Sebuah meme memantik perhatian saya. Meme yang diterbitkan oleh halaman Facebook “Central of Unintern Shitposting” menampilkan kisah seorang anak muda yang merayakan HUT RI dengan berteriak lantang, “Merdeka!” Tanpa ia ketahui, kakeknya, yang hidup pada masa perjuangan, membocorkan markas tentara republik kepada NICA. “Mereka lari ke arah sana, tuan menner[sic],” ungkap sang kakek.
Postingan tersebut mendapatkan 1.500 reaksi, 236 komentar, dan 358 share sejak diterbitkan pada 11 Agustus 2023. Mereka, yang menikmati meme tersebut, berpendapat bahwa hal tersebut sebagai hal yang baru, yang tidak pernah diajarkan sejarah. Mereka kompak bersuara bahwa masa revolusi bukanlah masa yang heroik, dan tidak semua orang dapat disematkan gelar pahlawan pada masa tersebut.
Benarkah demikian? Mengutip artikel Abdul Wahid yang berjudul the untold story of the Surabaya battle of 1945, periode revolusi Indonesia (1949-1949) dikonstruksikan sebagai “periode yang sakral” dalam historiografi Indonesia. Kisah kekerasan yang dilakukan tentara republik terhadap kelompok minoritas, terutama etnis Tionghoa dan Indo, disembunyikan dari pandangan publik.
Pandangan serupa juga dikisahkan oleh Petrik Matanasi. Melalui artikel Kebrutalan Mayor Sabarudin, Si Macan Sidoarjo, ia menggambarkan bagaimana seorang Mayor Sabarudin yang melakukan pembantaian demi pembantaian tanpa mengenal belas kasihan.
Melihat pendapat Wahid dan Matanasi, dapat dikatakan bahwa periode revolusi bukanlah periode yang menempatkan seluruh masyarakat Indonesia sebagai “pahlawan” atau “pejuang pembela kemerdekaan”. Banyak dari mereka ambil bagian sebagai pendukung pasukan Belanda. Bahkan, sebagian besar rakyat Indonesia justru hidup dengan kondisi serba melarat karena kesulitan ekonomi sebagai dampak perang.
Pada akhirnya, historiografi Indonesia, khususnya sejarah yang diajarkan kepada siswa sekolah menengah, perlu dirombak ulang. Sudah saatnya mereka mengenal kisah yang lebih netral dan objektif mengenai periode revolusi. Sudah saatnya pula untuk melepaskan warna “sakral” dalam penulisan sejarah konflik antara Indonesia dan Belanda.
Putu Prima Cahyadi
Surel: prima.cahyadi.p@mail.ugm.ac.id
Facebook: Prima Cahyadi
Instagram: @sudahluopa