Panji Gumilang, Perbedaan Tafsir atau Penyimpangan Teologis?

Sejak beberapa bulan belakangan, publik di Indonesia disuguhkan pemberitaan mengenai pondok pesantren Al-Zaytun dan Panji Gumilang, pemimpinnya. Pondok pesantren yang berlokasi di Indramayu ini diduga melakukan penyimpangan terhadap teologi Islam. Berbagai kalangan menuntut pemerintah untuk mengambil tindakan tegas dengan menutup pondok pesantren tersebut.

Suara penutupan pondok pesantren umat muslim di Indonesia menuai polemik. Pada sisi yang lain, suara dukungan terhadap Al-Zaytun juga bermunculan, menghasilkan konflik yang memecah persatuan umat.

Dalam sebuah opini yang diterbitkan majalah Tempo berjudul Bagaimana Menangani Al-Zaytun?, Al-Zaytun tidak perlu ditutup karena hal tersebut dapat merenggut hak pendidikan anak-anak yang belajar di sana. Tempo juga menyatakan bahwa apa yang dilakukan Panji Gumilang merupakan praktek penafsiran agama yang berbeda dengan tafsir pada umumnya. Singkat kata, opini Tempo beranggapan bahwa masalah Panji Gumilang dan Al-Zaytun merupakan hal yang wajar, bukan merupakan penyimpangan teologis.

Pondok pesantren Al-Zaytun, courtesy of Radar Mukomuko

Benarkah polemik Al-Zaytun dan Panji Gumilang adalah bentuk perbedaan tafsir? Jika bukan, apakah ia justru merupakan penyimpangan teologis? Kita mulai pembahasan dari pandangan Panji Gumilang yang menyatakan bahwa Alquran adalah “kalam (perkataan) Muhammad”.

Saya sering melihat perbedaan pandangan para ulama dalam menafsirkan ayat-ayat Alquran atau fikih. Tetapi, saya tidak pernah menjumpai satu pun ulama, baik klasik maupun kontemporer, yang mengatakan bahwa Alquran merupakan kalam Muhammad. Semua ulama sepakat bahwa Alquran adalah kalam Allah yang diwahyukan kepada Muhammad.

Dalam argumentasinya, Panji Gumilang mengatakan bahwa Alquran itu adalah kalam Muhammad yang berasal dari wahyu ilahi. Argumen ini didasarkan pada surah Albaqarah ayat kedua, yang dipandang sebagai deklarasi Nabi Muhammad sendiri.

Panji Gumilang, pemimpin pondok pesantren Al-aytun yang menyatakan bahwa Alquran merupakan kalam nabi Muhammad, courtesy of Detikcom

Jika Panji Gumilang berpikir bahwa Alquran merupakan kalam Muhammad, karena keluar melalui mulut nabi dan disampaikan kepada orang lain, ia tampaknya tidak memperhatikan beberapa ayat dalam berbagai surah Alquran seperti Surah Al-Ahzab ayat 40, Surah Muhammad ayat 2, Surah Ali ‘Imran ayat 144, serta beberapa ayat lainn yang menyebut nama Muhammad dengan menggunakan kata ganti “dia”.

Baca Juga  Ketika Buku Lebih Sering Dibajak Ketimbang Dibaca

Jika Alquran benar perkataan Nabi Muhammad, beliau tidak mungkin menggunakan kata ganti “dia” untuk merujuk pada dirinya sendiri. Sebagaimana dijelaskan oleh Quraish Shihab dalam buku Mukjizat Alquran, terdapat ayat dalam Alquran yang menggambarkan teguran Tuhan kepada Nabi Muhammad karena bersikap tidak acuh terhadap seseorang yang ingin meminta pengajaran agama.

Dengan demikian, ayat-ayat dalam surah tersebut menjadi kontradiktif dengan argumen Panji Gumilang. Mustahil bagi Nabi Muhammad untuk menegur dirinya sendiri dan mengatakan dirinya bermuka masam karena menolak orang buta yang ingin mendapatkan pengajaran agama. Pastinya, teguran tersebut berasal dari Allah. Ini membuktikan bahwa Alquran memang kalam Allah.

Abu Bakar al-Baqilani (950 – 1013), cendekiawan Islam yang menantang siapapun yang berpendapat bahwa Alquran bukan merupakan kalam Allah, courtesy of Media Pakuan – Pikiran Rakyat

Imam Al-Baqilani, melalui Ijazul Quran, menantang siapa pun yang mengatakan Alquran sebagai kalam nabi untuk menyusun hadis yang menyerupai susunan Alquran dan memiliki koherensi serta kesatuan antara satu ayat dengan ayat lainnya.

Lalu, jika Nabi Muhammad menyampaikan kalam Allah dengan bahasa yang digunakannya, apakah ini berarti bahwa Alquran adalah kalamnya sendiri?

Saya akan menjawabnya melalui analogi sederhana. Jika kita membaca sebuah buku terjemahan, apakah kita akan mengatakan sang penerjemah sebagai penulis buku tersebut? Tentu saja tidak, karena penerjemah hanya sekadar mengubah buku dari suatu bahasa ke bahasa lain. Ia tidak mengubah maksud atau makna dari buku tersebut, sehingga otentisitas buku yang ia kerjakan tetap terjaga.

Hal serupa juga serupa mengenai Alquran. Nabi Muhammad hanya bertugas sebagai perantara untuk menyampaikan wahyu Allah kepada manusia lainnya dengan bahasa yang mereka pahami. Hal tersebut tidak serta merta mereduksi otentisitas Alquran sebagai kalam Allah menjadi kalam nabi, hanya karena wahyu tersebut disampaikan melalui lisan.

Dapat disimpulkan, sangat sulit untuk menyebut pernyataan Panji Gumilang sebagai bentuk penafsiran yang berbeda tentang teologi Islam. Pernyataan tersebut, menurut hemat saya, tidak memiliki dasar argumentasi yang kokoh untuk memperkuat klaimnya, selain sebagai asumsi liar serta interpretasi serampangan yang berujung pada penyimpangan.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *