Luka dan Tawa Transpuan dalam Romantisisme Yogyakarta

Judul BukuSejarah Waria Yogyakarta: Kisah Ketahanan Komunitas Terpinggir
PenulisMasthuriyah Sa’dan
PenerbitSUKA Press
Kota TerbitYogyakarta
Tahun Terbit2024
Halaman244 halaman
ISBN978-623-7816-92-8

Waria (berikutnya disebut transpuan, untuk mengurangi diskriminasi kepada mereka) sudah kadung menyandang makna negatif dalam benak masyarakat. Membicarakan mereka seolah memperbincangkan tubuh gemulai yang terjebak di tubuh lelaki.

Tubuh itu seringkali dipandang lacur dalam dekapan lelaki lain. Anggapan semacam ini seolah makin pekat ketika pelacur ditasbihkan sebagai profesi paling tua di dunia. Tak heran, pelacur, siapa pun dia, baik perempuan atau transpuan, selalu menjadi kelompok marjinal yang kerap dipandang sebatas selangkangan.

Namun, tidak demikian dalam buku Sejarah Waria Yogyakarta tulisan Masthuriyah Sa’dan. Masthuriyah, dengan kesadaran penuh, tidak tampil sebagai penulis yang berlagak sok suci. Dengan keberanian tinggi, ia menyuguhkan sisi lain Jogja.

Pada bagian pengantar saja, Masthuriyah, yang tengah menempuh studi doktor filsafat di Universitas Gadjah Mada ini, seolah memberi rambu-rambu sebelum melanjutkan perjalanan membaca. Ia mengungkapkan soal perbendaharaan kata antara waria dan LGBTQ yang jamak ditemui di masyarakat, yang sering menganggap keduanya sebagai sesuatu yang sama. Padahal waria adalah identitas gender, sementara lesbian dan gay adalah orientasi seksual.

Melalui pengantar tersebut, Masthuriyah menekankan jika waria dalam konteks studi gender adalah transpuan. Mereka adalah lelaki yang memiliki jiwa feminim. Penekanan terhadap perbedaan waria dan LGBT di awal merupakan sesuatu yang patut diapresiasi, mengingat kita kerap salah kaprah ketika membicarakan transpuan.

Membaca Perjalanan Komunitas Transpuan, Membaca Kehidupan

Yogyakarta dan transpuan tak ubahnya dua sisi koin mata uang logam. Mereka selalu bersanding bersama, tak pernah terpisahkan. Yogya seolah membuktikan diri, jika sebutan daerah istimewa bukan sekadar lambang identitas untuk menaikkan pamor semata. Yogya benar-benar menerima siapa saja, termasuk para transpuan.

Baca Juga  Ketika Sukarno Lebih Mementingkan Politik Ketimbang Isi Perut Masyarakat

Situasi dan sejarah pada dekade 1980-an seolah menjadi lembaran baru bagi para transpuan. Kala itu, mereka yang kerap disapa wadam (Hawa Adam) atau wandu ini kerap berkumpul pada malam Minggu di sekitaran Malioboro, stasiun, atau alun-alun.

Perkumpulan ini diinisiasi oleh Mami Topo. Di kalangan para transpuan Yogyakarta, Mami Topo adalah sosok senior yang amat disegani. Lambat laun, mereka akhirnya sepakat membentuk perkumpulan dengan nama Gado-Gado Wadam yang diketuai Yoyok Aryo.

Seiring perjalanan waktu, komunitas transpuan melakukan pergantian pengurus. Tak jarang, perbedaan pendapat yang disertai cekcok mulut menghiasi perjalanan mereka. Sebagaimana pendirian komunitas lain, memang tak mudah menjaga komitmen bersama. Tak heran, jika komunitas transpuan Yo0gyakarta mengalami pasang surut hingga terpecah-belah.

Belakangan, komunitas transpuan muncul dan berdiri sendiri-sendiri seiring masuk-keluarnya anggota. Ada yang memiliki dasar hukum, seperti Yayasan KEBAYA (Keluarga Besar Waria Yogyakarta), atau sekadar organisasi yang memiliki visi misi sosial. Meski tak lagi menjadi satu naungan organisasi, kita dapat melihat bagaimana pokok-pokok perjalanan transpuan Yogyakarta, yang menyimpan berbagai persoalan yang begitu kompleks.

Selaku kelompok marjinal yang rentan mengalami penindasan, para transpuan kerap mengalami masalah soal ekonomi. Prinsip mereka amat sederhana; apa pun pekerjaannya, entah sebagai PSK, pengamen, bekerja di salon rambut, atau perias pengantin, pekerjaan satu hari adalah untuk menyambung hidup pada hari tersebut. Tak heran, jika banyak transpuan lansia yang kesulitan ekonomi pada hari tua, ketika sakit, atau saat meninggal dunia.

Di sinilah, kehadiran komunitas transpuan begitu bermakna. Mereka akan membantu mengurus kebutuhan para transpuan, mengingat tidak sedikit transpuan yang menjadikan Yogyakarta sebagai “rumah” setelah lari dari keluarga sendiri.

Yogyakarta Adalah Rumah untuk Transpuan

Beberapa tahun belakangan ini, kita kerap disuguhi nuansa romantisme Yogyakarta di media sosial. Kadang, kita menemukan kisah getir yang dibagikan melalui reel Instagram. Tetapi, tak jarang kenangan manis menasbihkan Yogya sebagai puisi terindah yang pernah Tuhan hadirkan untuk anak manusia yang pernah menetap di sana.

Baca Juga  Ketika Evangeline Fox Membuat Perjanjian dengan Pangeran Hati

Hegemoni ini terus diwarisi dari hari ke hari. Banyak orang yang belum pernah ke Yogya menjadi terpincut untuk merasakan hangatnya Malioboro dan sekitarnya.

Disayangkan, romantisisme ini seolah menutupi ruang marjinal yang jarang terungkap dari tubuh Yogyakarta, ketika komunitas transpuan menjadikan Yogyakarta sebagai rumah. Rumah di sini bukan sekadar lanskap atap, dinding dan lantai, tetapi rumah yang bersedia mengulurkan tangan untuk merangkul, serta menjadikan tubuhnya untuk mendekap mereka yang terluka.

Lewat buku ini, kita akan merasakan efek melankolia serta intertekstual, yang membuat kita dapat membayangkan perjalanan hidup para transpuan di Yogyakarta. Jumlah mereka, yang tidak begitu banyak, seolah tiras yang datang dari sudut lain. Padahal, jika ditelusuri lebih lanjut, mereka adalah pejalan yang sedang bertahan di dalam rimba pertanyaan.

Tak sedikit dari mereka berasal dari luar Yogyakarta. Biasanya, mereka keluar dari rumah ketika kebingungan menyadari jiwa mereka tak selaras dengan tubuh yang dirasuki ruh. Dalam kebingungan ini, mereka terusir dari keluarga mereka sendiri, yang tak mau menerima kenyataan ketika anggota keluarganya “berbeda” dengan lain. Padahal, jika satu orang saja dari anggota keluarga itu merangkul transpuan, niscaya mereka akan menjawab dengan satu kalimat, kalau mereka sebetulnya tidak menginginkan lahir dengan keadaan tubuh dan jiwa yang demikian.

Akibat penolakan di usia muda inilah, mereka memilih keluar dari rumah dan menjadikan jalanan sebagai tempat tinggal. Tidak sedikit dari mereka yang memutuskan untuk pergi ke Yogyakarta, menetap di sana.

Bagi para transpuan, Yogyakarta adalah rumah yang lebih baik dari kota lain. Pemerintah Daerah serta institusi lainnya memperhatikan kehidupan mereka. Di hadapan Kota Yogyakarta, transpuan juga manusia. Di hadapan kota ini pula, latar belakang dan profesi yang digeluti tidak mengesampingkan wujud bakti.

Baca Juga  Setiap Manusia Butuh Berfilsafat

Ah, saya kira, membaca karya ke-5 dari Masthuriyah Sa’dan ini benar-benar membuka mata saya. Terlebih, literatur soal transpuan masih amat minim. Masthuriyah Sa’dan telah mencatatkan namanya di tengah rimba kepenulisan tentang transpuan Indonesia.

Percayalah, jika menunggu waktu untuk membaca, ia tidak akan pernah terlaksana. Waktu yang ditunggu tidak akan pernah ada dan datang begitu saja. Yang ada  hanyalah baca buku ini sekarang juga.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *