Wajah Jakarta yang Lain: Melihat Sejarah Kehidupan Sehari-hari yang Tercerabut

Batavia

Jakarta, yang kita bayangkan sekarang, dulu tidak lebih dari sepetak tanah selebar kulit lembu. Sebidang tanah tersebut dimiliki oleh orang asing dari negeri atas angin, diperoleh atas kebaikan masyarakat lokal Jakarta. Lambat laun, pedagang asing ini memperhalus kulit lembu sehalus mungkin sehingg abisa dibentangkan lebih lebar lagi. Tanah yang seluas kulit lembu itu, pada akhirnya, menjadi sangat luas sehingga bisa dibangun kamar dagang lengkap dengan benteng dan senjata modern.

Kisah di atas menggambarkan bagaimana orang Belanda menjejakkan kaki di Jakarta. Ia telah menjadi cerita rakyat yang berkembang di masyarakat, hingga menjadi sebuah kredo yang masyhur. Kredo tersebut berbunyi seperti Belanda minta tanah, yang berarti mengambil lebih banyak daripada yang diberikan.

Sebelum menjadi seperti sekarang, Jakarta adalah sebuah kota kolonial dengan gaya hidup indisch yang bernama Batavia. Di kota ini, Vereenigde Oost Indische Compagnie (VOC) melakukan monopoli perdagangan dengan kekuatan militer modern untuk memperoleh keuntungan sebesar-besarnya dalam hal ekonomi.

Di pusat kota Batavia, para pedagang-militer dan pegawai, yang notabene adalah orang-orang Belanda sendiri, tinggal dan hidup. Kondisi berbeda terjadi di wilayah sekitar Batavia, yang dikenal sebagai Ommelanden. Wilayah ini dihuni oleh berbagai etnik yang datang dari dalam dan luar Kepulauan Nusantara. Pada mumnya, mereka adalah para pedagang Tionghoa, bekas prajurit laskar Mataram, dan berbagai kesatuan etnik lain, seperti Bali, Ambon, Jawa, dan Sunda.

Pada awalnya, kesatuan etnik ini diberi tanah oleh VOC melalui para komandan atau pimpinan mereka masing-masing. Akan tetapi, menjelang abad XVII, mereka melebur menjadi satu. Kemungkinan besar, hal ini terjadi karena kesamaan dalam beragama.

Beberapa tahun berlalu, tepatnya pada akhir abad XIX, kota Batavia menjadi semakin luas, dengan dibukanya daerah-daerah baru untuk kepentingan pemerintah kolonial Belanda. Ia tumbuh menjadi sebuah kota modern dan multikultural.

Baca Juga  Bung Karno dan Isu Keislaman

Namun, ini menyebabkan sebuah fenomena baru. Kehadiran komunitas baru tersebut membentuk komunitas-komunitas asing, dengan corak budaya dan tempat tinggal yang berbeda-beda. Entitas-entitas budaya ini hanya bertemu jika ada kepentingan, seperti berdagang, masalah keamanan, pertukaran informasi, dan sebagainya. Penduduk Batavia, seakan-akan, berada dalam sebuah garis demarkasi, yang mengatur mereka secara sosial, politik, dan ekonomi.

Sebagai kota kolonial yang modern, pembangunan Batavia hanya dinikmati oleh golongan tertentu saja. Golongan lainnya, yakni entitas budaya selain orang Belanda, yang notabene adalah masyarakat bumiputra, membangun wilayah mereka sendiri-sendiri.

Hal ini menjadikan sejarah Jakarta sebagai sejarah tanpa rakyat. Orang bumiputra, tercerabut dari tempat tinggalnya. Mereka tersingkir, terasing, dan pada akhirnya, menjadi orang pinggiran.

Ironisnya, pola demikian masih tetap bertahan hingga saat ini. Kondisi tersebut, setidak-tidaknya, dapat kita amati melalui pameran karya seni bertajuk Jakarta Biennale 1974-2024, yang memerlihatkan mereka yang terpinggirkan.

Jakarta Biennale, sebuah perhelatan karya seni rupa kontemporer Indonesia yang digelar setiap dua tahun sekali, baru-baru ini menampilkan sebuah fragmen yang menunjukkan kehidupan sehari-hari Jakarta. Dalam foto di bawah, kita dapat melihat bagaimana masyarakat Jakarta hidup dengan dunia yang sama sekali berbeda dengan kehidupan masyarakat modern Jakarta yang kita bayangkan selama ini. Selain itu, ia juga menarasikan bagaimana sebuah kelompok subaltern bertahan hidup di tengah gemerlap kemajuan gedung-gedung yang menjulang tinggi.

Salah satu sudut pameran foto Jakarta Biennale 1974-2024, dokumentasi pribadi

Mereka, sebagai kelompok yang terpinggirkan di masa lalu, tercerabut dari tempat tinggalnya, dan terhimpit oleh berbagai tekanan ekonomi, akhirnya terpinggirkan. Jakarta Biennale memperkuat narasi, bahwa Jakarta masih menjadi sejarah tanpa rakyat.

Melihat Jakarta melalui Narasi Foto

Dalam artikel Menulis kehidupan sehari-hari Jakarta: Memikirkan kembali sejarah sosial Indonesia, Bambang Purwanto menemukan bahwa sejarah Jakarta selama ini hanya dicatat sebatas dokumentasi untuk menggambarkan kebesaran kota tersebut pada masa silam. Ia hanya memuat kisah para landhuizen para saudagar dan birokrat masa Belanda, atau gedung pencakar langit yang berdiri kokoh hari ini. Padahal, di daerah pinggiran kota, terdapat komunitas yang hidup dalam bayang-bayang kemiskinan dan keterpinggiran.

Baca Juga  Hari Kebangkitan Nasional, Lebih Tua atau Lebih Modern?

Kehadiran komunitas yang hidup berdampingan dengan kemiskinan dan keterpinggiran ini bukanlah fenomena baru. Dalam laporannya, para gubernur jenderal era Hindia Belanda menyatakan bahwa mereka pernah melakukan kunjungan ke kampung-kampung kumuh Batavia, setidak-tidaknya sejak 1920-an.

Hal ini menunjukkan bahwa keberadaan kampung kumuh sudah ada dalam catatan historis. Menurut foto dan lukisan dari abad XIX, Jakarta adalah kota yang tidak ditata sedemikian rupa, membuatnya tampak menarik. Jakarta yang semrawut tumbuh menjadi kota multikultural, yang dipisahkan oleh pemerintah kolonial secara sosial. Meski begitu, menurut Bambang Purwanto, masyarakat Jakarta disatukan oleh kebutuhan akan air, dalam hal ini keberadaan kanal dan sungai.

Jembatan dan perumahan warga Tionghoa di Kali Besar, Batavia (c. 1929), courtesy of Leiden University Library Digital Collections

Susan Abeyasekere, dalam buku Jakarta: A History, menjelaskan bahwa sekitar tahun 1850-an hingga 1900, orang Betawi yang tinggal di kampung-kampung di tengah kota Batavia mandi dan melakukan aktivitas di Sungai Ciliwung. Dalam narasi foto tahun 1900-an, diperlihatkan bagaimana penduduk yang tinggal di sekitar Glodok—tempat sebagian masyarakat Tionghoa bermukim—membangun kakus di atas kanal. Ini menunjukkan fungsi kanal atau sungai sebagai bagian dari kehidupan sehari-hari di Jakarta, entah untuk mandi, mencuci pakaian, bahkan buang hajat.

Sejak akhir abad ke-19, sungai dan kanal-kanal kecil menjadi bagian yang amat dekat dengan kehidupan sehari-hari di Jakarta. Kedekatan masyarakat Jakarta dilakukan oleh hampir seluruh kelompok sosial yang tinggal di wilayah tersebut, mulai dari bumiputra, Tionghoa, Arab, hingga Eropa. Ini menunjukkan bahwa Jakarta tidak melulu soal bangunan kolonial yang estetik dan modern.

Sudut kota Batavia (c. 1915), courtesy of Leiden University Library Digital Collections

Tema ini merupakan fakta historis yang jarang disorot, dan akhirnya tercerabut dari narasi besar Jakarta. Kehidupan sehari-hari di Jakarta pada akhir abad ke-19 hingga awal abad ke-20, melalui interpretasi foto yang diproduksi pada rentang waktu 1900 hingga 1930, menunjukkan peran sungai dank anal-kanal kecil sebagai bagian dari kehidupan sehari-hari di Jakarta. Sebagai sebuah narasi yang terpinggirkan, ini menunjukkan bahwa Jakarta dapat diibaratkan sebagai sebuah monster yang suka meminggirkan hal-hal yang dirasa tidak elok untuk dilihat.

Kini, sungai-sungai di Jakarta tidak lebih dari sebuah representasi dari kemiskinan dan kekumuhan. Sesuatu yang begitu penting pada masa kolonial, kini berganti makna pascakemerdekaan.

Baca Juga  Menyusuri Jejak Romantis Bus di Terminal Kampung Melayu

W.S. Rendra pernah mengatakan, bahwa Sungai Ciliwung adalah teman segala orang miskin. Seperti ini, mungkin, sifat Jakarta yang membuang, meminggirkan, dan menyingkirkan apa-apa yang tidak elok dipandang, baik itu sungai, entitas budaya yang tidak modern, hingga orang-orang yang tidak merepresentasikan keelokan kota Jakarta.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *