Perempuan dalam Belenggu Ketidakadilan dan Marginalisasi

Judul BukuAku Betina dan Kau Perempuan
PenulisIsbedy Stiawan ZS
PenerbitBasaBasi
Kota TerbitYogyakarta
Tahun Terbit2020
Halamanxii + 132 halaman
ISBN978-623-305-007-4

Bak menemukan harta karun, perjalanan bersastra Isbedy Stiawan ZS, sang Paus Sastra Lampung, sepanjang 2002 hingga 2013, kembali ditemukan oleh salah seorang penggemarnya. Sebanyak 17 cerpen Isbedy, yang tersebar di berbagai media massa, berhasil diburu oleh Lukman Hakim, sang penggemar.

Ketujuh belas cerpen itu kini terangkum dalam sebuah buku, dengan judul yang sangat memikat, yakni Aku Betina dan Kau Perempuan. Buku yang diterbitkan pada November 2020 oleh penerbit BasaBasi, mengangkat tema perempuan dan isu-isu sosial yang melekat pada perempuan, yakni ketidakadilan dan marginalisasi.

Dalam kehidupan patriarki dewasa ini, perempuan kerap dipandang sebelah mata. Seringkali, perempuan dianggap sebagai sosok yang lemah, sekadar menjadi objek pemuas nafsu laki-laki. Hal ini dibuktikan dengan adanya praktik prostitusi, praktik yang bertahan sepanjang peradaban manusia. Juga, hal tersebut tergambar melalui berbagai tindakan kriminal, seperti pelecehan dan pemerkosaan. Kesenjangan sosial dan ekonomi dituding sebagai salah satu faktor penyebab hal tersebut.

Isbedy mengkritik hal ini dalam salah satu cerpennya, dengan judul yang sangat indah: Mawar. Dikisahkan, Mawar adalah seorang perempuan berwajah manis dan memiliki tubuh erotis yang “aduhai”. Namun, ia lahir dan dibesarkan dalam kemiskinan. Ia berasal dari kampung kumuh, dalam sebuah keluarga yang bertarung dengan mesin-mesin motor.

Keterbatasan finansial memaksa Mawar berkeliaran di ruang pub dan diskotek di pusat kota, menjajakan tubuhnya kepada banyak lelaki, untuk kemudian memeras isi dompet mereka. Dalam gelap malam ia mencari mangsa, yakni para lelaki hidung belang yang senantiasa menggodanya. Ia menyeleksi mereka. Hanya lelaki berdompet tebal yang berhak “merabanya”. Kemiskinan mendorong Mawar untuk menjual harga diri dan martabatnya.

Baca Juga  Ketika Sukarno Lebih Mementingkan Politik Ketimbang Isi Perut Masyarakat

Ketika Mawar dengan sengaja menjajakan dirinya kepada para pria, tokoh Lastri, justru bernasib tragis. Dalam cerpen berjudul Mudik, ia dikisahkan menjadi santapan pelak kriminal. Dalam cerpen tersebut, Isbedy menyoroti betapa rentannya seorang perempuan menjadi korban kriminalitas.

Dikisahkan, di sebuah terminal bernama Rajakering yang terkenal dengan tingkat kriminalitasnya, Lastri seorang diri menunggu bus pertama untuk menuju kampung halamannya. Seperti para perantau pada umumnya, Lastri mudik ke kampung halaman menjelang lebaran. Namun, di luar sana, para perampok berkeliaran, mengincar para pemudik yang kurang waspada.

Terminal tersebut sangat sepi dan gelap. Lastri membaca koran, agar rasa kantuk tidak membuatnya terlelap dan mengurangi kewaspadaannya. Namun, karena terlalu lelah, ia tertidur pulas di bangku terminal.

Dalam tidurnya, ia bermimpi bertemu kekasihnya, Parman. Dalam gejolak cinta, jemari tangannya makin rapat menyentuh Lastri. Namun, tangan kekar itu malah kian mencengkeramnya. Sebuah benda terasa dingin di lehernya, membuatnya tersadar dari tidurnya. Ternyata, seorang lelaki kekar dan penuh tato menculiknya.

Lastri tidak ingat apa yang terjadi selama penculikan dirinya. Yang ia ingat, adalah matanya bengkak. Tasnya, yang berisi uang dan perhiasan, telah dirampas. Selangkangannya juga terasa perih.

Perempuan itu segera menceritakan musibah yang menimpanya kepada petugas keamanan. Namun, laporannya tidak ditanggapi dengan serius.

Dengan putus asa, Lastri pulang ke kampung halamannya. Berita soal dirinya yang menjadi korban perampokan sekaligus perkosaan beredar di desanya.

Kesimpulan dari cerpen ini, Isbedy ingin mengungkap ketidakadilan yang menimpa perempuan. Ia ingin menggambarkan, betapa rentannya perempuan untuk menjadi korban kriminalitas. Namun, ketika mereka rentan menjadi korban, penegakan hukum atas apa yang mereka alami masih begitu bobrok, sehingga mereka terpinggirkan di mata hukum. Kesenjangan dan kemiskinan yang merajalela juga berperan besar terhadap tingginya tingkat kriminalitas.

Baca Juga  Hakikat Tuhan dalam Pandangan Epikureanisme dan Stoikisme

Cerpen Mawar dan Mudik, dan kelima belas cerpen lainnya, menyiratkan kritik tajam kepada semua kalangan untuk bersama-sama menegakkan keadilan tanpa membeda-bedakan gender.

Secara keseluruhan, buku ini layak diapresiasi. Sebagai sastrawa yang andal, Isbedy Stiawan ZS meracik kisah-kisah dalam Aku Betina dan Kau Perempuan berbalut diksi, membuatnya tampil layaknya puisi. Ia begitu mengalir dengan kata-kata bermajas yang memikat.

Sebagaimana tertulis dalam kata pengantar buku ini, Isbedy meyakini bahwa pengarang adalah “koki” bagi suatu sajian. Tema apa pun bisa terbit menjadi tulisan yang nikmat dan renyah dikunyah, begitu pula sebaliknya.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *