Dalang Sebagai Monoaktor

/1/

Saya harus memberikan catatan lebih dahulu bahwa kesenian wayang dan dalangnya bukanlah khas kebudayaan Bali. Wayang adalah kebudayaan Nusantara. Ini berarti daerah-daerah lain di Nusantara juga mengenal wayang. Brandes pernah mengatakan, sebelum datangnya pengaruh Hindu ke Nusantara (Indonesia) orang Indonesia telah mengenal berbagai bentuk kebudayaan asli, antara lain wayang. Maka saya perlu menegaskan tinjauan ini bertitik tolak dari wayang Bali, yang dalam beberapa aspek berbeda dengan wayang di daerah lain.

Wayang tak bisa dipisahkan dari dalang (orang yang mementaskan wayang). Bila dalang dianggap seorang aktor atau aktris kalau wanita, maka apakah sesungguhnya aktor itu. Kamus Besar Bahasa Indonesia menyebutnya : “pria yang berperan di atas pentas, di radio, televisi atau film” (1988, hlm. 17). Intinya ialah orang (laki) yang memerankan seorang tokoh dalam sebuah pertunjukan. Jadi Tambayong dalam bukunya Dasar-dasar Dramaturgi lebih menegaskan lagi sosok seorang aktor dengan mengutip pendapat Oscar G. Brockett sbb. : “Ia adalah salah seorang di antara para seniman yang secara asasi tak bisa bekerja terpisah dengan dirinya sendiri, karena karya seninya diciptanya melalui tubuh dan suara serta jiwa dan hal-hal yang menyangkut soal rohaniahnya” (1981, hlm. 88). Berdasarkan batasan itu jelaslah seorang dalang adalah seorang aktor meskipun wujud cipta seninya melalui gerak tubuh tidak tampak kasat mata.

Wayang kulit, courtesy of Historia

Dalam wayang Bali dalang jelas sebagai aktor tunggal, karena dalam pertunjukan wayang Bali dalang sama sekali tanpa pembantu dalam memainkan wayangnya. Dua orang pembantu yang duduk di sebelah kiri dan kanannya hanyalah pembantu “servis”, bukan pembantu dalam konteks pementasan yang ikut memainkan wayang. Karena itu dalang adalah monoaktor yang berpentas dengan cara monoplay.

/2/

Sebagai aktor dalang tidak bermain langsung di hadapan publiknya. Kondisi ini tidak memberikan ruang kemudhan bagi seorang dalang. Malahan dalam beberapa aspek menimbulkan kesulitan/kendala. Untuk mengatasi kendala itu seorang dalang harus mengerahkan daya keaktorannya.

Tugas utama dalang adalah memainkan wayang dari balik layar. Memainkan yang tidak sekedar menggerakkan wayang tetapi mewujudkannya dan membawa tokoh-tokoh pewayangan itu ke dalam sebuah arena pentas lalu menghidupkannya dalam gerkan teateral. Seluruh tokoh dibangkitkan, sehingga timbul kesan tokoh-tokoh wayang itu adalah sosok persona, bukan boneka kulit. Dalam kerangka inilah dalang bertindak sebagai aktor.

Sebagai aktor dalam kenyataannya seorang dalang memang hanya duduk bersila di belakang tabir sambil memainkan wayangnya. Namun seluruh kecakapan dan ketrampilannya sebagai aktor diungkapkan melalui tokoh-tokoh wayang yang dimainkan.

Ilustrasi seorang dalang sedang melakukan pementasan, courtesy of Tribunnews

Dalam memainkan wayangnya, terutama gerakan-gerakan tari, dalang melakukannya dengan mood seorang penari yang tampil di panggung. Pikiran dan perasaan dalang ikut menari bersama tokoh wayang yang dimainkannya. Hanya dengan demikian gerak permainan wayang menjadi bertenaga.

Baca Juga  Makepung, Tradisi Balap Kerbau Khas Bali

Seorang dalang menemui kendala permanen dalam mentransfer gerak teateralnya ke dalam wayang. Komposisi tangan manusia jauh berbeda dengan komposisi tangan wayang. Sedangkan fokus gerak tari terletak pada tangan. Dibagian ini seorang dalang harus kreatif menciptakan model-model gerak dengan pedoman gerak tari yang telah dikuasainya, kemudian disesuaikan dengan kondisi komposisi fisik wayang.

Dialog dan watak merupakanua hal yang saling berhubungan dalam pertunjukan wayang. Watak tokoh-tokoh wayang telah diwujudkan secara permanen melalui ciri-ciri fisik wayang. Secara garis besar watak tokoh-tokoh wayang dibedakan menjadi dua macam yaitu keras dan lembut (halus). Atas dasar dua macam watak inilah diciptakan gaya dialognya. Tokoh keras bersuara rendah dan keras, sedangkan tokoh halus bersuara tinggi tapi lembut.

Bima, karakter wayng dengan suara dan perawakan keras, courtesy of Wikipedia

Dalam mewujudkan watak dan dialog ini dalang menjadi lebih dekat dengan kegiatan teater dengan bertindak sebagai aktor tunggal. Ia harus trampil dan cepat mengubah nada suara jika seorang tokoh keras sedang berdialog dengan tokoh halus. Hal ini berlaku dalam semua bentuk dialog (percakapan, perdebatan, pertengkaran, percintaan). Untuk melakukan hal ini seorang dalang harus bertindak sebagai aktor. Ia harus menghayati watak tokoh-tokoh wayang dengan baik, jika perlu membayangkan dirinya sebagai tokoh yang dimainkan. Dengan demikian dialog dapat diucapkan dengan tepat sesuai dengan watak tokoh. Di sinilah potensi seorang dalang dituntut sebagai monoaktor karena ia harus memerankan puluhan watak yang berbeda dalam satu periode waktu. Ia hanya berpegang dan dibantu oleh sebuah prinsip sederhana dari watak tokoh-tokoh wayang itu keras dan halus.

Keberhaslan seorang dalang mentransfer gambaran watak dan mengungkapkan dialognya ke dalam wayang yang dimainkan, merupakan wujud kecakapan dan ketrampilan seorang aktor pentas. Namun di Bali kondisi itu tak sekedar ciri ketrampilan seorang aktor, tetapi ada kekuatan spiritual tersirat di dalamnya yang disebut taksu. Kekuatan taksu inilah menuntun sang dalang menuju kesuksesan pementasan.

Mengubah gaya dialog dengan jarak waktu yang sangat singkat juga merupakan perjuangan berat seorang dalang. Dalang harus berkonsentrasi penuh pada setiap tokoh yang diperankan. Namun ia tidak boleh larut agar dapat mengubah suasana dengan cepat bila ia harus memerankan tokoh lain. Dalam hal ini dalang juga dituntut memiliki vokal prima. Sebab berubahnya nada ucapan akan membantu berubahnya suasana.

Ilustrasi seorang dalang. Dalam pementasan wayang, seorang dalang merupakan aktor yang memainkan suara dan ekspresi boneka kulit yang mereka mainkan, courtesy of Tribun Bali

Seorang aktor drama yang trampil dapat mengekspresikan segala kemampuannya di atas panggung atau arena langsung di depan mata penonton/pengamat. Jika ia cakap dan trampil penampilannya pasti sukses karena alat ekspresinya adalah jiwa raganya sendiri yang berada langsung di depan publik. Di lain pihak seorang dalang sebagai aktor dituntut berbuat sama dengan media wayangan[wayangnya?] dari balik tabir. Ia hanya menggantungkan diri pada dialog dan menyesuaikan dengan watak tokoh-tokoh wayangnya. Jika dialognya gagal kemungkinan besar permainan wayang pun akan gagal. Terlepas dari masalah taksu seorang dalang tidak mungkin mentransfer dengan penuh seluruh keaktorannya ke wayang yang dimainkan.

Baca Juga  Hippies dan Perjalanan Pariwisata di Bali pada 1970-an

Mengenai sukses gagalnya pertunjukan wayang Margaret Eiseman dalam buku Bali Sekala & Niskala mengatakan : “Sukses atau gagalnya pertunjukan wayang tergantung sepenuhnya di tangan dalang. Ia harus memainkan selusin lebih karakter tokoh dan trampil menguasai ceritera”. (terjemahan langsung dari : Fred B. Eiseman Jr., Bali Sekala & Niskala, 1989, hlm. 323). Pengekspresian karakter tokoh-tokoh itu hanya mungkin lewat dialog. Hanya dialog yang bisa didengar dan bayangan wayang yang bisa dilihat oleh penonton.

/3/

Keaktoran seorang dalang – yang telah jelas sebagai monoaktor – harus pula ditunjang oleh ketrampilan lain demi bobot kualitasnya sebagai dalang.

Perama, dalang mestinya seorang sastrawan. Ia harus menguasai babon ceritera (Ramayana dan Bharata Yuda) dengan baik. Dari babon ini diambil fragmen-freagmennya[fragmen-fragmennya, sic] secara utuh, atau diolah menurut imajinasi sang dalang sesuai dengan kepentingan dan tujuan pementasan. Dalam mengolah fragmen-fragmen itu kerja seorang dalang tidak berbeda dengan seorang sastrawan pada saat mencipta. Ia bukan “menceriterakan kembali” melainkan “mencipta kembali” dengan kreatif. (dr.[Dr., sic] I Made Bandem, Wimba Wayang Kulit Ramayana, 1981/1982, hlm. 9).

Dalang sebagai sastrawan bukan saja kreatif dalam mengolah ceritera, tetapi juga seorang pengapresiasi dan penutur piawai. Covarrubias dalam Island of Bali mengatakan : “The dalang is an artist and a great spiritual teacher. Years of training, a thorough knowledge of the stories and their moral value, are required of a good dalang”. (1976, hlm. 237). Dalam diri seorang dalang kemampuan mencipta dan mengapresiasi karya sastra berjalin dengan utuh. Pemahaman seorang dalang terhadap ceritera yang dilakonkan tidak terbatas pada pemahaman dan penghayatan tekstual dan alurnya saja, tetapi jauh ke balik strukturnya yang tersurat; yaitu nilai filsafat ceritera itu.

Seorang dalang cilik sedang memainkan wayang kulit, courtesy of Suara Merdeka Muria

Dari aspek dialog[,] pementasan wayang mirip opera.  Dialog dan tembang muncul silih berganti. Untuk kepentingan ini seorang dalang dituntut menguasai seni suara (tembang) dengan baik. Ia tak hanya pandai menyanyikannya, tetapi juga menguasai secara luas jenis-jenis dan tema tembang untuk dipilih dalam setiap adegan. Jenis dan tema tembang pun disesuaikan dengan watak dan tokoh-tokoh wayang serta adegan yang sedang berlangsung.

Baca Juga  Agama dan Masa Depan Manusia

Dalang juga seorang musikus. Minimal ia menguasai tabuh-tabuh gender yang mengiringi pertunjukan wayang. Dalam hal ini seorang dalang tampil sebagai pemimpin musik yang mengiring pementasannya sendiri. Maka di samping “ketunggalannya” sebagai aktor sekaligus dalang menjadi peminpin[pemimpin, sic] musik ilustrasi dari pentas wayangnya sendiri.

Kemampuan lain pun masih harus dimiliki oleh seorang dalang. Seperti diungkapkan oleh Margaret Eiseman dalam buku Bali Sekala & Niskala, seorang dalang seyogianya berbadan sehat dan memiliki stamina kuat agar tahan duduk (sambil mementaskan wayang) antara tiga sampai enam jam. Ia pun harus menguasai bahasa Kawi (bahasa sastra Jawa Kuno) dan bahasa Bali dengan aktif; kaya dengan kosa kata dan variasinya. (1989, hlm. 323).

Dilihat dari ketrampilan yang mesti dikuasai, pengetahuan yang harus diraih dan segala tindakan yang harus dilakukan selama mementaskan wayang, seorang dalang adalah aktor tunggal bersosok kompleks. Berbagai hal yang kadang-kadang bersifat paradoks harus dilakukannya pada saat yang sama. Tapkannya[Tampaknya, sic] ia hanya duduk di belakang tabir, tetapi seluruh jiwa raganya bermain sebagai aktor dalam setiap tokoh wayang yang dimainkan.

Di Bali belum ada usaha se[r]ius untuk mengirangi peran dalam sebagai monoaktor. Dalang – yang pada umumnya lelaki – tetap bermain tunggal untuk tokoh laki maupun wanita menembang, seorang dalang akan mengerahkan potensi vokalnya. Belum tampak ada gagasan untuk memperbantukan seorang dalang wanita untuk bertindak sebagai aktris bagi tokoh-tokoh wayang wanita.

Seorang dalang yang telah berpengalaman luas dalam mementaskan wayang mungkin tak lagi merasakan betapa beratnya bermain sebagai aktor tunggal selama ia memantaskan[mementaskan, sic] wayangnya. Namun persiapan menjadi dalang bukanlah usaha “main-main”. Seseorang harus menyiapkan dirinya menjadi monoaktor bagi sbuah pentas yang amat kompleks.

Sumber:
Nyoman Tusthi Eddy. “Wayang Sebagai Monoaktor” dalam Warta Hindu Dharma. Nomor 293. Oktober 1991. hlm. 32-34, 42.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *