Judul Buku | Pulau Batu di Samudra Buatan |
Penulis | Ziggy Zezsyazeoviennazabrizkie |
Penerbit | Kepustakaan Populer Gramedia |
Kota Terbit | Jakarta |
Tahun Terbit | 2023 |
Halaman | v + 182 halaman |
ISBN | 978-623-134-130-3 |
“Orang kaya memang bangsat semua.”
(Pulau Batu di Samudra Buatan, hlm. 131)
Ziggy Zezsyazeoviennazabrizkie terkenal sebagai penulis dengan tokoh anak kecil, lebih seringnya anak perempuan. Menurutnya, anak-anak punya pemikiran polos, karena itu sering dianggap tidak punya masalah. Padahal, anak-anak juga punya kekhawatiran dan kerisauan sendiri yang belum banyak diucapkan.
Dalam novel berjudul Di Tanah Lada, Ziggy menceritakan anak perempuan yang keluarganya tidak harmonis dan sering mendapat kekerasan dari sang ayah. Novelnya yang lain, White Wedding, menceritakan anak perempuan yang terlahir berbeda.
Meski mengambil sudut pandang anak kecil, buku-buku yang Ziggy tulis sebenanrnya mengangkat isu-isu berat yang banyak terjadi di masyarakat.
Dalam buku Pulau Batu di Samudra Buatan, Ziggy mengisahkan petualangan lima anak perempuan kembar di hotel yang terendam banjir. Kisah ini diceritakan melalui sudut pandang Pak Pemilik Hotel. Ziggy juga menggunakan sebutan “Bpk”, “Ibu”, “Nn”, dan “Tn” untuk menyapa karakter-karakternya.
Narasi dibuka dengan banjir yang naik cepat hingga ke lantai tujuh. Semua tamu dialihkan ke lantai empat belas. Beberapa tamu menjadi panik, beberapa tamu masih tenang, beberapa tamu memikirkan cara untuk keluar dari hotel, dan beberapa tamu mencari persediaan makanan.
Novel ini bukan berfokus pada banjir, tetapi bagaimana sikap manusia ketika menghadapi bahaya dan dalam situasi tertekan. Contohnya, ada Bpk Akwet yang suka bersungut-sungut dan membuat keadaan tambah kacau; Nn Ratri yang optimis; Bpk Kesuma yang tidak berbicara hal buruk di depan para tamu; Bpk Oki dan Ibu Una sebagai sang Pemikir; Bpk Edward yang memanfaatkan kerumunan orang untuk berpromosi; Bpk Ajwal yang mendorong para tamu untuk ikut mencari solusi; Prof. Dr. Sri yang menengahi keributan; Nn Hilda yang tenang dan jarang panik; serta Ibu Sai yang tetap menjahit di tengah bencana.
Tamu hotel mulai gelisah karena banjir tak kunjung surut setelah berhari-hari. Malah, banjir semakin tinggi, meski hujan sudah reda. Ibu Una mengusulkan untuk mengirim perenang untuk melihat apa yang terjadi di luar hotel. Bpk Oki menganjurkan untuk mengirim pemanjat untuk naik ke lantai paling atas dan melihat sekeliling.
Namun, baru selangkah keluar hotel, para sukarelawan ditembak mati. Suasana menjadi tegang. Keanehan demi keanehan ini membuat mereka mengambil satu kesimpulan, ada yang sengaja menjebak mereka dengan banjir buatan. Ketegangan itu bertambah ketika mereka menemukan Ibu Utari mati dibunuh. Kesimpulan tambahan, ada pembunuh di antara mereka.
Di antara kepanikan, ketegangan, dan kebingungan, kehadiran lima anak kembar Ibu Sai sangat menghibur pengunjung hotel. Mereka ini bukan sembarang anak kecil, lho. Kembar pertama, Skala, adalah anak yang senang mengerjakan bermacam kegiatan selama kegiatannya tidak membutuhkan banyak gerak-gerik. Ia memberi kesan seolah ia tahu banyak hal. Ia memang memiliki banyak keahlian.
Kembar ketiga, Kali, adalah anak yang sangat tenang dan sangat sunyi. Berbanding terbalik dengan Kali, Metro, kembar nomor empat, adalah anak yang sangat berisik. Ia penuh antusias dan selalu bercerita dengan berapi-api. Sulit untuk menyela ketika Metro sudah membuka mulut. Kembar kedua, Dana, selalu menjaga agar sekelilingnya tenang dan senang. Ia tidak seberisik Metro, tetapi juga tidak sesunyi Skala atau Kali. Kembar terakhir, Suji, adalah yang paling aktif. Setiap kali bicara, Suji suka menambahkan kutipan-kutipan film.
Dengan menipisnya persediaan bahan makanan, banjir yang tak kunjung surut, dan dugaan pembunuhan, tamu-tamu hotel mulai terpecah. Mereka saling marah, menuduh, dan berteriak. Di sinilah Bpk Ajwal dan Prof. Dr. Sri mulai berperan. Bpk Ajwal mengajak para tamu untuk bahu-membahu mencari solusi, bukannya bergantung melulu pada Bpk Oki dan Ibu Una.
Prof. Dr. Sri mengajak para tamu untuk bersatu. Namun, ia malah mendapat beberapa perkataan yang tidak enak didengar. Beberapa tamu dengan seenaknya berasumsi bahwa hidup Prof. Dr. Sri hampa, hanya karena ia belum menikah dan belum punya anak. Mereka menganggap pendidikan Prof. Dr. Sri terlalu tinggi, sehingga tidak ada laki-laki yang berminat untuk menikah dengannya.
Inti dari banjir buatan dan pembunuhan benar-benar tak disangka. Pembaca harus betul-betul cermat agar tidak ketinggalan setiap petunjuk. Seperti yang dituliskan di halaman 132 novel ini, “…. di dunia ini memang benar ada orang yang begitu jahat sehingga melakukan kejahatan, bukan ada dendam atau apa, tapi semata-mata karena ia jahat.”
Ketika membaca Pulau Batu di Samudra Buatan, pembaca mungkin akan merasa bosan membaca buku ini karena beberapa kalimat diulang-ulang. Salah satunya adalah dalam kalimat, “…. di lantai empat belas yang sebenarnya adalah lantai tiga belas, tapi takhayul membuat orang-orang menghapuskan sebutan itu meskipun tetap saja lantai tiga belas adalah lantai tiga belas ….” yang muncul hampir tiap bab. Namun, itulah yang membuat Pulau Batu di Samudra Buatan menarik.
Ziggy berhasil menulis beragam karakter yang masing-masing memiliki ciri khas. Tokoh di Pulau Batu di Samudra Buatan memang difokuskan pada lima anak kembar Ibu Sai. Namun, tokoh sampingan lain, meski hanya muncul dalam satu bab, juga dijabarkan keunikannya. Seperti Nn Sri yang muncul di Bab 12 sebagai peniru ulung, Ibu Nissa yang muncul di Bab 16 sebagai tamu yang memiliki telinga tajam, dan Nn Devi yang muncul di Bab 18 sebagai tamu yang dimintai pertolongan.
Meski kehadiran banyaknya tokoh membuat pembaca bingung, Pulau Batu di Samudra Buatan merupakan kisah yang seru. Mulai dari lima anak kembar Ibu Sai yang cerdas, tamu hotel dengan beragam watak dan kebiasaan, hingga mengungkap dalang dibalik kasus pembunuhan dan jebakan banjir, semuanya asyik untuk diikuti. Benar-benar sebuah novel yang mengesankan!
One thought on “Pulau Batu di Samudra Buatan: Menyelami Keberagaman Karakter Manusia dalam Menghadapi Musibah”