Judul Buku | Kemaharajaan Maritim Sriwijaya & Perniagaan Dunia Abad III – Abad VII |
Penulis | O. W. Wolters |
Penerbit | Komunitas Bambu |
Kota Terbit | Depok |
Tahun Terbit | 2011 |
Halaman | xiii + 361 halaman |
Penyelaras Bahasa | Edy Sembodo |
Dalam buku paket sejarah untuk kelas X terbitan Erlangga, diungkapkan bahwa Kerajaan Sriwijaya merupakan satu dari dua kerajaan masa kebudayaan Hindu-Buddha yang memiliki dampak besar dalam perjalanan sejarah Indonesia. Kerajaan yang bercorak Buddha ini, menguasai jalur perdagangan antara India dan Tiongkok, menghasilkan masa keemasan dalam sejarah Indonesia. Berbagai peninggalan yang diwariskan kerajaan tersebut saat ini, baik berupa prasasti maupun candi, menjadi saksi kejayaan Indonesia.
Tetapi, terdapat satu pertanyaan yang belum diungkapkan dalam buku paket tersebut. Bagaimana proses penciptaan Kerajaan Sriwijaya? Sebelum Sriwijaya muncul sebagai pusat kekuatan maritim Indonesia pada masa klasik, apa yang terjadi?
Pertanyaan-pertanyaan tersebut, oleh O. W. Wolters, berusaha dijawab dalam buku Kemaharajaan Maritim Sriwijaya & Perniagaan Dunia Abad III – Abad VII. Buku yang merupakan disertasi Wolters pada 1960-an, merupakan studi terbaru yang mencoba mengungkapkan proses penciptaan Kerajaan Sriwijaya.
Menurut Wolters, kemunculan Kerajaan Sriwijaya tidak dapat dilepaskan dengan jalur perdagangan yang menghubungkan Tiongkok dan India. Dalam catatan Tiongkok, mereka melakukan hubungan dagang dengan Po-ssŭ. Menurut akademisi sebelum Wolters, Po-ssŭ identik dengan “Persia” atau “dari Persia”, wilayah yang menjadi sumber komoditas wewangian dan dupa untuk kebutuhan pengobatan di Tiongkok.
Namun, Wolters memiliki pandangan lain. Dengan menganalisis beberapa catatan Tiongkok hingga abad ke-4 masehi, ia menemukan bahwa Po-ssŭ dapat pula diartikan sebagai “laut selatan”. Bagi Tiongkok, “laut selatan” berarti wilayah Asia Tenggara. Ini berarti, pada masa awal masehi, terdapat pusat-pusat perdagangan di Asia Tenggara yang menghubungkan Po-ssŭ (Persia) dengan Tiongkok melalui laut.
Sekitar 250 M, wilayah muara sungai Sumatra bagian tenggara dikuasai oleh pusat perdagangan yang bernama Ko-ying. Ko-ying menghubungkan Tiongkok, Funan, dan wilayah lain di Sumatra, seperti P’u-lei dan ‘Barousai, serta Jawa (saat itu dikenal sebagai Ssŭ-t’iao).
Sekitar 430 hingga 610 M, kekuasaan Ko-ying digantikan dengan Kan-t’o-li. Menurut Wolters, Kan-t’o-li merupakan wilayah yang menguasai dua wilayah perdagangan di Sumatra tenggara, yakni Jambi (yang saat itu dikenal sebagai Melayu) dan Palembang. Disayangkan, kekuasaan Kan-t’o-li sebagai pusat perdagangan mengalami kemunduran, dan Palembang berhasil merebut wilayah Kan-t’o-li. Perebutan pengaruh dari Kan-t’o-li ke Palembang menjadi cikal bakal penciptaan Kerajaan Sriwijaya, yang diperkuat catatan Tiongkok yang mengungkapkan bahwa pusat kerajaan tidak pernah berpindah tempat dari Palembang.
Sebagai simpulan, Wolters mengungkapkan bahwa Kerajaan Sriwijaya tercipta melalui hubungan dagang antara Tiongkok dengan Po-ssŭ atau Persia, yang menguat seiring tertutupnya jalur perdagangan melalui darat. Wilayah “laut selatan”, yang semula menjadi hub, berubah menjadi entitas politik yang sekarang kita kenal sebagai Sriwijaya.
Membaca buku ini, terutama bagi mereka yang kesulitan membayangkan nama lokasi dalam catatan Tiongkok yang terdengar asing, akan sangat menyulitkan. Beruntung, Wolters menyediakan peta dan glosarium bagi seluruh istilah dalam bahasa Tiongkok yang dimuat dalam buku ini.
Buku Kemaharajaan Maritim Sriwijaya, yang diterbitkan oleh Komunitas Bambu, dikemas dengan terjemahan yang sangat mengalir. Meski terdapat satu dan dua kesalahan ketik yang tidak terlalu signifikan, peran Edy Sembodo dalam menyelaraskan edisi terjemahan bahasa Indonesia buku ini patut diacungi jempol. Ia berhasil menyajikan buku ini dengan ringan dan renyah.
Meski begitu, terdapat satu catatan mendasar yang perlu ditegaskan dalam buku Kemaharajaan Maritim Sriwijaya. Pemilihan judul untuk edisi bahasa Indonesia sangat jauh berbeda dengan judul asli buku ini. Buku ini, yang memiliki judul Early Indonesian Commerce: A Study of The Origins of Srivijaya, menjadi berubah ketika diberi judul Kemaharajaan Maritim Sriwijaya & Perniagaan dunia Abad III – Abad VII.
Nama Sriwijaya sendiri baru muncul pada bagian akhir buku ini. Sejak awal hingga menuju akhir, buku ini lebih menceritakan jalur perdagangan Tiongkok – India – Po-ssŭ, alih-alih menampilkan kemaharajaan Sriwijaya. Bagi pembaca yang teliti, keputusan Komunitas Bambu untuk menggunakan judul Kemaharajaan Maritim Sriwijaya & Perniagaan Dunia Abad III – Abad VII dapat menyesatkan pembaca, terlebih bagi mereka-mereka yang berharap dapat mengetahui kejayaan dan keagungan Sriwijaya sebagai sebuah kerajaan.
Terlepas dari keputusan Komunitas Bambu dalam pemilihan judul edisi Indonesia buku ini, Kemaharajaan Maritim Sriwijaya dapat menjadi bacaan awal yang memberikan informasi mengenai jalur perdagangan Indonesia pada masa awal masehi, serta pengaruhnya dalam proses Indianisasi di Indonesia. Terlepas siapa kelompok dominan yang melakukan Indianisasi, satu hal yang dapat kita sepakati adalah jalur perdagangan laut menjadi media utama dalam proses tersebut.
Buku Kemaharajaan Maritim Sriwijaya dapat menjadi bacaan wajib bagi mahasiswa sejarah yang sedang mempelajari sejarah Indonesia klasik, siswa sekolah menengah yang ingin mengenal lebih jauh mengenai jalur perdagangan laut Indonesia pada masa lampau, maupun bagi masyarakat yang sekadar ingin mengetahui asal-muasal Kerajaan Sriwijaya. Singkat kata, buku ini cocok dibaca bagi siapa saja yang ingin mendalami wawasan mereka mengenai sejarah Indonesia, terutama pada masa kebudayaan Hindu-Buddha.