Hal-hal ajaib yang dilakukan hewan selalu membuat kita takjub. Meski tidak mengetahui bagaimana proses di belakangnya, mereka terkesima melihat kejadian-kejadian tersebut. Itulah mengapa seseorang akan terheran-heran dengan hewan sirkus yang dapat melewati lingkaran berapi, melakukan hulahup, hingga menirukan suara manusia.
Meski begitu, ada “atraksi” yang lebih menakjubkan lagi yang dapat dilakukan hewan. Bagaimana jika ada hewan yang bisa berhitung, bisa memotret pengunjung, dan bahkan dapat bermain tic-tac-toe? Bentuk atraksi seperti ini seolah-olah membuat para hewan untuk melibatkan kemampuan berpikir, tidak sebatas meniru atau melakukan gerakan tertentu.
Mundur ke tahun 1955, Keller dan Marian Breland membuka IQ Zoo di Hot Springs, Arkansas. Di tempat tersebut, banyak kemampuan hewan dipertontonkan kepada publik.
Hanya di IQ Zoo, sebagai contoh, anda dapat menemukan seekor ayam yang dapat mengalahkan manusia dalam permainan tic-tac-toe. Ayam tersebut dapat bermain tanpa kalah melawan manusia. Kemenangan berturut-turut tersebut menyiratkan bahwa hal itu bukan kebetulan.
Apa rahasia dibaliknya? Apakah ayam tersebut memiliki kapasitas berpikir yang tinggi? Jika ayam saja dapat dilatih untuk menguasai suatu tugas, mengapa hal serupa tidak berlaku pada manusia?
Bagaimana Ide itu Diwariskan?
Kemajuan dalam ilmu fisiologi membuat pembentukan perilaku pada hewan dapat dimengerti peneliti. Diketahui, lingkungan (nurture) memicu respon fisiologis, yang akan membentuk perilaku.
Penelitian awal, sekaligus yang terkenal, tentang pembentukan perilaku pada hewan berasal dari penelitian Pavlov. Dengan meneliti perilaku anjing, Pavlov melihat bahwa anjing mengeluarkan air liur saat dihadapkan pada makanan. Pavlov mulai memberikan makanan disertai berbagai stimulus.
Ternyata, anjing dapat mengeluarkan air liur saat mendapatkan stimulus tertentu. Ini terjadi karena anjing sudah belajar mengasosiasikan stimulus yang mereka terima dengan makanan. Katakanlah, jika stimulusnya adalah peluit, maka anjing mengasosiasikan peluit dengan makanan. Anjing akan mengeluarkan liur saat mendengar bunyi peluit.
Studi Pavlov kemudian dikembangkan oleh Skinner. Skinner mencoba mengembangkan temuan Pavlov, yang masih terbatas pada respon reflek alami hewan. Dengan pertanyaan dasar bagaimana dengan membentuk perilaku yang baru alih-alih membentuk yang sudah ada, Skinner mendorong hewan untuk melakukan sesuatu di luar kebiasaannya.
Kala itu, Keller dan Marian Breland membantu Skinner dalam proyek penelitian bernama Project Pigeon. Mereka mengaplikasikan pengetahuan yang didapat dalam penelitian tersebut. Pengetahun tersebut, akhirnya diwujudkan dalam bentuk IQ Zoo.
Rahasia IQ Zoo
Secara sederhana, ada dua hal yang diberikan dalam pembentukan perilaku hewan. Pertama, hewan mendapatkan hal yang mereka sukai ketika berhasil melakukan tugas tertentu. Kedua, mereka mendapatkan hal yang tidak mereka sukai jika gagal melakukan tugas yang diharapkan. Hewan sirkus umumnya dilatih dengan cara yang kedua, yang berbuah penyiksaan terhadap hewan.
Keller dan Marian Breland memilih jalur berbeda dari para pelatih sirkus. Mereka memilih untuk melakukan langkah pertama, yakni memberikan reward untuk membentuk perilaku hewan. Hal ini sekaligus menjadi pengingat bahwa tidak semua pelatihan hewan harus melibatkan kekerasan terhadap hewan yang dilatih.
Melalui IQ Zoo, kita belajar bahwa pandangan yang menyatakan bahwa hewan hanya bisa makan, tidur, dan berkembang biak, tidak sepenuhnya benar. Dengan bimbingan yang tepat, mereka dapat melakukan hal yang mengesankan sesuai dengan kapasitasnya, melakukan tugas dengan baik.
Kegagalan Mengajarkan Kebijaksanaan
Meski perilaku hewan dapat dibentuk, insting dalam diri hewan dapat mengacaukan pelatihan. Dalam artikel berjudul The Misbehavior of Organism, Keller dan Marian Breland membuat catatan tentang bagaimana perilaku yang terbentuk dapat terganggu oleh insting bawaan hewan.
Sebagai contoh, seekor rakun yang dilatih untuk memasukkan koin ke celengan mungkin akan menggosokkan koin tersebut terlebih dahulu ke badannya. Ia melakukan ini karena rakun mempunyai kebiasaan menggosokkan makanan ke badan, untuk membersihkan makanan tersebut.
Contoh lain, babi yang sudah terlatih dengan baik untuk memasukkan koin ke celengan, dapat kehilangan kemampuannya setelah beberapa minggu atau bulan. Alih-alih langsung memasukkan koin ke celengan, mereka tersebut akan terlebih dahulu menjatuhkan koin tersebut berkali-kali, menghirup dan mengendusnya, menjatuhkannya lagi, melemparkannya ke udara, menghirup dan mengendusnya lagi, dan seterusnya.
Temuan Keller dan Marian Breland menunjukkan bahwa apa yang mereka pelajari dari Skinner dapat berguna dalam pelatihan hewan. Namun, hal tersebut tidak selalu berhasil baik. Dalam hal ini, hasil penelitian Pavlov masih tetap relevan, karena penguatan terhadap perilaku hewan didasarkan pada reflek alami.
Dapat dikatakan, hewan dapat dilatih untuk melakukan tugas-tugas tertentu. Namun, insting atau naluriah hewan tetap tidak boleh diabaikan. Setiap pelatihan harus didasarkan pada insting masing-masing hewan.
IQ Zoo memberikan pesan kepada kita, para manusia, bahwa kita bisa menjadi apapun yang kita inginkan, tetapi penting untuk tetap mengikuti kata hati (insting). Apa yang tidak dimulai dari hati akan terasa salah, dan kita dapat mengacaukan langkah-langkah yang akan diambil selanjutnya.
wow interesting!