Menjelang pemilu serentak 2024, dunia perpolitikan Indonesia semakin dinamis. Situasi politik menjadi kian dramatis, ketika putra sulung Presiden Joko Widodo (Jokowi), Gibran Rakabuming Raka, maju menjadi cawapres berpasangan dengan Prabowo Subianto. Hal tersebut sontak memicu kehebohan dan menimbulkan kontroversi di kalangan publik.
Sebagian publik menilai bahwa apa yang dilakukan keluarga Jokowi adalah praktik nepotisme dan sebuah upaya membangun dinasti politik. Namun, melansir pemberitaatn Kompas, Presiden Jokowi berdalih bahwa apa yang dilakukannya bukanlah politik dinasti, sebab hasil keputusannya tetap ditentukan secara demokratis, bukan oleh sejumlah elit.
Apa sebenarnya yang dimaksud politik dinasti? Apakah politik dinasti adalah hal baru yang dilakukan oleh Jokowi dan keluarganya? Atau, politik dinasti justru telah menjadi budaya yang sudah mengakar begitu lama dalam sistem demokrasi kita di Indonesia?
Kritik para Filsuf
Mengutip artikel Fazri Maulana yang berjudul Politik Dinasti atau Dinasti Politik?, politik dinasti adalah kekuasaan politik yang dipegang oleh orang yang masih memiliki hubungan keluarga. Dalam sistem monarki, hal tersebut merupakan sebuah kelaziman. Namun, ketika dilakukan dalam sistem demokrasi, politik dinasti justru memicu kontroversi.
Kendati politik dinasti adalah hal yang lazim dalam sistem monarki, sistem tersebut mendapatkan berbagai suara kritik. John Locke, filsuf Inggris, dan Immanuel Kant, filsuf Jerman, menjadi dua tokoh utama pengkritik politik dinasti. Locke, yang hidup dalam kekuasaan monarki Inggris, melancarkan serangan terhadap monarki absolut. Ia juga menjadi pioner pemerintahan berlandaskan demokrasi.
Dalam buku Sejarah Filsafat Barat karya Bertrand Russell, sebagai upaya mengkritik monarki absolut, John Locke menulis dua karya yang diberi judul yang sama, Treatise on Government. Risalah ini ditujukan untuk menanggapi karya Sir Robert Filmer, seorang pendukung monarki absolut, yang berjudul Patriarcha.
Filmer mengatakan bahwa kekuasaan seorang raja diwariskan dari Nabi Adam, sebagai manusia pertama di dunia, atas perkenan Tuhan. Oleh karenanya, Filmer beranggapan bahwa sang raja memiliki hak suci dan kekuasaan ilahiah. Locke menanggapi argumen Filmer dengan mengatakan bahwa kekuasaan bersifat temporal. Karena itu, pewarisan kekuasaan politik adalah sesuatu yang ilegal.
Immanuel Kant, sebagaimana Locke, juga seorang pendukung demokrasi. Hans Fink, dalam buku Filsafat Sosial, mengatakan bahwa Kant memandang dinasti politik sebagai sebuah penyimpangan. Namun, agaknya Kant melontarkan kritik terhadap monarki absolut, karena kemudian ia mengatakan bahwa monarki konstitusional memiliki manfaat yang besar.
Jika politik dinasti adalah sesuatu yang dipersoalkan dalam sistem pemerintahan monarki, tidak heran jika hal tersebut ditentang dan menjadi kontroversi dalam sistem demokrasi.
Kultur Feodal yang Sudah Mengakar
Indonesia, meski menjadi salah satu negara yang menganut sistem pemerintahan demokratis, tetap membudayakan dinasti politik atau kekuasaan secara turun-temurun. Hal tersebut, barangkali, merupakan kultur yang diwariskan dari sistem pemerintahan pada masa kerajaan Hindu-Buddha dan Islam yang berlandaskan azas monarki.
Sri Margana, dalam sebuah artikel yang diterbitkan Historia, mengatakan bahwa politik dinasti bukan hanya sebuah fenomena semata. Ia sudah menjadi tradisi yang mendarah daging. Menurutnya, kultur feodalisme di Indonesia sudah diterapkan sejak lama, dan diterapkan dalam hampir setiap kerajaan Hindu-Buddha maupun Islam. Tradisi ini, meski telah melewati perjalanan sejarah yang panjang, sulit dihilangkan.
Sri Margana juga mengatakan bahwa terdapat jurang antara jalan politik yang dipilih oleh bangsa Indonesia modern dengan kultur yang dibawa oleh orang-orang yang menjalankannya. Sistem pemerintahan mungkin saja demokrasi, tetapi secara kultural, masih sangat feodal. Hal tersebut tentunya berbenturan dan menjadi kontradiktif.
Pandangan lain dalam sebuah artikel yang diterbitkan The Conversation menyebutkan bahwa politik dinasti adalah konsekuensi dari prinsip demokrasi itu sendiri. Prinsip demokrasi yang menjunjung tinggi kesetaraan kepada setiap orang untuk memiliki kesempatan menduduki kekuasaan tampaknya menjadi bumerang bagi sistem tersebut.
Di Indonesia sendiri, praktik politik dinasti mulai mencuat pada masa Orde Baru. Kekuasaan Suharto membawa serta keluarganya masuk ke lingkaran politik. Jabatan Menteri Sosial tahun 1998, sebagai contoh, dipegang oleh putrinya sendiri, Siti Hadiati Rukmana. Jabatan strategis lainnya juga dikuasai oleh kerabat Suharto.
Gejala dinasti politik dapat dilihat dalam perpolitikan Jokowi masa kini. Ketika Jokowi berkuasa untuk kedua kalinya, keluarganya ada yang menjabat sebagai ketua Mahkamah Konstitusi, ketua umum partai, dan wali kota. Bisa dikatakan, Jokowi meneruskan kultur feodal yang telah diwariskan sejak lama.
Pro Kontra Politik Dinasti
Kendati politik dinasti menimbulkan kritik, ia juga memantik suara dukungan. Sebagian kalangan menilai bahwa politik dinasti yang dilakukan Jokowi adalah hal yang lazim dan masih sesuai dengan prinsip demokrasi, yang menjamin setiap orang untuk memiliki hak dan kesempatan yang sama.
Dalam skripsi berjudul Politik Dinasti di Indonesia Ditinjau Dari Perspektif Hak Asasi Manusia Berdasarkan Putusan MK nomor 33/PUU-XIII/2015, Novia Handayani mengatakan bahwa Mahkamah Konstitusi menilai pembatasan hak politik seseorang merupakan tindakan diskriminatif dan inkonstitusional. Dalam hal ini, Mahkamah Konstitusi seakan mengamini politik dinasti di Indonesia.
Akademisi Universitas Padjajaran, Yogi Suprayogi Sugandi, mengatakan bahwa selama tidak ada peraturan yang dilanggar, politik dinasti tidak perlu dikhawatirkan. Ia lantas mengaitkannya ke dalam perspektif hak asasi manusia (HAM), yang menyatakan bahwa setiap warga negara berhak memilih dan dipilih.
Akademisi Universitas Gadjah Mada, Adi Dwipayana, justru memandang politik dinasti memiliki dampak buruk terhadap demokrasi. Dwipayana, sebagaimana dikutip melalui artikel Pengaruh Dinasti Politik terhadap Perkembangan Demokrasi Pancasila di Indonesia yang ditulis Alvina Alya Rahma dkk., mengatakan bahwa politik dinasti menyebabkan terjadinya praktik korupsi, kolusi, nepotisme (KKN) dan melemahkan fungsi kontrol kekuasaan.
Mata Rantai yang Sulit Diputus
Bagaimana memutus rantai dinasti politik di Indonesia, yang dikhawatirkan akan berujung pada oligarki politik? Sulit untuk melakukan hal tersebut. Terlebih, masyarakat Indonesia masih belum memiliki pengetahuan politik yang matang, sehingga mereka masih mendukung calon pemimpin dengan cara pandang tradisonal, layaknya memilih seorang penguasa lokal. Bagi mereka, calon pemimpin dilihat dari kebiasaan keluarga ketika memilih alih-alih melihat visi serta misi kandidat.
Jika politik dinasti terus dibiarkan tumbuh subur, kematian demokrasi akan menjadi hal yang niscaya. Kendati sah dalam sistem demokrasi, secara perlahan-lahan, politik dinasti akan menabrak demokrasi itu sendiri, serta membuka gerbang bagi sistem feodalisme di Indonesia.