan budaya Barat, sebuah keseragaman yang ditampilkan dalam budaya Amerika Serikat dan Uni Soviet.

Tentu saja, kehidupan di dunia ini akan terus berjalan. Namun, ia tidak memiliki ransangan; perjuangan sejarah akan menjadi hambar, membosankan, dan kurang dalam meraih puncak serta lembah realisasi diri manusia.

Fukuyama, Keruntuhan Komunisme, dan Akhir Sejarah

Meski teori “akhir sejarah” berada di pinggiran dalam perdebatan pascamodern tahun 1980-an, ia sekali lagi menjadi terkenal setelah Francis Fukuyama, seorang ilmuwan politik dan pegawai Departemen Luar Negeri Amerika Serikat, melemparkan bola panas perdebatan ke publik. Bola panas tersebut termuat dalam bukunya, The End of History and the Last Man (juga termuat dalam artikel The End of History? dalam The National Interest).

Ketika blok Soviet runtuh, Fukuyama menggunakan eksposisi Kojeve tentang akhir sejarah untuk memberitakan kemenangan demokrasi liberal di seluruh dunia. Kabar tersebut menarik bagi para penganut pascamodern, karena ia menggambarkan sebuah perayaan terhadap runtuhnya kemajuan utopis menjelang milenium ketiga.

Francis Fukuyama (lahir 1952), pakar politik asal Amerika Serikat yang berpendapat bahwa sejarah sudah berakhir seiring dengan matinya komunisme, courtesy of RAND

Lebih lanjut, Fukuyama mengaitkan gagasan Kojeve mengenai sejarah sebagai perjuangan untuk mendapatkan pengakuan dengan gagasan manusia terakhir yang dicetuskan Friedrich Nietzcche. Orang terakhir, menurut Fukuyama, tidak lagi tampil heroik; ia adalah manusia yang puas mendedikasikan dirinya untuk berbagai kesenangan kecil yang tersedia dalam masyarakat sipil.

Baca Juga  Misteri Relief Kamadhatu Candi Borobudur, Apa Benar Ditutup Karena Vulgar?

Dalam buku Has History Ended? Fukuyama, Marx, Modernity, Christopher Bertram dan Andrew Chitty mengatakan bahwa pemikiran Fukuyama tidak populer bagi penganut paham kiri, karena ia sinis atas kejatuhan komunisme, serta membayangkan sebuah utopia kapitalis yang tumbuh dalam globalisasi. Meski begitu, Fukuyama, yang dipengaruh oleh Karl Marx, membuat beberapa pemikir Marxis merasakan solidaritas dengannya.

Kritik Derrida atas Akhir Sejarah

Stuart Sim, dalam buku Derrida and the End of History, menyajikan kritik Derrida terhadap tesis Francis Fukuyama. Dengan menggunakan cara berpikir pascastrukturalisme, Derrida, filsuf Prancis yang terkenal dengan teori dekonstruksi, menolak tesis Francis Fukuyama tentang akhir sejarah.

Bagi Derrida, pemaknaan atas “akhir sejarah” bukanlah menegaskan akhir dari sejarah. Yang berakhir justru konsep dari sejarah itu sendiri. Sejarah tetap berlangsung seperti sedia kala, dengan pergulatan dan logikanya sendiir. Ia tetap mengalir meninggalkan jejak-jejak bagi kehidupan manusia.

Jacques Derrida (1930-2004), filsuf Prancis yang mengkritik gagasan Fukuyama perihal akhir dari sejarah, courtesy of Kompasiana

Dengan mengutip Zigmunt Bauman, Derrida menunjukkan bahwa The End of History-nya Fukuyama mengandung muatan ideologis yang sarat kepentingan. Ia, secara riil. memihak kepada salah satu ideologi, dan cenderung negatif melihat ideologi lain.

Menurut Derrida, Fukuyama hanya menjadi corong dan mengamini satu ideologi yang kebetulan saat itu tengah menunjukkan panji-panji kemenangannya, tanpa menyadari bahwa ideologi-ideologi lain tidak pernah benar-benar ambruk. Fukuyama, seakan-akan, hendak menyingkirkan perlunya dialektika antarideologi. Fukuyama juga tidak melihat konsep dialog antarperadaban yang pernah digagas Muhammad Khatami, mantan presiden Iran.

Penutup

Hegel percaya bahwa evolusi masyarakat tidaklah terbuka, tetapi akan berakhir ketika umat manusia telah mencapai puncak bentuk masyarakat yang ideal dan memuaskan kerinduan yang terdalam serta paling mendasar. Bagi Hegel, hal ini adalah negara liberal.

Baca Juga  Sejarah Tampil Layaknya Sebuah Bawang

Runtuhnya komunisme Soviet mendorong Fukuyama untuk melanjutkan tesis Hegel. Baginya, akhir sejarah adalah kemenangan demokrasi liberal model Barat. Pada 1992, wacana tersebut mungkin dapat dinikmati. Namun, di baliknya, Fukuyama mengabaikan banyak aspek yang tersembunyi di balik demokrasi liberal.

Wacana “akhir sejarah” tidak berarti sebuah siklus alami: kelahiran, kehidupan, dan kematian. Ini juga tidak berarti bahwa peristiwa-peristiwa penting tidak akan terjadi, atau rekonstruksi sejarah telah terhenti. Secara ontologis, kata “akhir” justru berarti sebaliknya, bahwa tidak akan ada kemajuan lebih lanjut dalam pengembangan prinsip dan institusi yang mendasar, jika semua pertanyaan yang benar-benar besar telah selesai.

4 thoughts on “Akhir dari Sejarah: dari Hegel sampai Pascastruktruralisme

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *