Hari Kebangkitan Nasional atau Harkitnas selalu diperingati setiap 20 Mei. Momen bersejarah ini merupakan peringatan dimulainya kesadaran nasional bangsa Indonesia untuk melawan penjajahan Belanda.
Umumnya, Harkitnas diperingati dengan arahan untuk memajukan negara dan berdedikasi demi bangsa Indonesia.
Sementara, landasan penetapan tanggal 20 Mei sendiri karena bertepatan dengan lahirnya organisasi pergerakan di pulau Jawa, Boedi Oetomo (BO) pada 20 Mei 1908. Organisasi ini mendorong emansipasi masyarakat bumiputra.
Namun, penetapan lahirnya BO sebagai Hari Kebangkitan Nasional menuai perdebatan dalam historiografi Indonesia. Pihak yang mempertanyakan legitimasi Harkitnas melandasi argumen mereka mengenai BO yang dipandang hanya eksklusif bagi kaum priyayi, serta etnosentrisme BO yang sangat bernuasan ke-Jawa-an. Mereka juga menilai bahwa kelahiran Sarekat Dagang Islam (SDI) pada 1905 lebih layak untuk dijadikan momentum kebangkitan nasional di Indonesia.
Sebelumnya, mari kita telaah terlebih dahulu mengapa dibentuknya BO menjadi patokan awal dimulainya Hari Kebangkitan Nasional. Menurut Husaini Husda dalam artikel berjudul Rekonstruksi Sejarah Kebangkitan Nasional, penetapan Harkitnas pada 20 Mei berakar dari situasi Indonesia pada masa revolusi (1945-1949).
Situasi Indonesia pada 1948 yang penuh carut-marut mendorong perlunya suatu momentum persatuan untuk membangun kembali memori kolektif masyarakat Indonesia. Dibutuhkan suatu martir politik, yakni Boedi Oetomo, guna menunjukkan bahwa kekacauan yang terjadi kala itu adalah proses dari suatu cita-cita besar dalam mewujudkan kemerdekaan dan persatuan Indonesia.
Penetapan Boedi Oetomo sebagai tonggak awal Kebangkitan Nasional memiliki permasalahan. Harsya Bachtiar dalam harian Kompas edisi 27 Oktober 1977 mengutarkan bahwa BO tidak memiliki visi untuk mendorong modernisasi Indonesia secara keseluruhan. Mereka hanya terbatas di pulau Jawa dan Madura.
Mengutip Ricklefs dalam buku Sejarah Indonesia Modern, Boedi Oetomo memiliki rasa keunggulan budaya Jawa yang kental. Ini mengakibatkan terciptanya segregrasi antara para anggota BO dari etnis non-Jawa (Sunda dan Madura).
Meski begitu, Boedi Oetomo merupakan salah satu organisasi awal yang bertujuan untuk mengemansipasi masyarakat bumiputra saat itu. Ketika perhimpunan lain, seperti SDI, lebih menempatkan perjuangan mereka kepada tujuan non-emansipatif serta belum terjun langsung dalam realita sosial umum masyarakat bumiputra, BO hadir mendorong emansipasi masyarakat bumiputra dengan beasiswa.
Pengakuan Boedi Oetomo sebagai organisasi pergerakan juga didukung kuat oleh pemerintah Hindia Belanda. Struktur, gaya organisasi, dan tujuan yang lebih modern memungkinkan BO menjadi model awal organisasi bumiputra lainnya.
Lalu, bagaimana dengan Sarekat Dagang Islam? Apabila ditelisik melalui keanggotaan, SDI seharusnya layak menjadi tonggak paling awal kebangkitan nasional, meski sebagian besar berasal dari masyarakat muslim. Representasi SDI juga lebih universal, yaitu representasi berlandaskan agama Islam. Namun, terdapat permasalahan yang juga turut menangguhkan legitimasi ini.
Pertama, kelahiran SDI masih menjadi perdebatan. Menurut H. Samanhudi yang dikenal sebagai pendiri SDI, organisasi tersebut awalnya bernama Rekso Rumekso, suatu organisasi tandingan ronda dagang untuk melawan dominasi pedang Tionghoa yang didrikan pada 16 Oktober 1905. Jajat Burhanudin dalam buku Islam dalam Arus Sejarah Indonesia menuturkan bahwa menurut Tirto Adi Surjo, SDI baru berdiri sebagai organisasi ketika anggaran dasar pertama SDI dibentuk pada 11 November 1911. Versi mana yang benar, perlu ditelusuri lebih lanjut.
Kedua, SDI pada mulanya lahir sebagai bentuk reaksi terhadap dominasi pedagang Tionghoa di Surakarta, jika mengikuti kisah versi Samanhudi. Berdirinya SDI tidak terlepas dari konflik ekonomi antara etnis Tionghoa dan golongan bumiputra muslim. Hal ini kurang menekankan adanya suatu semangat kebangkitan masyarakat untuk beremansipasi, sangat berbeda dengan BO yang sudah bertujuan untuk memajukan masyarakat bumiputera.
Terlepas dari perdebatan tersebut, baik BO maupun SDI merupakan buah gerakan pembaruan Indonesia. Lepasnya sekat pemikiran kedaerahan demi cita-cita yang lebih besar telah menunjukkan adanya gerakan baru untuk sadar akan kondisi mereka yang teralinenasi.
Baik BO maupun SDI merupakan model kebangkitan alam pikiran bumiputra untuk berserikat dan bersatu demi kepentingan masyarakat umum. Mereka menjadi tonggak awal akan kesadaran berorganisasi para perintis yang pada periode berikutnya, mewujudkan suatu konsep yang sekarang dikenal sebagai republik Indonesia.
Referensi:
[1] Antonius Purwanto. 2021. Hari Kebangkitan Nasional: Latar Belakang, Polemik, dan Profil Budi Utomo. https://www.kompas.id/baca/paparan-topik/2021/05/18/hari-kebangkitan-nasional-latar-belakang-polemik-dan-profil-budi-utomo.
[2] Husaini Husna. 2020. “Rekonstruksi Sejarah Kebangkitan Nasional” dalam Jurnal Adabiya. Volume 21. Nomor 2.
[3] Jajat Burhanudin, 2017. Islam dalam Arus Sejarah Indonesia. Jakarta: Kencana.
[4] Petrik Matanasi. 2020. “Kontroversi Kelahiran Sareka Islam dan Hari Kebangkitan Nasional”. https://tirto.id/kontroversi-kelahiran-sarekat-islam-dan-hari-kebangkitan-nasional-f5X7.
[5] Ricklefs. M. C. 2007. Sejarah Indonesia Modern. Jakarta: Serambi Ilmu Semesta.
Tim Ruang Klasik
Instagram: @ruangklasik_
TikTok: @ruangklasik_
*Tulisan merupakan hasil kerja sama Historical Meaning dengan Ruang Klasik. Diterbitkan kembali dengan sedikit penyuntingan. Tautan