Pada 2012, Petugas Imigrasi Bali membubarkan kegiatan yang dilakukan lebih dari seratus kaum hippies di pegunungan Kintamani, Bangli. Kegiatan yang bertajuk “Awardance for Peace” tersebut dibubarkan karena tidak mengantongi izin. Menurut Ida Bagus K. Adnyana, kepala Imigrasi Bali saat itu, dikatakan bahwa acara tersebut terselenggara atas komunikasi yang dilakukan melalui media jejaring sosial Facebook, dan dua dari tiga hippies yang diperiksa langsung dideportasi karena menyalahgunakan izin visa mereka.
Bagi mereka yang berkecimpung dalam industri pariwisata di Bali dewasa ini, keberadaan hippies dianggap tidak banyak menguntungkan dewasa ini. Mereka jarang sekali mengeluarkan uang mereka, dan dalam beberapa kasus, mereka bahkan tidak memiliki uang sama sekali ketika berkunjung ke Bali. Bagi masyarakat yang tinggal di wilayah pariwisata, keberadaan para hippies merupakan penyakit masyarakat yang perlu segera ditangani. Sejak kapan kaum hippies membanjiri pariwisata Bali? Tulisan singkat ini akan membahas mengenai keberadaan mereka.
Seiring dengan penyusunan kembali pariwisata Indonesia oleh SCETO dan pemerintah pusat di Jakarta pada akhir 1960-an dan awal 1970-an, wisatawan mulai membanjiri wilayah selatan Bali untuk berwisata. Salah satu wilayah di selatan Bali, yakni Kuta, memiliki daya pikat berupa pantai yang eksotis dan keberadaan ombak yang besar, serta telah dimunculkan dalam promosi pariwisata Bali pada 1930-an oleh Robert Koke dan Ktut Tantri, dipenuhi dengan wisatawan dengan dana seadanya dan penampilan, yang jika dibayangkan dengan sebutan mereka kemudian, layaknya seorang gelandangan.
Keberadaan mereka, yang kemudian dikenal sebagai hippies atau turis kere atau turis gembel, menghidupkan geliat pariwisata di wilayah Kuta. Warga sekitar, yang awalnya berprofesi sebagai petani dan nelayan, mulai membangun home stay atau penginapan yang menyatu dengan rumah untuk mereka, dengan harga yang terjangkau. Ini juga mendorong harga tanah di wilayah Kuta meroket, dan investasi pariwisata di wilayah ini tumbuh pesat. Berbagai kios kesenian (art shop), butik, fasilitas pariwisata, dan pedagang acung, tumbuh dan bermunculan di Kuta.
Keberadaan hippies, selain menimbulkan keuntungan bagi warga sekitar, juga memberikan masalah dan kecemasan. Pemerintah daerah, dalam hal ini Pemprov Bali, mencemaskan keberadaan hippies yang dianggap dapat menggerus keberadaan norma sosial dan kebudayaan lokal penduduk Kuta, khususnya mereka generasi muda. Dalam laporan resmi yang diterbitkan pada 1973, dan diterbitkan secara berseri dalam harian Bali Post pada akhir September hingga awal Oktober, menyatakan bahwa hippies, yang dekat dengan penyalahgunaan narkoba dan seks bebas, atau dalam tulisan disebut dengan istilah “sun, sea, sex and smoke”, merupakan sesuatu yang membahayakan kebudayaan Bali dan dengan mudah dapat ditiru oleh generasi muda Bali, khususnya mereka yang dekat dengan pariwisata dan pendidikan model barat.
Berbagai tindakan dilakukan untuk menangani masalah dan keberadaan para hippies. Pemerintah melakukan beberapa tindakan, seperti menerbitkan peraturan yang mewajibkan wisatawan untuk berpakaian sopan ketika memasuki pura, penggerebekan mereka yang berjemur di pantai dan para pengguna narkoba, hingga penerangan mengenai norma kepada warga desa di wilayah pariwisata, desa, dan banjar.
Meskipun telah berbagai upaya dilakukan untuk memberantas kebaradaan hippies, mereka masih tetap membanjiri wilayah selatan Bali, khususnya Kuta. Terlebih, ketika pariwisata Bali dibangun dengan pendekatan pariwisata yang bersifat “elit” berkantong tebal, yang tidak memungkinkan bagi masyarakat lokal untuk mendapatkan kue dollar dari pariwisata model ini, keberadaan hippies menjadi jalan bagi masyarakat lokal untuk berperan dan merebut jatah dollar bagi kehidupan mereka, dengan ancaman sosial dan kebudayaan yang, bisa dikatakan, tidak banyak mereka sadari.
Sumber
[1] “Imigrasi Bali Bubarkan Acara Hipies”. https://www.liputan6.com/news/read/407068/imigrasi-bali-bubarkan-acara-hipies.
[2] “Critical, social problems of Kuta”. Bali Post International. 6 Desember 2011.
[3] Picard, Michel . 1996. Bali; Cultural Tourism and Touristic Culture. Singapore : Archipelago Press.
[4] Anonim. 1973. “Hippies dan Hubungannya dengan Kepariwisataan di Bali” dalam Bali Post, 19 September [I]; 21 September [II]; 25 September [III]; 26 September [IV]; 28 September [V]; 1 Oktober [VI – Habis].
[5] Blanche, Ed. 1970a. “Bali Wants Tourist’s Dollar” dalam Poughkeepsie Journal, 27 Desember.
[6] Blanche, Ed. 1970b. “Paradise Losing Unspoiled Charm” dalam Somerset Daily American. 28 Desember.
Bacaan lebih lanjut:
[1] Mabbeth, H. 1987. In Praise of Kuta. Wellington : January Books.
[2] Vickers, Adrian . 2012 [1989]. Bali: A Paradise Created. Singapore : Tuttle Publishing.