Bagi masyarakat Bali, kisah mengenai leluhur yang hidup pada masa kerajaan Majapahit merupakan kisah yang sulit dipisahkan dalam mentalitas mereka. Sebagai pratisentana (keturunan) “wong Majapahit”, kisah mengenai kejayaan kerajaan tersebut hidup dalam setiap langkah kehidupan kebudayaan mereka.
Salah satu kisah yang mereka ingat dengan pasti adalah peristiwa penyerbuan Bali oleh Majapahit pada 1343. Kisah ini sangat populer di Bali, dan menjadi awal kolonisasi Majapahit atas pulau dewata. Penyerbuan ini pula yang mengawali komunikasi kebudayaan yang intensif antara Bali dan Jawa.
Bagaimana kisah penyerbuan Majapahit ke Bali? Mengutip tulisan berseri I Ketut Ginarsa dalam harian Bali Post dengan judul Ekspedisi Gajah Mada ke Bali, kisah bermula pada pengangkatan Ki Kebo Parud sebagai penguasa di Bali. Setelah berhasil menaklukan Bali pada 1284 masehi, dan menjadikan raja Hyang Parameswara Seri Hyangning Hyang Adidewa Lancana sebagai tahanan perang, raja Kertanegara menempatkan wakil kerajaan Singasari, Ki Kebo Parud, yang juga dikenal sebagai Ki Kebo Bungalan, sebagai raja patih pulau Bali pada 1296.
Kekuasaan raja patih Kebo Parud hanya bersifat sementara. Pada 1324 masehi, raja Jayanegara, penguasa majapahit, mengembalikan kekuasaan atas Bali ke tangan raja keturunan dinasti Warmadewa. Raja tersebut adalah Sri Dharma Utunggadewa Warmadewa, bergelar Sri Paduka Maharaja Bhatara Mahaguru.
Empat tahun berselang, pada 1328, raja Sri Dharma Utunggadewa Warmadewa mangkat. Pada tahun yang sama, raja Jayanegara dibunuh seorang dukun bernama Ra Tanca, membuat Bali berdiri sebagai wilayah merdeka. Putra sang raja, Seri Trunajaya, naik tahta dengan gelar Seri Walajaya Kertaningrat. Dikisahkan, keadaan Bali sangat tenang dan aman sebagai kerajaan merdeka, lepas dari kontrol Majapahit.
Pada 1337 masehi, raja Walajaya Kertaningrat mangkat. Ia digantika oleh Seri Asta Asura Ratna Bumi Banten. Raja ini, yang menganut agama Bauda Bairawa, aktif membangun tempat suci bagi umat agama tersebut.
Pada suatu hari, patih kerajaan Majapahit, Gajah Mada pergi ke Bali sebagai utusan kerajaan Majapahit. Dalam pertemuannya, ia dan raja Seri Asta Asura Ratna saling bersitegang, memperburuk hubungan antara Majapahit dan Bali. Meski begitu, pertemuan antara mereka berdua tetap berjalan, dan Gajah Mada kembali ke Majapahit. Sebelum kembali, Gajah Mada mengajak patih kerajaan Bali, Ki Kebo Iwa, untuk ikut bersamanya.
Ki Kebo Iwa adalah patih yang sangat sakti. Kesaktiannya menghalangi Gajah Mada mewujudkan keinginanya untuk menaklukan Bali, mewujudkan Sumpah Palapa yang ia kumandangkan. Meski begitu, dengan tipu muslihat, Ki Kebo Iwa berhasil dibunuh oleh Gajah Mada, melapangkan jalan baginya untuk menaklukan Bali.
Pada tahun 1343, Gajah Mada bersama pasukannya bersiap menyerang kerajaan Bali. Pasukan yang dipimpin Kiayi Pamacekan, Kiayi Gajah Para, Kiayi Getas dan Arya Kuta Waringin menyerang dari arah timur, di wilayah yang sekarang menjadi tempat tinggal masyarakat Bali Aga. Pasukan Kiayi Tumenggung, Arya Patandakan, dan Kiayi Kanuruhan, memusatkan pasukan di desa Rajatama. Pasukan Kiayi Sentong, Arya Belog, Arya Wangbang, diminta untuk menyerang Bali dari wilayah Seseh. Arya Kenceng dan Dalcang diperintahkan untuk mendarat di wilayah Kertalangu. Sementara, pasukan Adityawarman yang tiba dari Sumatera diharapkan untuk menyerang dari barat, bersama Si Tan Mundur, Si Tan Kober, Si Tan Kawur, dan Arya Nggaik.
Serangan dari berbagai arah tersebut berhasil mendesak pasukan Bali hingga ke wilayah Bedulu, pusat kerajaan. Perang yang berkobar dengan dahsyat tersebut dimenangkan oleh Gajah Mada. Raja Seri Asta Asura Ratna Bumi Banten berhasil dikalahkan.
Setelah berhasil dikuasai, Gajah Mada bersama beberapa pimpinan pasukan kembali ke Majapahit. Sebagai pemimpin wilayah yang baru ditaklukan tersebut, ia menempatkan Seri Haji Kepakisan, yang berkuasa di wilayah Samplangan.
Mengutip artikel Jro Mangku Gde Ktut Soebandi, wilayah Bali dibagi dan dipimpin oleh empat orang pemimpin pasukan yang ikut menyerbu Bali, antara lain Arya Kenceng berkuasa di Pucangan, Arya Kuta Waringin berkuasa di Gelgel, Kiayi Sentong berkuasa di Pacung, dan Arya Belog berkuasa di Kaba-Kaba.
Kini, mereka, para pemimpin pasukan yang menyertai Gajah Mada pada 1343, menjadi leluhur bagi para bangsawan (kasta ksatria) yang ada di sembilan kabupaten/kota di Bali, disembah sebagai roh suci setiap piodalan (hari raya).
Referensi:
[1] I Kt. Ginarsa. 1983a. “Ekspedisi Gajah Mada ke Bali (I)” dalam Bali Post. 13 September.
[2] I Kt. Ginarsa. 1983b. “Ekspedisi Gajah Mada ke Bali (II)” dalam Bali Post. 14 September.
[3] I Kt. Ginarsa. 1983c. “Ekspedisi Gajah Mada ke Bali (III)” dalam Bali Post. 15 September.
[4] I Kt. Ginarsa. 1983d. “Ekspedisi Gajah Mada ke Bali (IV)” dalam Bali Post. 16 September.
[5] I Kt. Ginarsa. 1983e. “Ekspedisi Gajah Mada ke Bali (V)” dalam Bali Post. 17 September.
[6] I Kt. Ginarsa. 1983f. “Ekspedisi Gajah Mada ke Bali (VI)” dalam Bali Post. 19 September.
[7] I Kt. Ginarsa. 1983g. “Ekspedisi Gajah Mada ke Bali (VII)” dalam Bali Post. 21 September.
[8] I Kt. Ginarsa. 1983h. “Ekspedisi Gajah Mada ke Bali (VIII)” dalam Bali Post. 22 September.
[9] I Kt. Ginarsa. 1983i. “Ekspedisi Gajah Mada ke Bali (IX)” dalam Bali Post. 23 September.
[10] I Kt. Ginarsa. 1983j. “Ekspedisi Gajah Mada ke Bali (X)” dalam Bali Post. 24 September.
[11] I Kt. Ginarsa. 1983k. “Ekspedisi Gajah Mada ke Bali (XI)” dalam Bali Post. 26 September.
[12] I Kt. Ginarsa. 1983l. “Ekspedisi Gajah Mada ke Bali (XII)” dalam Bali Post. 27 September.
[13] Jro Mangku Gde Ktut Soebandi. 1997. “Aryya Kenceng tidak Identik dengn Aryya Dhamar” dalam Bali Post. 9 Juli.