Bulan Agustus 1991 tepat setengah abad Tagore berpulang. Ia meninggalkan banyak karya (sastra, filsafat dan esei-esei religius). Karya-karyanya sarat makna dan gema suaranya menembus ruang dan waktu. Kajian terus bermunculan, penerjemahan karya-karyanya pun semakin marak. Nilai karyanya tetap segar dan terasa tak habis-habisnya menjadi renungan dunia.
Dalam eseinya yang berjudul “A Poet’s School” (Voices of Modern Asia, 1973, hlm. 174 – 185) secara tersirat dan puitis Tagore mengajak sang penyair sejati mengakrabi alam. Alam tak sekedar tempat manusia berdiri, tetapi merupakan bagian mutlak dari seluruh insan yang menempatinya. Hal ini mengisyaratkan paham Hinduisme dengan konsep makro dan mikro kosmosnya. Manusia belajar dan mengasah jiwa lewat alam; sebaliknya alam akan memangku dan mengajarkan kehidupan kepada manusia.
Secara tersurat dan tersirat Tagore selalu melukiskan kehidupan dengan alam sebagai metafornya. Dari sudut ini jelas Tagore seorang Romantik. Namun demikian ia tak pernah memperlihatkan kecendrungan utopis. Ide-ide Tagore selalu bernas dengan realitas dan nilai-nilai kehidupan, meskipun gaya yang membungkusnya romantik-idealistis. Orang yang menikmati Tagore dari permukaan saja akan terbius oleh gaya metaforik alam. Tetapi siapa yang mau dan sempat menyelami karyanya lebih dalam akan menemukan penjabaran filsafat hidup yang merupakan dasar-dasar pendirian Tagore.
Dengan sikap dan pendiriannya itu Tagore tampil sebagai penyair sekaligus guru, filosof dan rohaniawan. Sebagai penyair ia berbicara karena ada yang hendak diucapkan. Ia menyair bukan untuk berekstasis tanpa tujuan. Tapi ia pun bukan seorang demagog. Ia menjadi guru yang mengguakan puisi sebagai modul pengajarannya. Meski tak pernah dikatakannya secara verbal sikap kepenyairan Tagore mengisyaratkan : “sastra adalah media pendidikan dalam konotasi positif dan sasrawan adalah guru”. Dalam puisinya terjelma dimensi filsafat kehidupan dan renungan-renungan estetis yang bersatu padu dengan harmonis.
Dalam eseinya yang lain, “The Poet’s Religion” (Creative Unity, 1922, hlm. 3-27), rasanya tidak berlebihan jika dikatakan pencarian nilai-nilai kehidupan lewat keindahan yang diisyaraktan Tagore dalam bentuk laku ibadah seorang penyair. Nilai-nilai kehidupan itu adalah suguhan dunia, bukan sebagai pajangan di menara gading.
Tagore adalah seorang penyair kehidupan di mana keluhuran ide dirumuskan dan menjadi handalan nilai puisi-puisinya. Dengan tersirat ia menolak konsep “seni untuk seni”. Baginya seni adalah untuk dunia dan kehidupan.
Gambaran umum sosok seorang yogi adalah orang yang suntuk dan terpekur dalam semadi, menyingkirkan diri dari hiruk pikuk dunia dan bermukim di tempat sunyi. Ia tak lagi memikirkan urusan dunia, sebaliknya sangat suntuk dengan kehidupan rohani dan akhirat.
Tagore tidaklah demikian; tetapi ia pun seorang yogi. Ia mengambil jalan yoga yang disebut Karma Yoga. Mungkin jalan ini paling tepat baginya. Tagore dikenal sebagai orang yang sangat berhasil menyatukan konsep Timur dan Barat tanpa menimbulkan letupan konflik budaya. Di antara jenis-jenis Yoga Karma Yoga paling memungkinkan untuk hal itu.
Aktifitas dan ketekunan hidup bercirikan Barat disintesekan dengan pengendalian diri khas Timur (India/Hinduisme) diangkat menjadi konsep yang melandasi karya-karyanya. Cinta kerja demi tegaknya nilai-nila kemanusiaan merupakan ciri khas sang Yogi Tagore. Dalam “Tukang Kebun” bait 73 terdapat larik yang menunjukkan jiwa Yogi Tagore. Larik “ingin kupuja kau dengan kerja” merupakan pernyataan hakiki seorang Karma Yogi. Tagore mengambil kerja sebagai jalan ibadah. Karena itu ia menolak berpaling dari dunia ramai dan kehidupan sehari-hari. Sebaliknya, ia sangat mencintai kehidupan tempat ia bekerja dan beribadah.
Pandangan Tagore terhadap hubungan antara manusia sebagai makhluk dengan alam/dunia sebagai perwujudan Sang Khalik dapat dibandingkan dengan puisi simbolik berikut :
Jika Tuhan telah menyediakan alam dan dunia seyogianya manusia bekerja untuk menata dunia. Namun perilaku itu bukanlah demi kepuasan pribadi semata, melainkan – yang utama – untuk manusia sedunia.
Kebebasan tindakan-tindakan Tagore dalam mencintai kehidupan dengan penuh gairah tak sampai jatuh ke dalam kebebasan vulgar seperti sering kita lihat dalam praktik kebebasan cara Barat. Kebebasan Tagore adalah “kemerdekaan” seorang Yogi yang secara intuitif dan praktis telah mampu meniti dan meredam gelombang kehidupan. Nafas Karma Yogi menjalari puisi-puisi dan dipraktikkannya dalam kehidupan sehari-hari.
Tak lengkaplah rasa jika mengenang dan membicarakan seorang penyair tanpa mengamati puisi-puisinya. Puisi bagi seorang penyair adalah dirinya sendiri. Hal ini lebih jelas dan lebih tegas lagi pada Tagore. Aku liriknya adalah lambang aku penyair. Hal ini merupakan ciri khas Tagore, karena ia menyair dengan maksud “mengucapkan” sesuatu. Tak ada bayangan keraguan dalam puisi-puisinya.
Ada dua kumpulan puisi Tagore yang sudah sangat dikenal dalam sastra Indonesia. Gitanyali dan Tukang Kebun. Keduanya adalah Nyanyian Kerohanian hidup Tagore seutuhnya, dalam arti sebagai manusia dan penyair.
Tema Gitanyali – seperti sudah dikenal umum – adalah ketuhanan. Di dalamnya tersirat banyak dialog antara makhluk dan khalik dalam berbagai dimensi. Dalam puisinya ini pun dengan jelas kita melihat dan mendengar nyanyian sang Yogi.
Mengapa Tagore mengangkat tukang kebun sebagai judul sekaligus kasus? Dalam pandangan umum selama ini tukang kebun telah terlanjur mendapat posisi sebagai persona kelas bawah. Tapi jika kita memandang Tagore sebagai seorang Karma Yogi, kita akan melihat makna tersirat pada sosok tukang kebun sebagai tokoh yang terpilih dalam puisinya. Dialog berikut mengisyaratkan hal itu.
Ratu : Apakah yang dapat kau harapkan bila telah kasip begini?
Hamba : Jadikanlah hamba tukang kebun bagi taman bungamu.
Ratu : Alangkah gilanya ini!
Di saat sang tokoh terlambat dan tak ada lagi bagian untuknya, ia tak canggung-canggung minta menjadi tukang kebun. Ia tak peduli meski bagi orang lain pilihan ini dianggap gila. Secara tersirat Tagore ingin mengatakan : “semua pekerjaan mulia dan setiap orang besar pada tempatnya”. Sang Ratu besar dalam dharmanya (kewajibannya) sebagai pemimpin, sang Tukang Kebun besar dalam dharmanya sebagai pengabdi-kerja (bukan budak). Pandangan ini juga merupakan salah satu penjabaran Karma Yoga, seperti diungkapkan oleh Swami Vivekananda dalam bukunya Karma Yoga. Secara simbolik Tagore telah memilih menjadi Tukang Kebun bagi Sang Ratu (Sang Khalik). Ia menjadi pengabdi setia Taman Kehidupan yang dipancarkan Sang Khalik. Hari-harinya penuh kerja tulus ikhlas bagi “taman” yang diurusnya.
Bertolak dari puisi di atas Tagore berdialog dan bermonolog dengan Sang Khakik. Namun sebagai pemilih jalan Karma Yoga, kehidupan nyata tetap menjadi ajang kiprahnya. Dengan memilih sebagai “pelayan” setia Sang Mahaagung Tagore telah menjadi seorang Bhakta (Pengabdi Tulus) lewat puisinya.
Seperti dikuip oleh Hartoyo Andangjaya dalam kata Pengantar Tukang Kebun, para pengamat Barat – antara lain W. B. Yeats – memadang cinta dan sosok perempuan Tagore kehilangan badaniahnya. Dari sudut realisme Barat memang demikian. Lenyapnya unsur badaniah pada sosok cina dan perempuan Tagore disebabkan oleh gaya dan metaforanya yang dilimpahi oleh nilai spiritual. Cinta bagi Tagore lebih mengacu pada gairah spiritual.
Terlepas dari tema spiritual puisi-puisinya, yang tak kurang pentingnya adalah puisi itu sendiri sebagai fenomena sastra. sebagai penyair Tagore bukanlah penulis rilik, melainkan prosa lirik. Baik Gitanyali maupun Tukang Kebun adalah prosa lirik. Di saat para sastrawan suntuk berkutat dengan lirik-lirik konvensional, Tagore telah tampil dengan gaya bebas prosa lirik. Gaya prosa liriknya mirip dengan prosa lirik Kahlil Gibran dan Jalaludin Rumi.
Jika tema puiisi-puisinya berakar pada alam Timur, khususnya tradisi India, maka strukturnya menandakan keterbukaannya dalam menerima pengaruh luar. Bangun prosa liriknya menggambarkan sikap bebas Tagore. Sintese kedua aspek itu merupakan wujud nyata dari perpaduan tradisi India dengan dinamika Barat.
Pengamat sastra Indonesia mengakui adanya pengaruh Tagore di kalangan sastrawan Indonesia, terutama sastrawan Pujangga Baru. Pengaruh paling nyata, terutama dari Gitanyali kita temukan dalam “Pecahan Ratna” karya Aoh Kartahadimaja. Pengaruh itu juga terdapat pada sejumlah puisi Sanusi Pane dalam Madah Kelana. Tema panteistik dan konsep kekasih yang telah mendapat nilai-tambah spiritual pada Sanusi Pane sangat mirip dengan milik Tagore. Hal ini bisa disimak umpamanya pada puisi “Lautan Waktu” dan “Doa”. (Madah Kelana, 1957, hlm. 28-29).
Ini hanyalah sebuah renungan yang mengundang banyak pertanayan adakah makna yang terkandung di dalamnya? Nilai manakah dari Tagore yang masih relevan buat kita sekarang, setelah ia berpulang setengah abad yang lalu? Peninggalannya telah menjadi masa lalu kita. Namun “suara” spiritualnya telah merasak ke dalam konteks budaya kita. Di samping itu penjabaran Karma Yoga yang diramunya dengan kehidupan modern secara bebas dan terbuka, tak pernah aus dimakan waktu. Di saat etos kerja diseru-serukan, kreativitas disulut, humaniora didengung-dengungkan, “suara” spiritual Tagore selayaknya dikenang kembali.
Sumber:
Nyoman Tusthi Eddy. “Tagore Penyair dan Yogi” dalam Warta Hindu Dharma. No. 298. Maret 1992. hlm. 7-9, 31.