Masa Revolusi (1945-1949) menjadi sebuah masa yang penting dalam historiografi Indonesia. Masa ini dianggap sebagai masa yang penting, karena dalam periode yang cukup singkat tersebut, terjadi banyak peristiwa penting, seperti Proklamasi Kemerdekaan, Agresi Militer Belanda I dan II, serta Konferensi Meja Bundar.
Secara sosial, terjadi perubahan-perubahan sosial dan politik yang sangat radikal pada masa Revolusi. Salah satunya adalah perubahan tatanan sosial dan politik kerajaan-kerajaan lokal, baik besar maupun kecil yang ada di Indonesia. Pada masa inilah, kerajaan-kerajaan lokal harus menentukan apakah mereka ingin mendukung Republik atau Belanda.
Kisah Yogyakarta
Ketika Prokalamasi dikumandangkan, tidak semua wilayah di Indonesia mengetahui bahwa Indonesia telah memproklamasikan diri sebagai negara yang merdeka. Banyak kerajaan lokal masih berada dalam wilayah kekuasaan mereka masing-masing. Salah satu dari kerajaan-kerajaan tersebut adalah Kasultanan Yogyakarta. Kasultanan Yogyakarta memutuskan untuk menjadi bagian Indonesia pada September 1945.
Yogyakarta, yang dipimpin oleh Hamengku Buwono (HB) IX saat itu, memilih bergabung kepada Republik daripada kembali berada di bawah pemerintah Belanda. Keputusan tersebut memiliki landasan historis sejak sebelum masa Revolusi. Sebelum naik takhta, HB IX menjadi mahasiswa yang menempuh studi di Belanda. Ketika HB VIII mangkat, ia menjadi penguasa Yogyakarta. Hingga Jepang datang pada 1942, HB IX belum pernah menandatangi kontrak politik dengan Residen Yogyakarta, karena ia lebih memikirkan rakyatnya dibanding kontrak politiknya.
Posisi Yogyakarta menjadi bagian Republik Indonesia semakin kuat dengan ditetapkannya wilayah tersebut sebagai ibu kota negara pada 3 Januari 1946. Selain menjadikan wilayah kekuasaannya sebagai ibu kota negara, HB IX juga menyumbangkan uang sebesar f 6.000.000 kepada Republik..
Ketika Agresi Militer Belanda II dilancarkan pada Desember 1948, yang menyebabkan para pemimpin Indonesia ditangkap dan dibuang ke Bangka, HB IX masih memiliki peran penting sebagai Menteri Keamanan. Ia juga menjadi penggagas Serangan Umum 1 Maret 1949 yang menjadi tonggak penting dalam sejarah Indonesia (Margana dkk., 2022).
Gejolak Kerajaan-Kerajaan Bali
Jika perjalanan Kasultanan Yogyakarta bergabung dengan Republik bisa dikatakan mulus, dinamika kerajaan-kerajaan lokal di Bali justru penuh dengan konflik. Bali, yang terpecah menjadi delapan daerah swapraja dan puluhan puri yang berukuran kecil, saling berkonflik satu sama lain, memihak Belanda maupun Republik.
Dua dari tiga puri yang ada di Denpasar, yakni puri Pemecutan dan puri Satria, saling berebut pengaruh. Sebelum Revolusi, puri Satria adalah penguasa kawasan ini. Akan tetapi, pada masa Revolusi, kekuasaan puri Satria melemah karena sikap puri yang tidak menolak dengan adanya gerakan Republiken di Denpasar. Pada 1946, kekuasaan di Denpasar kemudian berhasil diambil oleh puri Pemecutan karena pihak Pemecutan mendapatkan bantuan dari NICA (Robinson, 1988).
Wilayah lain yang bergejolak di Bali adalah puri Agung Gianyar. Kawasan ini bukanlah kawasan yang memiliki pendukung kelompok Repbuliken. Bahkan, kawasan ini memiliki organisasi sendiri dengan nama “Pemuda Pembela Negara”, milisi kaki tangan NICA untuk mempertahankan kekuasaan kerajaan dan kolonial di Bali. Penciptaan “Pemuda Pembela Negara” membuat Ida Anak Agung Gde Agung ditolak menjadi Duta Besar Indonesia untuk Belgia pada masa berikutnya, menorehkan citranya sebagai pendukung “NICA Gandek” (Suara Indonesia, 10 Oktober 1950).
Untuk memperkuat kekuasaan kerajaan dan memperlemah gerakan Republiken di Bali, kerajaan pro-NICA membentuk pasukan milisi. Milisi seperti “Badan Pembasmi Peroesoeh” dan “Gadjah Merah” menjadi tameng utama konflik Bali vs Bali, antara pasukan pro-Belanda dan pro-Republik.
Walaupun masa Revolusi Bali penuh dengan konflik dan kontestasi kekuasaan antar-puri, sebagian besar puri masih tetap eksis karena adanya kekuatan sosio-kultural antara penguasa pada masyarakatnya, sehingga tidak benar-benar hilang tanpa jejak (Robinson, 1992).
Ditelan Api Revolusi Sosial
Jika kerajaan-kerajaan lokal di Bali masih tetap bertahan, nasib berbeda justru dialami kerajaan-kerajaan lokal di Sumatera Timur dan “Tiga Daerah” (Brebes, Tegal, dan Pemalang). Revolusi sosial yang berkobar pada masa Revolusi di wilayah-wilayah tersebut memaksa kerajaan-kerajaan lokal untuk kehilangan pengaruh dan menghilang.
Revolusi Sosial dikobarkan oleh kaum revolusioner yang ingin mengganti tampuk pemerintahan yang dikuasai bangsawan, seperti sultan dan bupati, yang telah menjabat sejak masa kolonial. Mereka menculik, menyiksa, dan membunuh para bangsawan untuk menggantikan posisi mereka dengan orang-orang baru yang mereka anggap benar-benar terpisah dari ikatan kolonial sebelumnya. Contoh terkenal dari Revolusi Sosial adalah tewasnya Amir Hamzah di Sumatera Timur, dan penculikan Kardinah, adik R. A. Kartini, oleh gerombolan Kutil di Tegal (Reid, 1974; Lucas 1989).
Referensi
[1] Anderson, Benedict. 1972. Java in a Time of Revolution: Occupation and Resistance, 1944-1946. Ithaca: Cornell University Press.
[2] Lucas, Anton E. 1989. Peristiwa Tiga Daerah: Revolusi dalam Revolusi. Jakarta: Pustaka Utama Grafitti.
[3] Kahin, George McTurnan. 1995. Nasionalisme dan Revolusi di Indonesia: Refleksi Pergumulan Lahirnya Republik. Jakarta: Pustaka Sinar Harapan.
[4] Reid, Anthony J. S. 1974. Indonesian National Revolution 1945–1950. Victoria: Longman.
[5] Ricklefs, M. C. 2008. Sejarah Indonesia Modern 1200 – 2008. Jakarta: Serambi.
[6] Robinson, Geoffrey. 1988. “State, Society, and Conflict in Bali 1945–1946” dalam Indonesia. Vol. 45. No. 3.
[7] Robinson, Geoffrey. 1992. “The Politic of Violence of Modern Bali 1882–1966”. Disertasi. Cornell University. Itacha.
[8] Sri Margana dkk. 2022. Naskah Akademik Serangan Umum 1 Maret 1949 sebagai Hari Nasional Penegakan Kedaulatan Negara. Yogyakarta: Dinas Kebudayaan DIY.
[9] Suara Indonesia, 10 Oktober 1950.