Relevansi Sejarah bagi Generasi Masa Kini

KIRANYA tidak bisa dipungkiri lagi, bahwa manusia masa kini hampir-hampir sampai pada kehidupan yang sulit dikenali. Penggebrakan dalam bidang ilmu pengetahuan dan teknologi menjadikan manusia terkotak dalam sikap hidup yang agresif, apatis, dan buas. Sikap hidup yang demikian itu tidaklah khayal lagi, jika mendominasi masyarakat kita, sebab hukum alam telah membawa manusia ke dalam jaman yang mencuat ke strata klimaks. Ini merupakan proses perjalanan sejarah yang menapaki waktu serta perkembangan evolusi kehidupan di bumi ini. Sejarah menembus ruang dan waktu bergerak tanpa kendali yang pasti. Semua memori esensial manusia direkamnya, dan lipatan-lipatan kejadian ditelannya tanpa mengenal lelah. Ia menerjang terus dari masa silam ke masa kini dan masa yang akan datang.

Sejarah bukanlah mitos, khayalan atau dongeng, tetapi merupakan refleksi atau penggambaran terhadap peristiwa masa lampau, masa kini, bahkan terkait ke masa datang. Dalam hal inilah diperlukan adanya kesadaran kaum intelektual dan sejarawan khususnya, untuk dapat menerangkan proses perjalanan dan kebenaran sejarah kepada masyarakat secara ilmiah dan hidup. Salah satu tujuan orang mempelajari sejarah adalah untuk mengetahui gambaran masa lalu guna kepentingan masa kini dan yang akan datang. Meneliti peristiwa masa lampau bukan untuk memberikan jawaban kepada kepentingan masa lampau itu sendiri, tetapi untuk kepentingan masa sekarang; mengingat masa lampau itu sendiri tidak pernah terbentang dihadapan kita.

Di negeri kita pernah terdengar kritik-kritik yang ditujukan kepada ilmu sejarah, karya sejarah dan pengajaran sejarah mulai dipertanyakan. Sebagai salah satu bentuk kritik tercermin pada sebuah ungkapan yang menyatakan adanya “pemalsuan sejarah” dan “tiadanya kemurnian karya sejarah”. Juga betapa banyaknya kekeliruan yang terdapat dalam karya sejarah yang berupa buku pelajaran. Apakah kekeliruan itu berupa bukti atau fakta sejarah yang diungkapkan, keterangan tentang itu, atau tedapatnya tafsiran yang kurang didukung oleh fakta yang tidak direkonstruksi secara jelas.

Courtesy of Freepik

Sejarah sebagai fakta memang ada yang punya. Sejarah kebangsaan milik setiap warga negara yang mencintainya, menjadi kebanggaan dan sumber ilham bagi perjuangan selanjtnya. Sejarah kebangsaan tampaknya juga tak dapat dilepaskan dari sejarah dunia, sejarah yang menyangkut bangsa lain. Pemilik sejarah, warga negara yang patriotik dan nasionalis akan menjadi marah manakala penguasa atau penulis sejarah menulis sejarah bukan sebagai fakta, tetapi sebagai rekaan guna melanggengkan kekuasaan ataupun untuk menutup malu atas segala tindakan di masa lalu. Tindakan-tindakan suatu bangsa yang kurang terpuji di masa lalu, juga tindakan-tindakan yang menyakutkan bangsa lain belum tentu tanggungjawabnya dapat disorongkan begitu saja kepada para warga bangsa itu yang hidup sekarang, dan kepada pemerintah yang kini berkuasa. Jika kita memandang suatu bangsa sebagai suatu kesatuan dan kontinuitas, kita akan cenderung menuding bangsa, negara, dan pemerintahan yang sekarang kita hadapi sebagau “peserta tidak langsung” dari tindakan-tindakan masa lalu. Lebih-lebih lagi kita berpegang pada ungkapan “In het heden ligt het verleden, in het nu wat komen Zal” (“Dalam masa sekarang terletak masa lalu, di masa kini terkandung masa datang”). Sebagai contoh dapat dikemukakan perkembangan bangsa Belanad sekarang, kiranya mendapat pengaruh juga dari faktor – faktor masa lalu yang berkaitan erat dengan kedudukan mereka sebagai penjajah, keuntungan dulu yang mereka peroleh sedikit banyak ada manfaatnya bagi perkembangan yang berlanjut sampai sekarang.

Baca Juga  Agama dan Konflik Sosial

Bagaimanapun setiap manusia atau setiap bangsa ingin menampilkan dirinya dalam konteks kontinuitas dengan masa lalu yang dapat dibanggakan.  Ia juga mendambakan perkembangan yang cerah di masa depan sebagai kelanjutan dan peningkatan masa kini. Oleh karena itu orang cenderung menyusn riwayat hidup dan silsilah yang tidak sesuai dengan kenyataan. Semuanya dibuat mengesankan, serba mengagumkan, bersih dan cemerlang.

Kalau cerita sejarah diterima sebagai gambaran mengenai kontinuitas dana rah gerak perkembangan kehidupan bersama manusia, maka cerita itu tentunya harus didasarkan atas fakta yang telah teruji kebenarannya. Kerap kali terjadi, belum semua sumber dapat dikuasai atau didapat oleh penyusun cerita sejarah, oleh karena itu si penyusun harus dengan jujur mengemukakan kekurangan itu. Sehuungan dengan kemungkinan masih akan ditemuinya sumber-sumber baru, maka setiap cerita sejarah selalu terbuka untuk ditinjau kembali. Oleh karena itu kiranya tidaklah terlalu menyimpang ungkapan seorang sejarawan yang mempunyai nama internasional yaitu Prof. Dr. Sartono Kartodirdjo, bahwa setiap generasi perlu menulis sejarahnya kembali. Penilaian, penglihatan dan sudut tinjauan yang baru akan menghasilkan gambaran-gambaran baru pula dari masa lampau itu sendiri, oleh karena itu selalu timbul keperluan untuk mengadadakan penulisan sejarah kembali.

Courtesy of Freepik

Pernyataan yang ditampilkan sebagai fakta, merupakan istilah yang rupanya mengacu pada sesuatu yang amat penting dalam usaha pengkajian dan penulisan sejarah. Fakta adalah pernyataan, suatu kalimat atau uraian yang menggambarkan suatu kenyataan. Tetapi fakta bukanlah kenyataan itu sendiri, melainkan sesuatu yang dinyatakan dengan kata-kata, merupakan deskripsi dari kenyataan bersangkutan. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa fakta sejarah merupakan suatu pernyataan yang menggambarkan kenyataan tertentu di masa lampau, sesuai kenyataan dan merupakan penggambaran atas beberapa unsur pilihan. Tanpa adanya fakta sejarah, tak mungkin diadakan penulisan sejarah. Pengetahuan tentang kenyataan yg erwuju dalam masa lampau adalah sangat terbatas, meskipin kadang-kadang terdapat kesan seolah-olah kita terpendam dan dibanjiri oleh penegtahuan masa lampau. Tidak ada peristiwa sejarah yang menghasilkan gambaran yang sungguh-sungguh lengkap. Gambaran suatu peristiwa sejarah dapat dibuat lebih lengkap dari semual, tapi tak bisa dibuat lengkap sama sekali, mengingat pengamatan manusia terhadap suatu kejadian terbatas pada ruang dan waktu.

Baca Juga  Sekali Lagi tentang Humaniora

Bukan rahasia lagi bahwa pengajaran sejarah di negeri kita ini mengalami beberapa hambatan dan kepincangan, bahkan ada sejarawan yang mengatakan bahwa situasi kini memang betul-betul memprihatinkan. Dr. Taufik Abdullah pernah menyatakan dalam makalahnya yang berjudul : Berbagai Aspek Penulisan Buku Pelajaran Sejarah; bahwa pengajaran sejarah lewat buku-buku sejarah kurang representatif dan dan komunikatif. Apalagi jika ditinjau dari segi estetis. Kalau ditinjau dari segi teknis penyajiannya, Dr. Taufik menemukan berbagai kelemahan antara lain : (1) Percampuradukan dimensi waktu (Anakronisme), (2) Generalisasi yang berlebihan (Overgeneralisasi), (3) Konsistensi yang tidak terjagai; (4) kesalahan factual, (5) Logika kesejarahan yang tidak tepat, (6) Bahasa Indonesia yang tidak selalu jelas.

Melihat kenyataan di atas, kita dapat bayangkan bagaimana akibatnya jika para siswa menerima informasi-informasi sejarah yang diliputi kekacauan dalam berbagai segi. Dr. Taufik sendiri berpendapat, bahwa butir pertama dan kedualah yang paling menonjol kelemahannya. Padahal penulisan fakta sejarah yang tidak kronologis (sesuai dengan urutan waktu) akan cukup membingungkan. Cara yang demikian juga akan dapat memutarbalikkan dan merusak esensi sejarah, sehingga “pengertian” fakta sejarah ditangkap secara salah oleh para siswa. Percampuradukan dimensi waktu yang demikian itu sekaligus akan menyebabkan terjadinya overlepping[overlapping, sic] facts, yaitu penulisan fakta sejarah yang tumpeng tindih. Penulisan yang kronologis akan mendukung tercapainya kebenaran logika sejarah. Dari kebenaran ini manusia akan tahu dan menyadari bahwa dunia ini terus melangkah maju dan berubah, dunia ibarat roda yang berputar. Heraklitos pernah berkata, bahwa kehidupan di dunia ini berkembang dalam proses yang berkesinambungan dalam tiga dimensi waktu itu ; lampau, kini, dan yang akan datang. Untuk itu tugas sejarah adalah memberikan semacam sinyal agar setiap generasi siaga menerima jamannya. Jelaslah bahwa untuk siaga dan membangun kehidupan kini, kita tidak bisa berpijak pada kekeliruan dan kepalsuan.

Courtesy of Freepik

Segala yang ditulis oleh sejarawan bukan merupakan hasil pengamatan langsung atas peristiwa masa lalu, melainkan berasal dari informasi-informasi yang terdapat dalam sumber sejarah. Kadang kala banyak kita temui jalan buktu karena kurang jelasnya informasi yang kita terima. Prasasti, dokumen, arsip sejarah dan sebagainya banyak yang kita tidak mengerti karena kesulitan masalah bahasa yang digunakan dalam bahan-bahan itu. Atau para penulis pada waktu itu tidak bebas menuliskan apa yang terjadi karena adanya alasan-alasan tertentu. Misalnya adanya unsur subyektivitas, adanya ikatan kelompok lain dan sebagainya.

Sejarah dapat juga dikatakan sebagai hasil interpretasi,tetapi dalam mengadakan interpretasi sejarah, orang harus berpatokan ilmiah dan berpegang pada konsep serta metode sejarah yang bisa dipertanggungjawabkan. Penulisan sejarah yang tanpa ketelitian, kecermatan analisa, logika metode ilmiah serta kelengkapan sumber yang benar, maka sejarah akan terancam bahaya kepalsuan, dan kepalsuan sejarah akan dapat menjermuskan generasi kemudian.

Baca Juga  “Rethinking” Jabatan Wakil Kepala Daerah

Sejarah bukan dongeng, namun proses fakta yang harus didukung oleh adanya sifat ilmiah, akali-rasional[sic]. Sebab hal itu merupakan syarat esensial bagi ilmu pengetahuan. Jadi penulisan sejarah harus mampu menggambarkan kejadian yang berproses itu secara kausatif. Yaitu hubungan sebab akibat dari apa yang menjadi sebab dengan apa yang terjadi sebagai akibat dari penyebab itu.

Jika pendidikan masih diartikan sebagai proses sosialisasi manusia, maka proses itu juga akan mengikuti peredaran waktu serta perkembangan segala sesuatu yang terjadi atas waktu itu, yaitu ilmu penegtahuan. Proses sosialisasi ini bertujuan untuk meningkatkan kualitas manusia secara keseluruhan. Untuk menjadi manusia yang berkualitas, maka manusia muda harus dibimbing untuk mempelajari ilmu pengetahuan yang telah ada dan kalau mungkin diajak belajar menciptakan sesuatu yang baru. Sejarah bukan sebagai bahan hafalan belaka, sejarah selalu dituntut supaya bisa melahirkan kesadaran, pandangan, inspirasi baru bagi generasi yang menekuninya, dan memang itulah fungsi mempelajari ilmu sejarah.

Courtesy of THISDAYLIVE

Apapun jalan yang ditempuh, semuanya ini sebagai adaptasi secara ilmiah terhadap perubahan dan perkembangan aman, sehingga perkembangan ilmu sejarah senantiasa relevan dengan tuntutan generasi masa kini yang hidup di jaman modern. Stimulasi-stimulasi terhadap generasi muda untuk akrab dengan ilmu pengetahuan adalah untuk menciptakan iklim prakondisi pendidikan, sehingga nantinya pendidikan mempunyai garis tegas dalam memenuhi fungsi dan tugasnya. Lewat sistem pendidikan suatu bangsa mengalihkan warisan kebudayaannya terhadap generasi berikut. Di sini terlihat kaitan erat antara citra kemanusiaan, pendidikan dan kebudayaan. Upaya pendidikan agar manusia menguasai pengetahuan merupakan titik sentral dalam kegiatan pendidikan, sebab pembentukan pola sikap dan pola tindak dapat dilakukan sejalan dengan penguasaan pengetahuan tersebut. Pada kurun waktu tertentu, terutama sejak abad pertengahan sampai permulaan abad kedua puluh, orang sangat mementingkan pendidikan humaniora. Pendidikan humaniora pada dasrnya ditekankan kepada pembentukan manusia budaya. Manusia budaya ini dalam kurun waktu tersebut, dianggap lebih terpelajar dari pada mannusia ahli, manusia merupakan produk dari proses pendidikan yang mementingkan pendidikan dalam bidang keilmuan. Dalam bahasa Yunani dahulu kala kata paideia yang sebetulnya berarti pendidikan disamakan dengan kebudayaan. Manusia yang terdidik ialah manusia yang berbudaya. Juga pada jaman Yunani klasik gambaran mengenai manusia ideal dirumuskan dengan istilah “kalos kagathos” (manusia yang mempunyai cita rasa yang halus dan yang berbudi luhur), sedangkan nilai pokok yang ingin mereka salurka lewat pendidikan dirumuskan sebagai “kaloskagathia”, yaitu kemanusiaan yang paripurna, yang serba bisa, yang secara seimbang mengembangkan cipta, rasa dan karsa.

Sumber:
Wayan Tagel Eddy. “Relevansi Sejarah bagi Generasi Masa Kini” dalam Bali Post. 8 Mei 1985. hlm. 4 & 12.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *