Kota Grozny, pada awal abad ke-21, bukanlah kota yang layak untuk dihuni warganya. Sejauh mata memandang, hanya ada kehancuran dan kerusakan yang berserakan di mana-mana. Bangunan runtuh, jembatan putus, jalanan hancur, serta ketiadaan instalasi listrik, air, dan jaringan telekomunikasi, merupakan bukti nyata yang ditimbulkan dari dahsyatnya Perang Chechnya yang telah berlangsung selama bertahun-tahun. Mengutip sebuah pemberitaan The Washington Post, Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) menjuluki ibukota Chechnya ini sebagai most destroyed city on earth pada 2003, karena skala kerusakan yang ditimbulkan akibat perang.
Perang Chechnya, yang meletus pada 1994-1996 dan 1999-2000, merupakan tragedi yang terjadi akibat tidak ditemukannya titik kompromi dari dua kepentingan yang berbeda, yakni bangsa Chechen dan pemerintah Federasi Rusia. Pasca-keruntuhan Uni Soviet pada akhir 1991, bangsa Chechen memandang peristiwa tersebut sebagai momentum untuk merebut kemerdekaan yang sejak lama telah diidam-idamkan. Namun, pemerintah Federasi Rusia enggan membiarkan keruntuhan negerinya lebih lanjut dengan kemerdekaan Chechnya, setelah beberapa wilayah di Asia Tengah dan Eropa Timur berhasil memerdekakan diri.
Munculnya Aspirasi Kemerdekaan Bangsa Chechen
Buku Perang Chechnya tulisan Ari Subiakto dapat menjadi referensi awal bagi kita untuk melihat aspirasi kemerdekaan Chechnya. Merunut jauh ke belakang, aspirasi kemerdekaan bangsa Chechen bukanlah sesuatu yang muncul secara tiba-tiba. Bangsa Chechen sudah sejak lama menghendaki kembali kemerdekaan yang dahulu dimiliki oleh negerinya.
Sejak abad ke-18, negeri Chechnya telah kehilangan kemerdekaannya, sebagai akibat aneksasi yang dilakukan oleh Kekaisaran Rusia. Aneksasi tersebut hanya sebuah bagian kecil dari ambisi besar pemerintahan Tsar untuk menyaingi Kekuatan-Kekuatan Besar dunia, seperti Inggris dan Perancis, yang saat itu memiliki koloni di benua lain.
Usai dimasukkan ke dalam wilayah kekuasaan Tsar Rusia secara paksa, bangsa Chechen memulai episode sejarah yang baru, yang didominasi pengaruh Rusia. Menurut Subiakto, meski identitas bangsa Chechen tidak tercerabut seluruhnya, harus hidup di bawah dominasi bangsa lain sudah cukup untuk menggerus sedikit demi sedikit identitas nasional bangsa Chechen.
Represivitas yang diterima oleh bangsa Chechen kian memberat ketika rezim komunis menegakkan kekuasaannya. Gaya pemerintahan rezim komunis jauh lebih vulgar dalam menghapus identitas serta tradisi bangsa Chechen, yang dipandang tidak sesuai dengan semangat revolusi rezim komunis.
Keadaan tersebut kian memburuk ketika Josef Stalin memegang tampuk kekuasaan tertinggi Uni Soviet. Dilansir melalui video Konflik Berdarah Rusia dan Chechnya | Dari Lawan Menjadi Kawan yang diunggah kanal YouTube Hipotesa, bangsa Chechen dikenakan deportasi massal akibat dituduh berkolaborasi dengan pasukan Nazi. Deportasi massal tersebut mengharuskan bangsa Chechen untuk angkat kaki dan pergi ke daerah yang sama sekali tidak mereka kenal, seperti Siberia dan beberapa stepa di Asia Tengah. Di tempat tersebut, mereka harus memulai hidup baru, sembari mempertahankan identitas nasional mereka yang masih tersisa.
Setelah Stalin meninggal dunia pada 1953, para penggantinya mulai melakukan koreksi atas praktik terhadap bangsa Chechen. Mereka, yang telah tercerai-berai di berbagai negeri yang jauh, kini dipulangkan kembali ke negeri Chechnya.
Meski telah kembali ke tanah air mereka, tidak serta merta masalah yang ada dapat teratasi. Kini, mereka harus menghadapi masalah baru, yakni kenyataan bahwa negeri Chechnya telah dihuni oleh para pendatang etnis Rusia yang sengaja didatangkan oleh pemerintahan Stalin. Bangsa Chechen harus menerima kenyataan pahit, bahwa mereka menjadi masyarakat kelas dua di negerinya sendiri. Alhasil, konflik horizontal antara bangsa Chechen dan pendatang etnis Rusia tak terhindarkan
Oleh karena itu, tidak mengherankan bahwa ketika rezim komunis kolaps dan runtuh pada akhir 1991, bangsa Chechen memandang peristiwa tersebut sebagai momentum untuk menegakkan kembali martabat mereka, merebut kembali kemerdekaan yang telah direnggut sejak dua abad silam. Mengutip Yekaterina Sinelschikova dalam artikel Mengenang Perang Chechnya I: Peristiwa Tragis Pasca-Uni Soviet, adalah seorang Dzhokhar Dudayev, eks mayor jenderal Uni Soviet, yang berupaya merealisasikan aspirasi nasional bangsanya.
Konflik Pertama
Dalam buku Perang Chechnya, Subiakto menguraikan bahwa usai berhasil menyingkirkan para lawan politiknya dan menegakkan stabilitas keamanan Chechnya, Dudayev memproklamasikan kemerdekaan Chechnya pada 1993. Negara baru itu secara resmi dikenal sebagai Republik Islam Ichkeria. Proklamasi kemerdekaan diikuti dengan penataan ulang administrasi pemerintahan yang memungkinkan bangsa Chechen untuk memegang jabatan-jabatan publik dan mengelola jalannya pemerintahan.
Proklamasi kemerdekaan yang didengungkan Dudayev mendapat respon keras Moskow. Pemerintah Federasi Rusia menyatakan darurat nasional dan menyiagakan angkatan perangnya di perbatasan Chechnya, semari terus memasok bantuan persenjataan dan dana kepada kelompok oposisi Chechnya pro-Moskow.
Upaya yang ditempuh pemerintah Federasi Rusia selama lebih dari setahun tersebut membuahkan hasil yang diharapkan. Pemerintahan Dudayev tetap tidak tergoyahkan. Malah, Dudayev semakin memantapkan kekuasaannya di Chechnya.
Kondisi ini memaksa Moskow menggunakan cara frontal sebagai jalan terakhir untuk menggugurkan negara baru tersebut. Pada Desember 1994, pemerintah Federasi Rusia secara resmi menggulirkan invasi militer ke Chechnya, menandai berkobarnya Perang Chechnya I.
Perang Chechnya I merupakan gambaran nyata dari kisah David vs Goliath, ketika kekuatan yang bertikai tidak seimbang. Pasukan Chechnya, dengan segala keterbatasannya, harus berhadapan dengan militer Rusia yang digdaya dengan segala sumber daya yang dimilikinya.
Pada mulanya, Perang Chechnya I diprediksi hanya akan berlangsung sebentar, mengingat ketidakseimbangan kekuatan antara dua pihak yang bertikai. Indikasi ini semakin menguat. ketika ibukota Grozny jatuh ke tangan tentara Rusia pada permulaan 1995, dan Presiden Dudayev beserta jajaran pemerintahannya harus menyingkir ke desa-desa di pegunungan Chechnya.
Namun, seiring berjalannya waktu, bangsa Chechen sanggup bertahan menghadapi invasi Rusia. Metode perang gerilya dan sabotase menjadi senjata ampuh dalam menghadapi militer Rusia yang dominan. Para komandan lapangan seperti Aslan Maskhadov, Shamil Basayev, dan Zelimkhan Yandarbiyev, mampu membuat pasukan Rusia kalang-kabut, sehingga pada bulan Agustus 1996, Perjanjian Khasav-Yurt ditandatangani, mengakhiri Perang Chechnya I. Detail mengenai Perang Chechnya I dapat dibaca lebih dalam melalui artikel Perang Chechnya I (1994-1996), Titik Nadir Militer Rusia Pasca Perang Dingin tulisan Victor Sanjaya.
Terpantiknya Konflik Kedua
Usai berakhirnya Perang Chechnya I, tugas nasional yang menanti pemerintahan Chechnya yang baru adalah melakukan rekonstruksi pascaperang, membangun kembali Chechnya yang porak-poranda. Pemerintah Chechnya kini dipimpin oleh Aslan Maskhadov. Pemerintahan Maskhadov menjalin kerja sama yang erat dengan pemerintah Rusia, untuk mengupayakan pembangunan kembali Chechnya.
Keberhasilan pemerintah Chechnya dalam membendung invasi Rusia dengan kemampuan mereka untuk menegakkan stabilitas keamanan pascaperang merupakan dua hal yang berbeda. Meski perang telah usai, kekacauan, teror, dan serangkaian pembunuhan masih terus berlangsung di seluruh negeri Chechnya. Tidak sedikit pejabat pemerintahan Rusia yang ada di Chechnya menjadi target pembunuhan kelompok-kelompok militan yang tersebar di Chechnya.
Mengutip Subiakto dalam buku Perang Chechnya, kegagalan pemerintah Chechnya dalam menegakkan stabilitas keamanan menjadi perhitungan bagi Moskow untuk menentukan langkah selanjutnya, yakni apakah membiarkan Chechnya membangun negara barunya, atau memaksakan kembali intervensi ke negeri itu.
Ketika milisi pimpinan Shamil Basayev dan Amir Khattab menerobos masuk ke negara bagian Dagestan dan menimbulkan kekacaua, pemerintah Federasi Rusia akhirnya memberikan ultimatum kepada pemerintah Chechnya untuk menertibkan gerakan-gerakan pengacau tersebut. Namun, pemerintahan Maskhadov gagal menertibkan mereka. Kegagalan tersebut menjadi alasan bagi pemerintah Federasi Rusia untuk mengobarkan Perang Chechnya II.
Dalam perang episode kedua ini, pemerintah Federasi Rusia belajar banyak dari pengalaman sebelumnya. Selain menerapkan taktik militer yang lebih efektif, pemerintah Federasi Rusia juga menggunakan pendekatan politik untuk memecah belah kesatuan Chechnya dari dalam. Pemerintah Federasi Rusia, yang kini dipimpin oleh Vladimir Putin, menjalin kerja sama dengan salah satu tokoh terkemuka Chechnya, Akhmad Haji Kadyrov, ayah dari Ramzan Kadyrov yang kini menjadi pemimpin Chechnya.
Kombinasi taktik militer yang efektif dan pendekatan politik yang jitu, menghasilkan hasil yang brilian bagi pemerintah Federasi Rusia. Secara mutlak, kekuatan angkatan perang Chechnya berhasil dihancurkan. Kini, kabinet pemerintahan Maskhadov menjadi segerombolan pelarian politik yang tak berarti.
Pada tahun 2000, Republik Islam Ichkeria secara resmi telah dihapus dari peta dunia, disusul dengan kembalinya Chechnya sebagai salah satu negara bagian dalam Republik Federasi Rusia.
Penutup
Meski mimpi kemerdekaan bagi bangsa Chechen terkubur kembali, pengalaman berdarah selama enam tahun peperangan memberikan pelajaran penting kepada pemerintah Federasi Rusia. Mereka mulai mengelola wilayah Chechnya dengan lebih baik, menyingkirkan praktik-praktik diskriminasi seperti yang terjadi pada masa sebelumnya.
Kini, Chechnya berhasil menata kembali dirinya, setelah terpuruk dalam kehancuran yang diakibatkan perang yang kejam. Pembangunan fisik serta pertumbuhan ekonomi senantiasa diupayakan oleh pemerintah otonom Chechnya untuk meningkatkan taraf hidup rakyat Chechnya dari masa-masa sebelumnya.