Marc Bloch dan Para Penjaja Konten Sejarah di Media Sosial

Sebagai seorang sejarawan, sosok Marc Bloch (1886-1944) merupakan figur besar dalam historiografi Eropa. Bersama Lucien Febvre, ia merintis jurnal Annales, memperkenalkan ilmu sosial dalam sejarah, serta menempatkan masyarakat kebanyakan, terutama mereka yang tinggal di pedesaan, dalam penulisan sejarah. Meski ia harus pergi untuk selamanya di tangan rezim Nazi Jerman, pengaruhnya masih dapat dirasakan hingga kini.

Salah satu pengaruh yang ia tinggalkan dapat kita temukan dalam bagian pengantar buku Feudal Society jilid pertama (2004[1961-1962]). Pada bagian akhir pengantar tersebut, ia menulis bahwa sebuah tulisan sejarah seharusnya dapat membuat pembacanya merasa “lapar” (a historical work should make its readers hungry).

“Lapar” dalam hal apa? Menurut Bloch, melanjutkan kutipan tersebut, lapar dalam arti memiliki keinginan untuk belajar (hungry to learn), terutama mendalami sejarah (to inquire).

Pertanyaan yang terlintas dalam benak ketika membaca kutipan Bloch tersebut, apakah penulisan sejarah di Indonesia telah membuat masyarakat “lapar” untuk belajar? Melihat banyaknya penjaja konten sejarah yang beredar di media sosial, dapat dikatakan bahwa sejarah diminati oleh generasi muda. Mereka, melalui tulisan, konten audio-visual, hingga budaya populer, belajar dan mendalami sejarah.

Meski begitu, terdapat catatan besar yang perlu digarisbawahi ketika berbicara mengenai para penjaja konten sejarah. Banyak dari mereka hanya menghasilkan konten kejar tayang yang ditulis tanpa melalui proses kesejarahan yang benar dan mumpuni. Alhasil, alih-alih mencerahkan dan menggugah pembaca untuk belajar lebih dalam, ia hanya menjadi konten “habis manis sepah dibuang” yang “hangus” setelah beberapa jam terbit.

Jika memang mereka, para penjaja konten sejarah di media sosial, benar-benar ingin memperkenalkan sejarah yang membuat pembacanya “kelaparan”, mereka wajib menyajikan konten yang tidak hanya menarik, tetapi juga memenuhi kaidah-kaidah kesejarahan.

Baca Juga  Gde Aryantha Soethama dan Generasi Indonesia yang Tanpa Sastra

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *