Meretas Sekat Tradisi dan Modernitas melalui Pandangan Mohammad Arkoun

… para ahli fikih yang sekaligus teolog (Kalam) tidak mengetahui hal itu. Mereka mempraktikkan jenis interpretasi terbatas dan membuat metodologi tertentu, yakni fikih dan perundang-undangan. Dua hal ini mengubah diskursus al-Qur’an yang mempunyai makna mitis-majazi, yang terbuka bagi berbagai makna dan pengertian, menjadi diskursus baku yang kaku … telah menyebabkan diabaikannya historisitas norma-norma etika keagamaan dan hukum-hukum fikih. Jadilah norma-norma dan hukum-hukum fikih itu seakan-akan berada di luar sejarah dan di luar kemestian sosial; menjadi suci; tidak boleh disentuh dan didiskusikan … Para ahli fikih telah mengubah fenomena-fenomena sosio-historis yang temporal dan bersifat kekinian menjadi semacam ukuran-ukuran ideal dan hukum transenden yang kudus/suci, yang tak dapat diubah dan tak dapat diganti. Semua bentuk kemapanan dan praktik yang lahir dari hukum-hukum dan ukuran-ukuran ini kemudian mendapat aarde (ardiyyah) pengkudusan/pensakralan dan transendensi ketuhanan yang mencabutnya dari fondasi atau dari persyaratan-persyaratan biologis, sosial, ekonomi dan ideologis. Demikianlah, historisitas diabaikan dan dibuang oleh ortodoksi yang mapan. Keadaan seperti itu berlangsung terus sampai hari ini, bahkan pembuangan historisitas itu menjadi bertambah-tambah dengan perjalanan waktu.

Kutipan di atas berasal dari Mohammad Arkoun, seorang pemikir kontemporer. Ia dikenal melalui beberapa kritik terhadap tradisi Islam. Kutipan tersebut diambil dari Al-Fikr al-Islami: Qiraat al-Ilmiyyah, diterjemahkan oleh Hashim Saleh pada 1990, dan ditulis penuh oleh Siti Rohman Soekarba dalam artikel Kritik Pemikiran Arab: Metode Dekonstruksi Mohammed Arkoun.

Mohammad Arkoun lahir pada 1928 di Aljazair, dan menempuh penididikan di Prancis. Melalui tulisan-tulisannya, Arkoun sering mengkritisi cara pandang tradisional terhadap teks-teks keagamaan, seperti Al-Qur-an dan fikih. Ia juga menekankan pentingnya aspek sejarah, sosial, dan budaya, dalam memahami teks-teks tersebut.

Baca Juga  Bung Karno dan Isu Keislaman

Melalui pemikirannya, Arkoun berupaya untuk membuka kembali diskursus keagamaan, yang seringkali terjebak dalam kekakuan metodologis dan normativitas hukum yang statis. Arkoun mengkritik pendekatan tradisional dalam hukum Islam, yang sering mengabaikan sejarah dan perubahan sosial yang terus berlangsung.

Kutipan tersebut secara khusus menyoroti para ahli fikih dan teolog muslim, yang telah menjadikan hukum Islam menjadi baku melalui metodologi tertentu. Ia berargumen bahwa pendekatan tersebut mengubah Al-Qur’an dari diskursus terbuka yang penuh makna mistis-majazi menjadi sekumpulan aturan kaku dan tidak fleksibel. Proses ini, menurut Arkoun, telah menghilangkan historisitas dan dinamika sosial, yang seharusnya menjadi bagian dari norma keagamaan.

Dalam ajaran Islam tradisional, menurut Arkoun, aturan-aturan fikih merupakan sesuatu yang suci dan tidak dapat diganggu gugat maupun diubah-ubah. Aturan-aturan tersebut dipisahkan dari konteks sosial, biologis, dan ekonomi yang melahirkan. Sebagai akibatnya, hukum-hukum tersebut terlihat seperti tidak terikat oleh sejarahnya, dan menjadi kaku serta sulit mengikuti perkembangan zaman.

Kritik Arkoun tersebut sejalan dengan pendekatan dekonstruksi epistemologi, sebagai upaya untuk membongkar cara pikir yang terlalu kaku dalam memahami agama Islam. Ia menyerukan reinterpretasi teks-teks keagamaan dengan mempertimbangkan dinamika sosial dan historisnya, agar norma-norma yang dihasilkan dapat lebih relevan dengan kebutuhan masyarakat modern.

Dalam hemat saya, kritik Arkoun terhadap pembakuan hukum Islam tetap relevan hingga kini. Dalam dunia Islam modern, terdapat perdebatan langsung antara kelompok yang menginginkan pembaruan dan kelompok yang masih memegang teguh pendekatan tradisional. Pemikiran Arkoun menawarkan perspektif penting untuk menjembatani kesenjangan ini. Dengan memahami hukum Islam sebagai produk dari konteks sosial dan historis tertentu, umat muslim dewasa ini dapat kembali membuka ruang dialog yang lebih inklusif dan adaptif terhadap perubahan zaman.

Baca Juga  Ketika Tuhan Dilibatkan dalam Segala Urusan Manusia di Indonesia

Sebagai penutup, kutipan Arkoun di atas mencerminkan keberanian seorang intelektual Islam kontemporer dalam mengkritik tradisi keagamaan para ortodoksi Islam. Arkoun mengajak umat Islam untuk tidak terjebak dalam kekakuan yang normatif, tetapi untuk menggali kembali makna teks-teks keagamaan melalui pendekatan yang lebih kontekstual. Dengan demikian, hukum Islam tidak saja menjadi alat regulasi semata, tetapi juga menjadi sarana untuk mewujudkan keadilan sosial yang dinamis dan relevan dengan tantangan masa kini.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *