Antara Kestabilan atau Kekayaan: Perbandingan Modal Kepemilikan Klub di Bundesliga dan Premier League

Sebagai cabang olahraga paling populer di dunia, sepak bola tidak hanya sekadar permainan 90 menit semata. Ia telah berkembang menjadi sebuah fenomena sosial, budaya, dan ekonomi paling berpengaruh dalam sejarah modern.

Terlebih, kehadiran dua pemain terbaik sepanjang masa, Lionel Messi dan Cristiano Ronaldo, membuat posisi sepak bola sebagai fenomena semakin melesat. Meski sering memantik perdebatan, keduanya telah mengangkat level sepak bola, yang tadinya hanya sebuah pertandingan antarklub, menjadi sebuah industri bernilai fantastis.

Ilustrasi 50+1 dalam Bundesliga, courtesy of Kumparan

Melihat lanskap sepak bola Eropa, dua dari lima liga utama benua tersebut (dikenal sebagai top five league in the world), yakni Bundesliga di Jerman dan Premier League di Inggris, memiliki pengaruh yang sangat besar. Keduanya juga tampil sangat mencolok. Bundesliga tampil dengan model kepemilikan 50+1 rule, sementara Premier League didominasi investor swasta.

Dari kedua model ini, manakah yang lebih efektif dalam menghasilkan kesuksesan jangka panjang, baik dari segi finansial, prestasi di lapangan, maupun dalam menjaga hubungan emosional dengan fans?

Riwayat Model Kepemilikan Klub di Bundesliga dan Premier League

Untuk memahami dampak model kepemilikan pada kesuksesan klub, kita perlu menelusuri sejarah dan filosofi di balik kebijakan kepemilikan di Bundesliga dan Premier League. Bundesliga menerapkan aturan yang disebut 50+1 rule sejak tahun 1999. Aturan ini mengharuskan mayoritas saham klub dimiliki oleh anggota atau suporter klub.

Dasar filosofi aturan ini adalah untuk melindungi integritas olahraga dari komodifikasi yang berlebihan. Ia diharapkan dapat memastikan bahwa sepak bola tetap milik komunitas, bukan sekadar alat untuk menghasilkan keuntungan bagi investor swasta.

Suara suporter klub Bundesliga menyuarakan 50+1, courtesy of Sediksi

Model 50+1 rule tercipta melalui sejarah panjang sepak bola di Jerman. Di negara tersebut, klub-klub sepak bola dibentuk dan dikelola oleh komunitas lokal sebagai simbol identitas daerah.

Baca Juga  Antara Keadilan dan Pengurangan Otoritas: Polemik Penggunaan VAR dalam Permainan Sepak Bola

Tidak mengherankan, jika para pendukung klub di Bundesliga memiliki hak suara yang sama kuatnya dalam pengambilan keputusan strategi, mulai dari penunjukan pelatih hingga kebijakan transfer pemain.

Sebaliknya, Premier League tidak memberikan batasan yang signifikan terkait kepemilikan swasta. Setelah perubahan besar yang dimulai pada akhir 1990-an, banyak klub di Premier League mulai diakuisisi oleh konglomerat kaya atau investor asing.

Roman Abramovich, pemilik lama klub Premier League Chelsea, courtesy of Bola – TEMPO.co

Salah satu momen penting dalam sejarah Premier League adalah saat keluarga Glazer membeli Manchester United pada tahun 2005. Ini memicu kontroversi besar di kalangan penggemar klub dengan julukan Setan Merah tersebut, karena akuisisi berbasis utang (leveraged buyout).

Model melalui modal swasta menggambarkan bahwa sepak bola Inggris lebih berorientasi pada pasar. Investor bebas memasukkan modal dalam jumlah besar untuk memperoleh kendali penuh atas klub.

Perlu diakui, keputusan penjualan saham klub kepada investor asing telah mendorong pertumbuhan finansial yang pesat, menjadikan Premier League sebagai liga paling seksi di dunia. Tetapi, kebijakan tersebut telah menimbulkan risiko baru, terutama perihal ketergantungan kepada satu atau dua individu yang memiliki kuasa penuh atas klub.

Kestabilan Keuangan atau Berkapital Besar?

Perbedaan filosofis antara model kepemilikan klub dalam Bundesliga dan Premier League menjadi fondasi bagi masing-masing liga untuk berkembang secara struktural.

Dari segi finansial, end product dari kedua liga tersebut menawarkan model yang kontras. Bundesliga, dengan aturan 50+1, dikenal sebagai liga yang lebih berhati-hati dalam pengelolaan keuangan. Klub-klub seperti Bayern Munich dan Borussia Dortmund menjaga stabilitas finansial dengan model bisnis yang solid. Mereka mengandalkan pendapatan dari hak siar, sponsorship, dan penjualan merchandise, sambil tetap mempertahankan kontrol suporter.

Bayern Munich, klub yang tetap bisa stabil meski dilanda pandemi COVID-19, courtesy of FC Bayern

Bayern Munich, meski mereka memiliki beberapa investor besar seperti Adidas, Audi, dan Allianz, mereka tetap dikendalikan oleh anggota klub yang memegang mayoritas suara. Model seperti ini tentu berguna untuk memastikan bahwa keputusan-keputusan penting klub diambil dengan mempertimbangkan kepentingan jangka panjang klub, bukan hanya keuntungan jangka pendek saja.

Baca Juga  Pedagang atau Ulama? Membaca Kembali Proses Islamisasi di Nusantara

Kita dapat melihat bukti stabilitas finansial klub-klub Bundesliga selama pandemi COVID-19. Laporan keuangan Bundesliga pada musim 2022/2023 menunjukkan bahwa meski ada penurunan pendapatan sekitar 20%, sebagian besar klub masih bisa bertahan tanpa harus menjual pemain utama mereka atau mengambil utang besar. Bayern Munich, sebagai contoh, meski pendapatan siaran mereka turun €48 juta dari tahun sebelumnya, tetapi stabilitas sistem yang mereka jalankan telah berhasil membuat mereka bertahan.

Di sisi lain, Premier League, dengan model kepemilikan swasta, telah memungkinkan klub untuk mendapatkan suntikan modal dalam jumlah yang besar. Menurut Deloitte Football Money League 2024, pendapatan total Premier League mencapai lebih dari €6,1 miliar, jauh melampaui liga-liga lain di Eropa.

Ilustrasi investor dalam sepak bola. Klub-klub Premier League yang bergantung pada investor asing memungkinkan mereka untuk mendapatkan suntikan dana lebih besar

Namun, model kepemilikan klub-klub Premier League memiliki kelemahan yang mencolok. Saat seorang investor memutuskan untuk hengkang atau menghadapi masalah finansial, klub sering kali terjebak dalam situasi yang sulit. Contoh paling jelas adalah Chelsea di bawah Roman Abramovich, yang harus menghadapi sanksi ekonomi ketika Abramovich terkena dampak konflik geopolitik antara Rusia dan Barat. Situasi ini memaksa Chelsea untuk beradaptasi dengan manajemen baru di tengah ketidakpastian keuangan.

Loyalitas Suporter, antara Ikatan Emosional atau Sekadar Konsumen

Salah satu aspek yang sering kali terabaikan dalam diskusi tentang model kepemilikan klub adalah dampaknya terhadap loyalitas suporter. Di Bundesliga, suporter memiliki peran sentral dalam pengelolaan klub. Ini menciptakan ikatan emosional yang lebih dalam antara klub dan komunitas lokal atau daerah setempat.

Model 50+1 memastikan bahwa keputusan-keputusan penting, seperti pengangkatan manajemen atau kebijakan transfer, melibatkan suporter secara langsung. Ini memberikan rasa memiliki yang lebih kuat dan menciptakan budaya yang lebih inklusif di sekitar klub.

The Yellow Wall, fans fanatik Borussia Dortmund yang siap mendukung tim kesayangan mereka di mana pun, courtesy of Bola.net

Sebagai dampak yang paling terlihat, Bundesliga selama ini terkenal dengan atmosfer stadion yang sangat hidup. Stadion yang menjadi markas Borussia Dortmund, Signal Iduna Park, seringkali terisi penuh, dengan lebih dari 80.000 suporter setiap pekan. Ini menciptakan atmosfer yang terkenal dengan istilah The Yellow Wall.

Sedangkan di Premier League, suporter sering kali merasa terasing dari proses pengambilan keputusan klub mereka. Dengan kepemilikan swasta yang dominan, banyak keputusan besar diambil oleh pemilik tanpa berkonsultasi dengan suporter. Hal ini seringkali menimbulkan ketegangan antara suporter dan manajemen.

Demonstrasi fans klub bola Manchester United atas keluarga Glazer, courtesy of BBC

Kita dapat melihat contoh ini dalam protes besar-besaran terhadap keluarga Glazer di Manchester United, atau Roman Abramovich di Chelsea. Masalah kedua klub tersebut sama, yakni demonstrasi suporter karena klub mereka terlalu sering gonta-ganti pelatih dan blunder dalam membeli pemain.

Baca Juga  Ada Apa dengan “Sepatu” van Gogh?

Pada akhirnya, model 50+1 yang dilakukan oleh Bundesliga menawarkan kestabilan finansial, loyalitas suporter yang kuat, dan keterlibatan komunitas yang tinggi. Sementara, Premier League, dengan model kepemilikan swasta, memberikan fleksibilitas finansial yang luas dan kemampuan untuk mendatangkan pemain top dunia. Kedua sistem memiliki kekuatan yang mencolok, menjadikan mereka menjadi salah satu liga sepak bola terbaik di dunia ini.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *