“Tujuan pendidikan itu untuk mempertajam kecerdasan, memperkukuh kemauan serta memperhalus perasaan.” Begitulah Tan Malaka mengungkapkan esensi sebuah pendidikan, yang tergambar dalam otobiografi Dari Penjara ke Penjara.
Lebih lanjut, Tan Malaka mengungkapkan bahwa pendidikan yang dilakukan untuk mempertajam kecerdasan, memperkukuh kemauan, serta memperhalus perasaan, diharapkan dapat menciptakan generasi yang halus perasaannya, kepada segenap bangsa dan golongan apa pun.
Falsafah pendidikan Tan Malaka tersebut dilatarbelakangi oleh pengalamannya bekerja sebagai guru di sebuah perkebunan di Deli, Sumatra Timur. Selain menjadi guru, Tan Malaka juga hidup berdampingan dengan para kuli yang tertindas. Ini memunculkan gagasan pendidikan yang berorientasi kepada kaum murba.
Selain itu, kehidupan yang kontras antara para tuan kebun berbangsa Eropa dengan kuli-kuli perkebunan, yang menegaskan superioritas rasial, mengusik jiwa Tan Malaka. Perasaan tersebut ia bawa, bahkan setelah ia berhenti mengajar sebagai guru pada 1921.
Memasuki Februari tahun yang sama, dengan dukungan Semaun, Tan Malaka membangun sekolah di bawah Sarekat Islam cabang Semarang. Sekolah yang diketuai langsung oleh Tan Malaka tersebut dijalankan atas falsafah pendidikan yang dibawanya dari perkebunan Deli. Beberapa bulan setelah sekolah tersebut dibuka, sekolah-seolah Sarekat Islam lain muncul, seperti di Salatiga, Bandung, dan lainnya.
Pengalaman tersebut mendorong Tan Malaka untuk menuangkan falsafah pendidikannya lebih lanjut. Dalam brosur SI Semarang dan Onderwijs, Tan Malaka merumuskan falsafah pendidikannya menjadi tiga poin, yakni:
- Memberi senjata cukup, buat pencari penghidupan dalam dunia kemodalan (berhitung menulis, ilmu bumi, bahasa Belanda, Jawa, Melayu, dan sebagainya);
- Memberi haknya murid-murid, yaitu kesukaan hidup dengan jalan pergaulan;
- Menunjukkan kewajiban kelak, terhadap pada berjuta-juta Kaum Kromo atau rakyat kecil.
Dalam poin pertama, Tan Malaka mencoba untuk menerangkan betapa pentingnya dasar keilmuan (hard skill) untuk mencari penghidupan. Namun, sebagai guru, ia diperingatkan untuk tidak memaksakan suatu metode pengajaran tertentu pada murid-muridnya. Mereka ditugaskan untuk membantu murid menemukan cara belajar yang mereka pahami.
Dalam poin kedua, Tan Malaka menjelaskan pentingnya pengembangan minat dan bakat murid di luar pelajaran keilmuan. Ia lebih mendorong murid-muridnya untuk membuat suatu perkumpulan (vereeniging), yang nantinya dikembangkan sendiri oleh mereka. Sekolah hanya mendukung secara eksternal, sedangkan secara internal, akan diserahkan seluruhnya kepada murid. Dengan begitu, kemampuan sosial para murid, yang diperlukan sebagai sifat alami manusia, bisa terpenuhi.
Poin ketiga bukanlah poin pelengkap sebelumnya. Ia merupakan tujuan utama dari falsafah pendidikan yang digagas Tan Malaka. Tan Malaka mencoba membangun kesadaran para muridnya dengan kondisi rakyat kecil. Mereka diberi pelajaran tentang sebab-akibat munculnya kemiskinan. Selain itu, murid-muridnya terhubung langsung dengan rakyat kecil, yang nantinya disampaikan pada forum perkumpulan masing-masing.
Dapat dikatakan, falsafah pendidikan yang digagas Tan Malaka memiliki kesamaan dengan pendidikan formal saat ini. Pembangunan hard skill yang ditunjang oleh soft skill sudah menjadi dasar pendidikan dewasa ini.
Namun, kewajiban pendidikan terhadap rakyat kecil, yang menurut Tan Malaka sebagai tujuan pendidikan, sepertinya masih belum terwujud hingga hari ini. Terlebih, jika kita melihat fakta di Indonesia saat ini, kesenjangan sosial dan ekonomi semakin lama semakin besar, yang perlu segera dijembatani dengan pendidikan terhadap rakyat kecil sesuai prinsip Tan Malaka.