Isu pengungsi Rohingya sedang menjadi sorotan di Indonesia. Baik media arus utama maupun media sosial menyiarkan dan memberitakan isu ini.
Isu Rohingya naik ke permukaan, setelah adanya pemberitaan media arus utama yang memberitakan keluhan dan penolakan masyarakat setempat di Aceh yang menolak kedatangan kapal pengungsi yang akan berlabuh. Berita tersebut meluas, snowballing, dan berubah menjadi berita mengenai perilaku pengungsi. Narasi media Indonesia lebih condong bersikap negatif, memberitakan pengungsi Rohingya sebagai kelompok yang tidak mengindahkan peraturan dan norma yang berlaku.
Masyarakat Indonesia, terutama Aceh, yang pada mulanya menyambut pengungsi Rohingya dengan tangan terbuka, kini menolak mereka. Alasan penolakan mereka sederhana; belajar dari masa lalu, ketika para pengungsi menimbulkan gesekan sosial. Gesekan tersebut digemakan lebih lanjut oleh media sosial, yang aktif membangun narasi terhadap pengungsi Rohingya.
Sejak kedatangan mereka untuk pertama kalinya ke Indonesia pada 2017, gelombang pengungsi Rohingya kian membesar. Dilansir dari pemberitaan Tirto.id, hingga Desember 2023, tercatat sejumlah 1.684 pengungsi Rohingya yang masuk ke Indonesia. Data tersebu bersumber dari laporan perwakilan UNCHR di Indonesia, Ann Maymann.
Sejumlah 1.600-an pengungsi tersebut, kini, menjadi sasaran ujaran kebencian dari sekelompok masyarakat Indonesia. Mereka, yang terpengaruh informasi yang beredar di media sosial, mempercayai narasi dan spekulasi yang muncul mengenai pengungsi Rohingya. Bagaimana media sosial menyajikan (dan mempengaruhi) isu Rohingya, sehingga pada akhirnya masyarakat Indonesia membenci mereka luar biasa mendalam?
Rohingya Mirip Israel?
Sebuah video TikTok menyebarkan informasi yang menyatakan bahwa pengungsi Rohingya berpotensi seperti Israel. Mereka, yang berjumlah sedikit, ditakutkan akan menguasai tanah tempat mereka mengungsi, seperti yang terjadi pada 1948. Mereka, yang sedikit, dikhawatirkan akan menjajah Indonesia, tanah induk dengan populasi yang lebih besar, sama seperti pengungsi Israel yang kemudian, hingga saat ini, menjajah tanah Palestina.
Video tersebut, oleh Cek Fakta Tempo, telah dikonfirmasi sebagai informasi yang menyesatkan. Meski begitu, video TikTok tersebut lebih dipercayai ketimbang informasi yang diterbitkan Cek Fakta Tempo, yang pada akhirnya menimbulkan kekhawatiran dan sikap paranoid masyarakat Indonesia terhadap keberadaan pengungsi Rohingya.
Politisasi Isu Rohingya
Selain membuat narasi yang menyamakan keberadaan pengungsi Rohingya dengan pengungsi Israel pada masa lalu, terdapat juga pihak yang mempolitisasi isu tersebut. Hal tersebut dapat dilihat melalui sebuah video yang disebarkan akun @Net1zens melalui media sosial TikTok. Dalam postingan tersebut, dinyatakan bahwa hanya pleciden idaman dan celdas yang menyuarakan keadilan sosial kepada pengungsi Rohingya, kelompok yang dinarasikan sering ngelunjak dan hanya ingin hidup enak tanpa bekerja.
Mengutip pernyataan seorang pegiat media sosial, Ismail Fahmi, dalam sebuah artikel yang dimuat BBC Indonesia, dikatakan bahwa isu Rohingya dimanfaatkan kelompok yang tidak bertanggung jawab untuk menyerang Anies Baswedan, yang saat ini bertarung dalam pemilihan presiden. Anies, yang menyatakan sikap dukungan terhadap pengungsi Rohingya, diserang karena dipandang lebih memihak orang luar ketimbang masyarakat lokal Indonesia.
Politisasi isu Rohingya hanya menguntungkan salah satu pihak. Mereka, dengan memanfaatkan sentimen publik terhadap pengungsi Rohingya, berhasil, atau setidak-tidaknya berhasil, menjatuhkan rival politiknya.
Rohingya Merusak Rusun di Sidoarjo?
Pada Desember 2023, pengungsi Rohingya juga dituduh melakukan perusakan terhadap rumah susun (rusun) di Sidoarjo, Jawa Timur. Sebuah postingan yang diunggah seorang pengguna Facebook menyebarkan informasi tersebut. Dalam postingan tersebut, disebutkan bahwa pengungsi Rohingya melakukan perusakan lantaran mereka kesal, listrik yang mengaliri rusun mengalami pemadaman selama 24 jam.
Wahyu Tri Wibowo, yang mewakili Satgas Penanganan Pengungsi Luar Negeri Kabupaten Sidoarjo, menyampaikan kepada detikJatim bahwa informasi yang beredar di media sosial tersebut adalah keliru. Ia menegaskan bahwa yang melakukan perusakan terhadap rusun di Sidoarjo adalah pengungsi dari negara lain, bukan Rohingya. Menurutnya, pengungsi Rohingya justru sangat kooperatif dengan pemerintah dan tidak pernah melakukan demonstrasi.
Pengungsi Rohingya Membebani APBN?
Banyak masyarakat Indonesia yang percaya, bahwa pemerintah semestinya lebih memperhatikan nasib rakyat sendiri ketimbang memperhatikan pengungsi dari negara lain. Bahkan, mereka menduga bahwa dana untuk penanganan pengungsi Rohingya diambil dari APBN.
Seperti narasi yang diunggah oleh seorang pengguna Facebook bernama Beng Beng, ia menyatakan bahwa pengungsi Rohingya membebani APBN. Ia menambahkan bahwa Indonesia tidak masuk dalam daftar negara2 yang menerima pengungsi, tidak meratifikasi Konvensi 1951, sehingga ia memandang bahwa seluruh pendanaan pengungsi Rohingya menggunakan dana APBN.
Dalam berita bertajuk Penanganan Pengungsi Rohingya di Aceh, UNHCR Indonesia: Tidak Pakai APBN-APBD yang diterbitkan Kantor Berita Radio, Perwakilan UNHCR untuk Indonesia, Mitra Salima Suryono, menegaskan bahwa pendanaan untuk pengungsi Rohingya tidak berasal dari APBN-APBD. Ia menyatakan bahwa setiap biaya ditanggung oleh UNHCR dan dari donasi masyarakat serta pemerintah.
Penutup
Meski telah dibantah oleh mereka yang berkepentingan, pemberitaan media sosial terhadap isu Rohingya lebih ganas dari pemberitaan media arus utama. Mereka berhasil mempengaruhi pemahaman kolektif masyarakat Indonesia mengenai keberadaan pengungsi Rohingya, membuat mereka mengambil sikap antipati terhadap mereka.
Sikap masyarakat Indonesia menjadi bukti nyata, bahwa media sosial, selain menjadi sumber utama masyarakat dalam mendapatkan informasi ketimbang media arus utama, juga memiliki andil besar dalam membentuk konsepsi masyarakat terhadap sebuah isu. Media sosial menjadi dua sisi mata uang, dapat menjadi senjata penerangan terhadap isu-isu negatif, maupun menjadi sumber segala informasi negatif yang beredar terhadap sebuah isu.
Sekarang, semua ada di tangan masyarakat Indonesia, ingin mengambil jalan yang mana dalam membaca informasi yang mereka hadapi setiap hari di media sosial.
Wah, tadi aku cek web-nya, keren banget! Gampang dimengerti, desainnya juga oke. Bener-bener suka deh!