Kedatangan Penjelajah Eropa Memiliki Andil dalam Sejarah Perdagangan Indonesia

Judul BukuPerdagangan Eropa & Asia di Nusantara: Sejarah Perniagaan 1500-1630
PenulisM. A. P. Meilink-Roelofsz
PenerbitKomunitas Bambu
Kota TerbitDepok
Tahun Terbit2016
Halamanxviii + 462 halaman
PenerjemahTim Komunitas Bambu

Dalam buku Indonesian Trade and Society, J. C. van Leur mengatakan bahwa kedatangan penjelajah Eropa tidak memberikan andil apa pun dalam perdagangan Asia. Menurut van Leur, penjejalah Eropa, terutama Belanda, hanya memanfaatkan kondisi perdagangan yang telah terbentuk sejak awal tarikh sejarah di Asia. Narasi ini bertentangan dengan pandangan historiografi eropasentris, yang mengatakan bahwa mereka berpengaruh besar dalam perdagangan Asia.

Pendapat van Leur berusaha ditelusuri kembali oleh M. A. P. Meilink–Roeloefsz. Melalui buku Persaingan Eropa & Asia di Nusantara: Sejarah Perniagaan 1500-1630 (selanjutnya akan disebut sebagai Persaingan Eropa & Asia), yang merupakan terjemahan bahasa Indonesia atas disertasinya, Meilink–Roeloefsz mencoba menelaah kembali keabsahan pendapat van Leur. Terlebih, sebagai sejarawan yang mengabdikan diri dengan arsip, Meilink–Roeloefsz memiliki senjata baru untuk menyelidiki perdagangan nusantara, yakni arsip-arsip Portugis.

Meilink–Roeloefsz mengawali buku ini dengan menceritakan alur perdagangan sebelum abad ke-15. Menurutnya, kekuatan perdagangan di Indonesia pada masa itu dipegang oleh Sriwijaya dan Majapahit. Seluruh kapal yang berlayar melewati Selat Malaka dipaksa untuk berlabuh ke kota-kota perdagangan mereka.

Memasuki abad ke-15, pengaruh kedua kerajaan ini semakin surut. Kini, sebuah pusat perdagangan baru tumbuh di wilayah nusantara. Ia adalah Malaka, sebuah kota perdagangan kecil di Selat Malaka, yang kemudian tumbuh menjadi pusat perdagangan Asia.

Menurut Meilink–Roeloefsz, kota Malaka merupakan kota yang sangat kecil untuk menjadi pusat perdagangan. Kota ini hanya berupa wilayah berbenteng, dengan persawahan di sekeliling benteng. Tetapi, adanya komunitas pedagang yang tinggal di kota tersebut, terutama dari Gujarat dan Cina, membuat kota tersebut tumbuh menjadi kota perdagangan besar.

Baca Juga  Ilusi Orang-Orang Modern

Meski tumbuh menjadi pusat perdangangan Asia, wilayah ujung timur dan barat Asia tidak berdagang secara langsung dengan Malaka. Komoditas, yang dibawa melalui Cina dan Persia, disalurkan ke kota-kota perdangangan di India bagian selatan (Gujarat, Benggala, Koromandel, dan Sri Langka), serta Asia Tenggara (Siam, Jawa, Kalimantan, Filipina, dll.). Dari kota-kota ini, komoditas-komoditas perdagangan mereka diangkut ke Malaka. Kondisi ini membuat Malaka tumbuh menjadi titik pusat pertukaran komoditas perdagangan.

Selain perdagangan langsung, terdapat pula pusat-pusat perdagangan lainnya di wilayah Indonesia. Mulai dari ujung pulau Sumatra hingga Sunda Kecil, terdapat beberapa kantong perdagangan yang tidak melakukan perdagangan secara langsung dengan Malaka. Malah, komoditas perdagangan mereka, seperti lada, rempah-rempah dan beras, disalurkan ke Sumatra dan Jawa, sebelum diangkut oleh pedagang Gujarat dan Cina ke wilayah mereka masing-masing.

Kedatangan penjelajah Eropa, menurut Meilink–Roeloefsz, memiliki pengaruh besar terhadap aktivitas perdagangan Asia. Mereka, yang membawa kapal penuh senjata, pelaut yang disiplin, serta kekuatan militer yang kuat, mengajarkan para pedagang Asia untuk meningkatkan disiplin mereka dalam berdagang. Kedatangan bangsa Purtugis, yang menaklukan Malaka pada 1511, merubah peta perdagangan Asia pada masa-masa berikutnya.

Jatuhnya Malaka ke tangan Portugis membuat banyak pedagang Asia menghindari Malaka. Mereka memilih untuk berdagang ke pusat-pusat perdagangan lainnya di Sumatra dan Jawa. Keadaan ini membuat kota-kota pesisir Jawa dan Sumatra, seperti Pasai dan Gresik, tumbuh menjadi kekuatan perdagangan baru di Indonesia.

Tumbuhnya pesisir Jawa dan Sumatra dalam perdagangan Asia tidak dapat mengimbangi kejayaan Malaka. Mereka masih terbilang kecil, jika dibandingkan dengan Malaka yang menjadi pusat perdagangan antara ujung timur dan ujung barat Asia.

Sebagai sebuah buku lama yang diterjemahkan ke bahasa Indonesia, buku Perdagangan Eropa & Asia memberikan angin segar mengenai sejarah perdagangan di wilayah Indonesia. Ia tidak hanya memberikan detail demi detail informasi penting mengenai alur perdagangan, tetapi juga memberikan petunjuk akan adanya interaksi antara kekuatan barat dengan timur pada masa penjelajahan.

Baca Juga  Menyelami Masa Revolusi Indonesia melalui "Magnum Opus" George McTurnan Kahin

Meski begitu, buku Perdagangan Eropa & Asia tidak lepas dari kekurangan. Ukuran huruf (font) yang kecil, dengan jarak spasi yang terlalu mepet, membuat buku ini tidak nyaman untuk dibaca. Terlebih, sebagai buku yang diterbitkan pertama kali pada 1962, gaya penulisan Meilink–Roeloefsz yang menyajikan paragraf dalam bentuk panjang membuat mata cepat lelah. Terlebih, dengan kondisi banyak pembaca Indonesia yang tidak nyaman membaca paragraf yang berukuran panjang, hal ini membuat informasi yang disampaikan dalam buku ini tidak masuk dengan sempurna ke kepala.

Terlepas dari kekurangan yang terdapat dalam buku ini, buku Perdagangan Eropa & Asia dapat menjadi buku bacaan penting bagi masyarakat, terutama mahasiswa sejarah atau mereka yang ingin mengenal interaksi antara Eropa dan Asia di Indonesia. Buku ini masih relevan untuk dibaca, dan kemudian dibandingkan, dengan buku sejenis, seperti Indonesian Trade and Society, Riding the Dutch Tiger, dan Merchant in Asia.

Meski ditulis lebih dari 70 tahun yang lalu, buku ini telah mendorong lebih banyak kajian mengenai perdagangan Asia pada umumnya, dan Indonesia pada khususnya. Saya berharap, dengan diterjemahkannya buku ini ke dalam bahasa Indonesia oleh Komunitas Bambu, dapat memantik lebih banyak diskusi mengenai sejarah perdagangan Indonesia dan Asia pada masa mendatang.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *