Andil Besar Guru BK dalam Penanganan Tindak Kekerasan di Sekolah

Berbicara tentang pendidikan, pasti tak jauh dari perbincangan mengenai pendidik, dalam hal ini para guru. Sebagian besar masyarakat kita beranggapan bahwa guru berarti “orang yang digugu dan ditiru.” Anggapan ini tidaklah salah, mengingat guru merupakan panutan dan contoh teladan bagi murid-muridnya.

Menurut Victor Chandrawira, Founder & President Director of Be Ready to Change (BR2C), mengemukakan bahwa guru berasal dari bahasa Sanskerta, yaitu dari kata “gu” yang berarti gelap, dan “ru” yang berarti cahaya. Guru memiliki makna orang yang memiliki niat yang kuat untuk membimbing dan menuntun muridnya dari kegelapan menuju cahaya. Layaknya himne guru yang selalu kita senandungkan setiap Hari Guru, bahwa guru adalah “pelita dalam kegelapan.”

Ilustrasi guru bimbingan & konseling (BK), courtesy of Kompasiana

Salah satunya adalah guru yang kerap kali disebut ‘polisi sekolah’ alias guru BK (bimbingan & konseling). Tidak hanya lekat dengan sebutan galak, peserta didik mempersepsikan guru BK adalah musuh mereka di sekolah. Kebebasan dan kesenangan bermain di lingkungan sekolah serasa hilang, ketika guru BK perlahan-lahan datang menghampiri mereka. Lebih-lebih, jika peserta didik dipanggil ke ruang BK.

Masuk ke ruang BK, atau dipanggil oleh guru BK, terlintas benak siswa yang nakal, pelanggaran, dan tindakan tidak terpuji lain di sekolah. Entah melakukan perundungan (bullying), mengganggu keamanan dan ketertiban kelas, atau hanya sekadar ketidakrapian seragam dan gaya rambut.

Meski terkesan horor, guru BK memiliki andil dalam keberlangsungan pendidikan di sekolah. Guru BK berperan besar menangani perkara kekerasan terhadap anak yang terjadi di lingkungan sekolah. Melansir data Sistem Informasi Online Perlindungan Perempuan dan Anak (SIMFONI-PPA) sepanjang 2023, tercatat 17.619 kasus kekerasan terhadap anak berdasarkan waktu pelaporan. Sebanyak 10.625 kasus diantaranya mengalami kekerasan seksual dengan usia korban rata-rata 13-17 tahun. Sekolah, sebagai institusi pendidikan, menjadi salah satu penyumbang angka kekerasan yang besar, yaitu 4.515 kasus.

Rilis Pusat Data dan Informasi (Pusdatin) KPAI terkait kasus pelanggaran terhadap Pemenuhan Hak Anak dan Perlindungan Khusus Anak, courtesy of Pusdatin KPAI

Sementara itu, menurut laporan Pusat Data dan Informasi Komisi Perlindungan Anak Indonesia (Pusdatin KPAI), hingga akhir September 2023, telah terjadi 1.800 kasus terkait pelanggaran Pemenuhan Hak Anak (PHA) dan Perlindungan Khusus Anak (PKA), dengan rincian klaster PHA 1.237 kasus (68,7%) dan klaster PKA 563 kasus (31,3%). Klaster PHA melalui aspek pendidikan, pemanfaatan waktu luang dan kegiatan budaya berada di posisi runner up dengan 143 kasus (7,9%), dan klaster PKA melalui anak korban kekerasan seksual menempati posisi puncak dengan 252 kasus (14,0%).

Baca Juga  Bung Karno dan Isu Keislaman

Sederet data dan fakta ini membuktikan bahwa kekerasan seksual (sexual harassment) terhadap anak, terutama di lingkungan pendidikan, merupakan fonemena yang memprihatinkan. Terkait fenomena ini, keberadaan guru BK menarik untuk ditelisik lebih mendalam.

Bimbingan dan Konseling dalam Perspektif Historis

Melansir informasi yang diterbitkan situs resmi Universitas Sebelas Maret, tertuang riwayat pendidikan bimbingan dan konseling di sekolah.. Berdasarkan Hasil Konferensi Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan (FKIP, sekarang UPI) di Malang pada tanggal 20-24 Agustus 1960, mata pelajaran bimbingan & penyuluhan (BP, sekarang bimbingan & konseling atau BK) direncanakan akan diimplementasikan ke dalam sistem pendidikan. Hal ini didorong oleh kegelisahan para guru yang ingin membimbing para siswa mencapai jurusan yang sesuai dengan minat dan bakatnya.

Pada 1963, IKIP Malang dan IKIP Bandung menjadi percontohan awal untuk jurusan bimbingan & penyuluhan. Sebanyak 8 IKIP (IKIP Malang, IKIP Padang, IKIP Yogyakarta, IKIP Semarang, IKIP Menado, IKIP Bandung, IKIP Surabaya, dan IKIP Jakarta) diminta menjadi penyelenggara Proyek Perintis Sekolah Pembangunan (PPSP), yang menghasilkan Pedoman Operasional Pelayanan Bimbingan pada Proyek Perintis Sekolah Pembangunan pada 1971.

Logo Asosiasi Bimbingan dan Konseling Indonesia (ABKIN), organisasi penerus Ikatan Petugas Bimbingan Indonesia (IPBI), courtesy of Wikipedia

Pada 17 Desember 1975, organisasi profesi Ikatan Petugas Bimbingan Indonesia (IPBI) lahir di Indonesia. Pada tahun ini, kurikulum 1975 resmi diberlakukan sebagai pengganti kurikulum 1968. Kurikulum ini memuat aturan bahwa bimbingan & penyuluhan merupakan bagian yang terpisah dari sistem pendidikan sekolah. Selain itu, pada tahun ini juga, tercipta Buku Pedoman Bimbingan & Penyuluhan (Buku III/C).

Pada 1989, Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara, Sarwono Kusumaatmadja, menerbitkan Surat Keputusan No. 26 tentang Angka Kredit bagi Jabatan Guru dalam lingkungan Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. Surat Keputusan ini, secara resmi, menyatakan bahwa sekolah perlu melakukan pelayanan bimbingan dan penyuluhan melalui seorang guru. Lewat Kurikulum 1994, bimbingan & penyuluhan (BP) berubah nama menjadi bimbingan & konseling (BK).

Sarwono Kusumaatmadja (1943-2023), Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara periode Orde Baru yang menerbitkan SK perihal bimbingan dan konseling, courtesy of Kompas.com

Memasuki dekade 2000-an, tepatnya 15 Maret 2001, Kongres IPBI memutuskan untuk melakukan perubahan nama dari Ikatan Petugas Bimbingan Indonesia (IPBI) menjadi Asosiasi Bimbingan & Konseling Indonesia (ABKIN).

Stigma Negatif Guru BK Hingga Kini

Guru BK, atau yang akrab disapa konselor, memiliki stigma negatif di mata para siswanya. Julukan ‘polisi siswa’ atau ‘polisi sekolah’ disematkan kepadanya.

Baca Juga  Kemelut Hubungan Indonesia-Israel dalam Sejarah

Idealnya, pendidikan di Indonesia tak boleh lagi mendengar julukan ini di telinga kita. Namun, hingga hari ini, stereotip tersebut masih belum bisa hilang dari lingkungan internal sekolah.

Sebenarnya, stigma tersebut muncul karena kurangnya komunikasi dan pemahaman antara guru BK dan sekolah. Siswa memahami guru BK secara parsial, yakni sebagai penasehat, guru yang memarahi, serta guru yang menghukum siswa. Namun, tanpa disadari, guru BK memiliki esensi mulai dari perbuatannya kepada siswa.

Ilustrasi guru BK sebagai polisi sekolah, courtesy of Akar BK/Didaktika

Guru BK hakikatnya bukanlah pengadil, penghukum, apalagi musuh para siswa. Sebaliknya guru BK merupakan sahabat, saudara sekaligus orang tua yang selalu peduli apapun keluhan dan masalah siswa baik di sekolah maupun di lingkungan keluarga. Guru BK adalah pengayom yang akan mengarahkan siswa pada bakat, minat dan cita-cita yang diinginkan.

Peran Guru BK dalam Penanganan Kekerasan di Sekolah

Secara garis besar, guru BK memiliki peran penting dalam menangani kasus kekerasan di sekolah. Mereka memiliki dua peran, yakni peran preventif dan peran kuratif.

Peran preventif menekankan keterlibatan guru BK untuk mencegah terjadinya kekerasan di sekolah, sementara peran kuratif lebih menekankan penanganan terhadap sebuah peristiwa yang telah terjadi, dalam hal ini adalah kekerasan di sekolah.

Peran pertama yang dapat dilakukan guru BK adalah memberikan penyuluhan tentang bahaya perundungan dan kekerasan di sekolah. Seluruh siswa dikumpulkan dalam aula sekolah, lalu seorang guru BK, sebagai konselor, menerangkan secara detail mengenai bahaya perundungan serta sanksi yang akan mereka terima jika melanggar.

Ilustrasi penyuluhan di aula sekolah. Guru BK dapat memanfaatkan tenaga ahli dari luar untuk memberikan penyuluhan kepada peserta didik, courtesy of Polresta Yogyakarta

Kedua, guru BK dapat memeriksa setiap isi tas siswa saat memasuki area sekolah. Sebelum memasuki area sekolah, guru BK memastikan siswa tidak membawa alat-alat berbahaya, seperti senjata tajam.

Baca Juga  Invasi Mongol ke Bagdad, Awal “Era Kegelapan” Dunia Islam

Ketiga, guru BK bisa berkolaborasi untuk mengawasi siswa di saat jam istirahat. Momen istirahat sangat rentan dengan perilaku kenakalan siswa. Sinergi dengan guru piket, wali kelas, dan guru mata pelajaran dapat dilakukan untuk mengawasi perilaku siswa selama jam istirahat, untuk mengurangi insiden-insiden yang tak diinginkan.

Keempat, guru BK perlu memberikan layanan konseling baik individual maupun kelompok secara rutin. Hal ini dapat membantu guru BK dalam memahami masalah dan keluhan siswa, baik di lingkungan sekolah maupun lingkungan keluarga.

Kelima, menjalin komunikasi yang baik dengan wali kelas dan orang tua siswa sebagai bentuk fungsi pengawasan terhadap siswa sehingga dapat mencegah terjadinya kekerasan sedini mungkin. Dalam hal ini, orang tua menjadi kunci utama di luar sekolah.

Ilustrasi konseling antara guru dan orang tua peserta didik, courtesy of Kompasiana

Keenam, Komite Sekolah Membentuk tim Pencegahan dan Penanganan Kekerasan Seksual (PPKS) dengan memberdayakan OSISuntukbersama-sama mencegah tindak kekerasan baik kekerasan verbal, fisikal maupun seksual di lingkungan sekolah.

Selain langkah preventif, guru BK juga berperan dalam proses kuratif. Guru BK dapat mendengarkan dan memperhatikan keluhan korban kekerasan di sekolah, serta tidak menghakiminya. Jika peristiwa kekerasan menjadi runyam dan serius, guru BK dapat mengarahkan korban kepada tenaga profesional, dalam hal ini psikolog dan psikiater.

Kedua, mendengarkan dan memperhatikan keluhan korban. Mendengarkan dan memperhatikan setiap curahan hatinya dan menggali informasi secara persuasif untuk menerangkan pokok permasalahan..

Pada akhirnya, guru BK memiliki andil besar dalam penanganan tindak kekerasan di lingkungan sekolah. Guru BK tidak hanya dapat mencegah kekeraasn terjadi, tetapi juga menangani korban tindak kekerasan. Ini bukan perkara yang mudah, tetapi guru BK perlu mengambil tindakan preventif dan kuratif untuk itu. Tentu saja, kedua tindakan tersebut dilakukan tidak dengan memposisikan guru BK sebagai polisi siswa.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *