Judul Buku | The Crescent and The Rising Sun: Indonesian Islam under The Japanese Occupation 1942-1945 |
Penulis | Harry J. Benda |
Penerbit | Foris Publications |
Kota Terbit | Dordrecht |
Tahun Terbit | 1983 |
Halaman | xv + 320 halaman |
Masa pendudukan Jepang merupakan salah satu periode penting dalam sejarah Indonesia. Meski Jepang hanya menduduki selama 3,5 tahun (“seumur jagung” menurut Jangka Jayabaya), pengaruh Jepang dalam perjalanan sejarah Indonesia masih dapat dirasakan hingga kini. Salah satu peninggalan penjajah Jepang yang masih dapat dirasakan, adalah bagaimana mereka menciptakan Islam sebagai kekuatan politik di negara ini.
Oleh Harry J. Benda, sejarawan sekaligus murid dari George McTurnan Kahin, periode Jepang dialami secara mendalam melalui buku The Crescnt and The Rising Sun: Indonesian Islam under The Japanese Occupation 1942-1945. Buku tersebut, yang merupakan publikasi dari disertasi Benda, menjadi buku awal yang mendalami periode pendudukan Jepang di Indonesia.
Menurut Benda, kondisi Islam di Indonesia (baca: Jawa dan Madura) mengikuti pola yang terjadi pada masa penjajahan Belanda. Ketika Belanda masih berkuasa, kekuatan Islam sangat dibatasi untuk bergerak. Hal tersebut didasarkan ketakutan Belanda akan bangkitnya kekuatan Pan-Islamisme di Hindia Belanda, kekuatan yang dapat mengacaukan pemerintahan kolonial.
Alhasil, posisi Islam dengan masyarakat pedesaan (kaum tani) tidak terkait secara kuat. Kalaupun terkait, Islam hanya dihubungkan melalui para kyai dan pemimpin keagamaan di tingkat pedesaan, yang sebagian besar dari mereka menghindari arus politik pergerakan. Mereka, menurut Benda, lebih memilih untuk berjalan di jalan sosial-kebudayaan, mendorong tumbuhnya organisasi Islam seperti Muhammadiyah dan Nahdlatul Ulama.
Selain lemahnya posisi Islam dengan kaum tani, pemerintah Hindia Belanda juga memperkuat posisi priayi. Kondisi ini membuat priayi, yang semula menjadi bawahan kerajaan-kerajaan lokal di pedalaman Jawa, berubah menjadi birokrat kepanjangan tangan kolonial. Melalui gaji dan pengekalan hak-hak istimewa yang selama ini mereka dapatkan, kekuasaan mereka terhadap kaum tani semakin kuat. Bahkan, kondisi ini melemahkan hubungan politik antara Islam dan kaum tani.
Ketika Jepang datang pada 1942, mereka mencoba menarik simpati kaum Islam. Dengan berbagai semboyan serta jargon, mereka mencoba memahami dinamika perpolitikan Islam Indonesia (baca kembali: Jawa dan Madura). Hal tersebut, pada mulanya, cukup berhasil; kekuatan Islam tumbuh mengalahkan kekuatan nasionalis sekuler yang berpendidikan barat.
Meski begitu, tidak serta merta Islam Indonesia menerima Jepang. Kebijakan Jepang yang meminta seluruh masyarakat koloni untuk menyembah Tokyo menimbulkan perasaan antipati. Masyarakat Islam, yang menggunakan Mekkah sebagai kiblat, tidak serta-merta mau menyembah Kaisar Jepang dan Tokyo. Kondisi ini, pada akhirnya, membuat Jepang memperlunak kebijakan mereka, sembari tetap menekankan rencana Jepang-isasi (Japanization) terhadap Islam Indonesia.
Pada 1943 hingga awal 1944, posisi Islam Indonesia tumbuh semakin kuat. Dengan munculnya kekuatan baru bernama Masjumi, Islam Indonesia menjalin hubungan yang semakin akrab dengan kaum tani.
Jepang, yang mulai melunak seiring dengan posisi mereka yang semakin melemah dalam Perang Asia Timur Raya, mulai memperlunak kebijakan mereka. Syiar-syiar politik bernapaskan Islam diizinkan masuk ke desa-desa. Ini membuat kaum kyai dan penghulu agama semakin memahami esensi politik berbasiskan Islam, memperkuat posisi Islam dalam percatura politik Jepang.
Namun, memasuki 1944 hingga 1945, posisi Islam menjadi semakin lemah. Kekuatan nasionalis sekuler, yang semula diperlemah oleh Jepang, kini tumbuh menjadi kekuatan baru. Seiring dengan pernyataan oleh Jepang untuk memberikan kemerdekaan kepada Indonesia dalam waktu dekat, kekuatan nasionalis mulai masuk ke tingkat akar rumput, menuju kaum tani.
Ketika kelompok nasionalis dan Islam berselisih untuk menentuka wujud negara Indonesia yang merdeka, posisi politik Islam Indonesia tampak tidak sekuat masa awal pendudukan Jepang. Kelompok nasionalis, yang menekankan Indonesia yang lebih sekuler, dapat menciptakan sebuah rumusan yang lebih menghargai semua entitas dan kekuatan politik, tidak hanya Islam.
Kekuatan Islam sendiri, meski mendapatkan posisi dalam perumusan awal Pancasila, pada akhirnya harus terkikis seiring waktu. Meski begitu, hingga akhir 1950-an, seperti yang diungkapkan Benda, kekuatan Islam menjadi salah satu kekuatan penting dalam perpolitikan Indonesia, dan hingga kini, menjadi salah satu basis kekuatan yang diperebutkan calon pemimpin untuk memenangkan pemilihan.
Membaca buku The Crescent and The Rising Sun, pembaca akan menemukan wujud awal serta proses penciptaan Islam Indonesia dari kekuatan politik yang kecil menjadi salah satu superpower perpolitikan Indonesia. Jika pembaca jeli melakukan pembacaan, kondisi yang terjadi pada masa Jepang terus berlanjut hingga masa kini, membuat buku ini menjadi tetap segar, meski diterbitkan untuk pertama kalinya pada 1958.
Kekurangan kecil dalam buku ini, bagi saya, hanya penempatan paragraf yang tidak begitu menjorok ke dalam. Bagi pembaca yang tidak jeli, mereka mungkin akan sulit membedakan pemisah dari paragraf satu ke paragraf lainnya. Meski begitu, model tersebut merupakan model umum pada masa itu, sehingga dalam cetakan 1983, bentuk yang sama tidak dapat dihindari.
Buku The Crescent and The Rising Sun menjadi bacaan wajib serta awal bagi mereka yang ingin mendalami 1) sejarah pendudukan Jepang di Indonesia; 2) sejarah masyarakat Islam di Indonesia; dan 3) sejarah penciptaan Islam sebagai kekuatan politik di Indonesia.
Meski hanya berfokus pada Jawa dan Madura, buku ini dapat digunakan untuk mengembangkan kajian mengenai sejarah pendudukan Jepang di wilayah lainnya di Indonesia. Diharapkan, melalui buku klasik ini, kajian pendudukan Jepang di Indonesia dapat menggeliat, dan menghasilkan kajian-kajian baru yang lebih segar bagi generasi mendatang.